MAKALAH
HUBUNGAN
BAHASA DAN PIKIRAN
Disusun
Oleh:
KETUA : JASON WALKER PANGGABEAN
PENYAJI :
1. JURI FRIDA HOTMAULI L.TOBING
2. NURLIANA SIMBOLON
3. SETIA HUTAGALUNG
4. ANI MARITO
PRODI :
BAHASA INDONESIA IV A
MATA KULIAH :
PSIKOLINGUISTIK
DOSEN :
SRI MAHARANI, M.Pd
![]() |
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
“STKIP TAPANULI SELATAN”
PADANGSIDIMPUAN
2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan
syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatnya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Hubungan Bahasa dan
Pikiran”.
Makalah
ini penulis buat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Psikolingkuistik,
di samping sebagai salah satu keterlibatan penulis dalam pelajaran psikolinguistk
yaitu menyediakan bahan perkuliahan. Makalah ini berisi tentang pengertian psikolinguistik,
hakikat bahasa, hakikat pikiran, dan hubungan bahasa dan pikiran yang
bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan atau pengetahuan.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis tentu saja tidak dapat menyelesaikannya sendiri
tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1)
Ibu
Sri Maharani, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikolingistik yang
telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami;
2)
Para
penulis yang bukunya kami jadikan sebagai referensi dalam penulisan makalah
ini; dan
3)
Terakhir
kepada rekan kelompok yang turut bekerja sama demi terselesainya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan mengharapkan kritik
serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.
Akhir kata penulis mengucapkan
selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya.
Padang
Sidimpuan, Mei 2013
Penulis,
Kelompok
IVA Bahasa Indonesia
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang....................................................................................................... 1
1.2
Identifikasi Masalah............................................................................................... 3
1.3
Batasan Masalah..................................................................................................... 3
1.4
Rumusan Masalah................................................................................................... 3
1.5
Tujuan..................................................................................................................... 3
1.6
Manfaat.................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Psikolinguistik...................................................................................... 4
2.2 Hakikat Bahasa....................................................................................................... 4
2.3 Hakikat Pikiran....................................................................................................... 6
2.4 Hubungan Bahasa dan Pikiran............................................................................... 8
2.4.1 Teori Sapir-Whorf...................................................................................... 8
2.4.2 Teori Wilhelm Von Humboldt................................................................... 11
2.4.3 Teori Jean Piaget........................................................................................ 12
2.4.4 Teori L.S Vygotsky.................................................................................... 12
2.4.5 Teori Noam Chomsky................................................................................ 13
2.4.6 Teori Eric Lenneberg.................................................................................. 13
2.4.7 Teori Bruner............................................................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 15
3.2 Saran....................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ iii
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Bahasa
adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam
lapangan pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak
yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai
sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu
dilakukan olehnya. Manusia berkedudukan sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik
ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Keunikan manusia
sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan
terletak pada kemampuannnya berbahasa. Manusia tidak dapat melakukan apa-apa
tanpa menggunakan bahasa dan batas dunia manusia adalah bahasa mereka. Sebuah
uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir
dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia
ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia.
Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental
orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Manusia
berbeda dengan binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Jika manusia itu
bertindak, ia tahu bahwa ia bertindak dan apabila ia berpikir maka iapun tahu
bahwa dirinya itu berpikir. Karena itulah maka manusia dikatakan sebagai
makhluk yang berpikir atau homo-sapiens atau juga animal-rationale.
Manusia mempunyai kesadaran dan kesanggupan berpikir, sehingga berpikir dapat
dianggap sebagai sifat manusia yang terpenting. Selanjutnya kalau berpikir itu
dianggap sebagai sifat manusia yang terpenting, maka filsafat harus dianggap
sebagai perbuatan yang paling radikal dalam menggunakan kesanggupan berpikir
itu. Karena berfilsafat berarti berpikir secara radikal yaitu suatu usaha
mencapai radix atau akar kenyataan yang sebenarnya.
Semuanya
itu sangat penting apabila diperhatikan, diselidiki dan dianalisis dengan
tujuan supaya dapat diketahui mekanismenya dan dapat dikuasai. Untuk berpikir
dengan baik, semuanya itu ditonjolkan untuk dipandang, diselidiki dan
dirumuskan bentuk-bentuk dan hukum-hukumnya sehingga dapat dikuasai dan dipakai
secara sadar dan kritis.
Dalam
kehidupan praktis sehari-hari, kita melakukan komunikasi. Kita menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi, dengan bahasa kita mampu mengkomunikasikan ide-ide
kita. Apakah bahasa merupakan satu-satunya instrumen untuk berkomunikasi? Tidak
terasa kita memang menganut paham tersebut, yang setuju bahwa “bahasa adalah
alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi”. Dan memang itu benar
adanya. Gadamer pernah mengatakan bahwa “Ada (sein) yang dapat dipahami adalah
bahasa”. Hanya sejauh “terbahasakan” sesuatu dapat ditangkap. Ini berarti
Gadamer berpendapat bahwa manusia hanya dapat memahami realitas sepanjang
realitas itu terbahasakan. Dengan kata lain, yang disebut dengan realitas
adalah hal-hal yang dapat dibahasakan. Sayangnya, sampai saat ini, sangat sulit
kita temukan pemikiran-pemikiran yang secara khusus membahas korelasi antara
bahasa dan pikiran. Tesis Gadamer di atas tentu saja terbatas pada bahasa dan
realitas, sedangkan bahasa (yang merealisir realitas) itu merupakan realisasi
ide-ide. Ide terletak dalam pikiran. Bahkan tidak ada garis pembeda yang tegas,
yang ‘mengantarakan’ ide dan pikiran.
Kita bisa
melihat jelas seseorang yang pikirannya kacau mengakibatkan bahasanya kacau
juga. Kadang juga jika seseorang sedang memikirkan sesuatu yang berat, yang
bersangkutan tidak berselera untuk bicara. Ada juga yang berpendapat bahwa
bahasa merupakan cerminan dari pikiran, apa yang dibicarakan adalah apa yang
dipikirkan. Bahasa terbentuk dari pikiran, atau bentuk bahasa (secara
individual dan spontan) meniru atau mengikuti bentuk pikiran atau ide. Akan
tetapi jika kita mau lebih jeli melihat, sesungguhnya bahasa itu hanyalah
“wujud” dari ide atau pikiran saja. Sehingga analisa bahasa dengan
melepaskannya dari analisa ide adalah kesesatan. Artinya, tidak mungkin ada
bahasa tanpa ada ide, begitu pula sebaliknya.
Bukankah
pula seseorang yang gugup tidak mampu bicara benar, yang artinya ada juga
hubungan antara emosi dengan bahasa. Inilah yang penting untuk dibahas.
Hubungan bahasa dengan sosial (Sosiolinguistik), hubungan bahasa dengan emosi
(Psikolinguistik). Namun hubungan bahasa dan ide (Ideolinguistik) tidak semudah
mengatakan sebagaimana yang dikatakan di atas, bahwa yang nyata adalah yang
terbahasakan, bahasa merupakan cermin ide.
Ide
berasal dari kata Yunani Eidos yang berarti tangkapan. Istilah ini sudah sangat
populer di zaman Homeros, Empedokles, Demokritos, terutama di zaman Plato. Ide
atau Eidos ini dapat berarti “yang terlihat”, “yang nampak” atau lebih
komplitnya “yang terinderai”. Sehingga secara sederhana, ide dapat diartikan
sebagai apa yang menjadi tangkapan indera manusia.
Oleh
karena itulah maka penulis melakukan mini
research mengenai hubungan bahasa dengan pikiran manusia yang bertujuan
mengetahui keterkaitan antara keduanya dalam realitas kehidupan manusia dalam
peristiwa komunikasi.
Identifikasi Masalah
Dari
uraian latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah, yaitu
sebagai berikut:
Hakikat
bahasa;
Hakikat
berpikir;
Kajian
sosiolinguistik;
Kajian
psikolinguistik; dan
Hubungan
bahasa dan pikiran.
Batasan Masalah
Agar
pembahasan dalam makalah ini tidak terlalu mengambang maka penulis membatasi
pembahasannya. Adapun batasan masalah dalam makalah ini adalah membahas masalah
hubungan bahasa dan pikiran.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
identifikasi dan batasan masalah di atas maka pembahasan dalam makalah ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah
pengertian psikolingistik?
Apakah
hakikat bahasa?
Apakah
hakikat pikiran?
Bagaimanakah
hubungan bahasa dan pikiran?
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Menguraikan
pengertian psikolinguistik;
Mendeskripsikan
mengenai hakikat bahasa;
Mendeskripsikan
mengenai hakikat pikiran; dan
Mendeskripsikan
mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran manusia.
Manfaat
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Memberikan
sajian materi mengenai bahasa dan pikiran manusia;
Sebagai
sarana kreatif dan mendidik dalam penulisan karya ilmiah; dan
Sebagai
salah satu syarat penyelesaian tugas mata kuliah psikolinguistik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikolinguistik
Psikologi
berasal dari bahasa Inggris pscychology. Kata pscychology berasal
dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang
berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu.
Jadi, secara etimologi psikologi adalah ilmu jiwa.
Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu
bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya (Chaer, 2009:3).
Menurut
Simanjuntak (dalam Leo dan Syamsul Sodiq, 2000:13) psikolingusitik merupakan
ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang terjadi apabila seseorang
menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi
dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia.
Aitchison
(dalam Dardjowidjojo, 2003:7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi
tentang bahasa dan mind. Sedangkan, Harley (Dardjowidjojo,2003: 7)
berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses
mental-mental dalam pemakaian bahasa.
Menurut
Slobin (dalam Chaer, 2009:5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba
menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan
kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana
kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2009:6) berpendapat
bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan
bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu
memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada
hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami
ujaran. Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah studi
tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik
pada saat memproduksi atau memahami ujaran.
2.2 Hakikat Bahasa
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia bahasa artinya system lambang bunyi yang arbitrer,
yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Menurut Chaer (2009:31) bahasa
adalah alat interaksi atau alat komunikasi di dalam masyarakat.
Bahasa
juga diartikan sebagai rangkain bunyi yang mempunyai makna terrtentu. Rangkain
bunyi yang kita kenal sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Kumpulan lambang
bunyi, dalam pemikirannya, tidak terlepas dari yang satu dengan yang lainnya.
Kata-kata itu dipergunakan dalam suatu sistem yang terpola. Walaupun
bunyi-bunyi bahasa itu di gunakan sudah benar dan sesuai dengan konvensi
(kesepakatan pengguna bahasa), tetapi bila hubungan antar kata-katanya itu
tidak berpola, maka proses komunikasi tidak akan berjalan dengan baik.
Bahasa
adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek
faktual ditransformasikan ke dalam simbol-simbol abstrak. Dengan adanya bahasa
kita dapat memikirkan sesuatu meskipun objek yang kita pikirkan itu tidak
berada di dekat kita. Dengan simbol-simbol bahasa yang abstrak, kita dapat
memikirkan sesuatu secara terus-menerus dan kemudian mewariskan pengalamannya
itu kepada generasi-generasi berikutnya. Kita dapat pula mengkomunikasikan
sesuatu yang kita pikirkan dan dapat pula belajar sesuatu dari orang lain.
Bahasa
adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam
lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu, memahami bahasa akan memungkinkan
kita memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia.
Menurut E.
Sapir (dalam Mulyadi, 2009:1) bahasa adalah “A purely human and non-instinctive
method of communicating ideas, emotions, and desires, by means of a system of
voluntarily produced symbols.” Dalam batasan tersebut ada lima butir terpenting
yaitu bahwa bahasa itu:
a.
Manusiawi
Hanya manusialah yang memiliki sistem simbol untuk berkomunikasi. Betul bahwa
hewan seperti binatang pun berkomunikasi, dan mempunyai sistem bunyi, tetapi
sistem itu bukanlah kata-kata. Dengan demikian mereka tidak memiliki bahasa.
Manusia telah berbahasa sejak dini sejarahnya, dan perkembangan bahasanya
inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain; hingga membuat dirinya mampu
berpikir.
b.
Dipelajari
Manusia ketika lahir tidak langsung lalu mampu berbicara. anak yang tidak
mempunyai kontak dengan orang lain yang berbahasa seperti dirinya sendiri akan
mengembangkan bahasanya sendiri untuk memenuhi hasrat komunikasinya. Namun
bahasa tidaklah ada artinya bila hanya untuk diri sendiri. Paling tidak
haruslah ada dua orang, supaya ada proses komunikasi. Betul bahwa seseorang
bisa berkomunikasi pada dirinya, namun untuk komunikasi seperti ini tidak perlu
kata-kata.
c. Sistem
Bahasa memiliki seperangkat aturan yang dikenal para penuturnya. Perangkat
inilah yang menentukan struktur apa yang diucapkannya. Struktur ini disebut
grammar. Bagaimanapun primitifnya suatu masyarakat penutur bahasa, bahasanya
itu sendiri bekerja menurut seperangkat aturan yang teratur. Kenyataan bahwa
bahasa sebagai sistem adalah persoalan pemakaian (usage); bukan ditentukan oleh
panitia atau lembaga perumus. Aturan ini dibuat dan diubah oleh cara
orang-orang yang menggunakannya. Aturan ini ada karena para penuturnya
menggunakan bahasa dalam cara tertentu dan tidak dalam cara lain. Dan karena
ada kesepakatan umum tentang aturan ini maka orang menggunakan bahasa dalam
cara tertentu yang memiliki arti. Dikarenakan ada kesepakatan inilah maka kita
bisa mempelajari dan mangajarkan bahasa apa saja.
d.
Arbitrer.
Bahwa bahasa mempergunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dalam cara tertentu
pula adalah secara kebetulan saja. Orang-orang melambangkan satu kata saja
untuk melambangkan satu benda, misalnya kata kuda ditujukan hanyalah untuk binatang
berkaki empat tertentu karena orang lain berbuat demikian. Demikian pula
kalimat berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata
kerja cenderung menempati posisi akhir, dalam bahasa Perancis kata sifat
diletakkan setelah kata benda seperti halnya bahasa Indonesia. Ini adalah semua
karena kebetulan saja.
e.
Simbolik
Bahasa terdiri atas rentetan simbol arbitrer yang memiliki arti. Kita bisa
menggunakan simbol-simbol ini untuk berkomunikasi sesama manusia karena manusia
sama-sama memiliki perasaan, gagasan, dan keinginan. Dengan demikian kita
menerjemahkan orang lain atas acuan pada pengalaman diri sendiri. Kalau kita
mengerti ujaran orang yang berkata, “Saya lapar”, ini karena kita pun biasa
mengalami peristiwa lapar itu.
Sistem
bahasa apapun memungkinkan kita membicarakan sesuatu walau tidak ada di
lingkungan kita. Kita pun bisa membicarakan sesuatu peristiwa yang sudah
terjadi atau yang akan terjadi. Ini dimungkinkan karena bahasa memiliki daya
simbolik, untuk membicarakan konsep apapun juga. Ini pulalah yang memungkinkan
manusia memiliki daya penalaran (reasoning).
Demikianlah
lima butir hakikat bahasa manusia sebagai alat untuk berkomunikasi dan
mencirikan dirinya serta membedakannya dari makhluk lain.
2.3 Hakikat Pikiran
Pikiran
berasal dari kata dasar pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pikir
artinya akal budi ; ingatan; angan-angan; kata dalam hati; kira, kemudian
mendapat sufiks –an menjadi kata pikiran. Berpikir adalah aktivitas mental
manusia. Dalam proses berpikir kita merangkai-rangkaikan sebab akibat,
menganalisinya dari hal-hal yang khusus atau atau kita menganalisisnya dari
hal-hal yang khusus ke yang umum. Berpikir berarti merangkai konsep-konsep.
Pikiran adalah proses pengolahan stimulus yang berlangsung dalam domain
representasi utama. Proses tersebut dapat dikategorikan sebagai proses
perhitungan (computational process).
Proses
berpikir dilalui dengan tiga langkah yaitu: pembentukan pikiran, pembentukan
pendapat, penarikan kesimpulan dan pembentukan keputusan. Pertama, yaitu
pada pembentukan pikiran. Pada pembentukan pikiran inilah manusia menganalisis
ciri-ciri dari sejumlah objek. Objek tersebut kita perhatikan unsur-unsurnya
satu demi satu. Misalnya mau membentuk pengertian manusia. Kita akan menganalisis
ciri-ciri manusia.
Kedua,
yakni pada pembentukan pendapat. Pada pembentukan pendapat ini seseorang
meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih yang dinyatakan dalam
bentuk bahasa yang disebut kalimat. Pembentukan pendapat dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu pendapat afirmatif atau pendapat positif yaitu pendapat yang
mengiakan sesuatu hal, pendapat negatif yaitu pendapat yang tidak menyetujui,
dan pendapat modalitas yaitu pendapat yang memungkinkan sesuatu.
Ketiga,
pada penarikan kesimpulan. Pada penarikan kesimpulan ini melahirkan tiga macam
kesimpulan, yaitu keputusan induktif, deduktif, dan analogis (perbandingan).
Berpikir
yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir dengan menghitung yang
hakikatnya pemikirannya hanya berhenti pada aspek kuantitatif dari realitas,
pada aspek utilistik instrumental dari realitas. Dalam terminologi sehari-hari
dipakai istilah ratio yang berasal dari kata latin reor yang
berarti ‘menghitung’. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dari realitas tidak
mungkin terjangkau melalui berpikir dengan menghitung.
Berpikir
yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan,
membayangkan. Dalam berpikir dengan memvisualisasikan terkandung asumsi bahwa
segala hal dapat dibuat visual (yang jelas tidak mungkin), terkandung persepsi
dasar bahwa the real is the physical. Hal yang lebih dalam dari realitas
jasmani dengan sendirinya tidak terjangkau.
Dalam gaya
berpikir dangan memvisualisasikan, realitas adalah yang dapat ditangkap oleh
pancaindera (Poespoprodjo, 1999:77). Yang lainnya adalah tidak ada. Copy
theory of reality (Camera theory of reality) pada hakikatnya adalah
pernyataan bahwa manusia adalah pasif; ‘objektif’ adalah pengingkaran kesertaan
mutlak manusia subjek dalam kegiatan tahu. Minatnya tidak pada realitas, tetapi
pada pematokan realitas, pada manipulasi ide-ide, pada kejelasan, tetapi sekedar
kejelasan jasmani-inderawi. Berpikir dengan membayangkan tidak mungkin bicara
tentang hakikat realitas. Pendek kata, lebih banyak lagi kebenaran yang tidak
mungkin diungkap melalui berpikir dengan membayangkan.
Berpikir
yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir menjelaskan, karena de
facto berpikir dengan menjelaskan sekadar gerak pikiran diantara
batas-batas yang sudah ditetapkan.rasionalitas, logika validasi
metode-metodenya sudah pasti. Seluruh usaha adalah sekedar menggiring pikiran
ke jalur tersebut.
Berpikir
dengan menghitung, berpikir dengan memvisualisasikan, dan berpikir dengan
menjelaskan adalah bentuk-bentuk berpikir, tetapi sekedar tukilan dari berpikir
yang benar-benar berpikir.
Dalam
praktek terbatas tertentu, bentuk-bentuk tersebut tidak diragukan arti dan
manfaatnya. Tetapi bilamana bentuk-bentuk tersebut disetarakan, tidak dilampui
bahkan diidentikkan dengan berpikir yang benar-benar berpikir, maka distorsi
kadar kebenaran yang lebih kaya dari realitas merupakan bencana yang tidak
dapat dihindarkan. Berbagai realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan
karena kadar kebenaran banyak hal tidak akan tampak dan tampil dengan gaya-gaya
berpikir secara menghitung, secara memvisualisasikan, secara menjelaskan.
Arti
realitas tidak mungkin dapat dipikirkan dengan semestinya. Realitas itu sendiri
tidak dipikirkan. Ketiga gaya pemikiran tersebut tidak memungkinkan untuk
memikirkan pertanyaan tentang hakikat realitas, hakikat manusia.
Jelas
bahwa berpikir yang benar-benar berpikir bukan bergerak diantara batas-batas
yang sebelumnya sudah dipastikan, tidak bertujuan untuk meregam, menguasai,
memaksakan kekuasaan (teori-teori, metode-metode, sistem-sistem dan sebagainya)
pada realitas
Realitas
bukan hasil pikiran, dan bahasa bukan alat. Bahasa dan pikiran adalah ruang
tempat terjadinya peristiwa realitas. Berpikir adalah tanggapan, jawaban, bukan
sikap objektivistik dan sikap mengambil jarak. Dan bahasa berkaitan erat dengan
peristiwa penyampaian arti. Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan
realitas kepadanya.
2.4 Hubungan Bahasa dan Pikiran
Beberapa
ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih
disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Berikut ini
adalah beberapa ahli tersebut.
2.4.1 Teori Sapir-Whorf
Dari
banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis
melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh
berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran. Edward Sapir
(1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah linguis Amerika yang
mengatakan bahwa manusia hidup di dunia di bawah “belas kasih” bahasanya yang
telah menjadi alat pengantar dalam kehidupan bermasyarakat (Chaer, 2009:52).
Sapir dan
Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk
dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua
hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
Hipotesis
pertama adalah lingusitic relativity
hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum
paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan
bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
Hipotesis
kedua adalah linguistics determinism
yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi
dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia
ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh
bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek
formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of
individual languages heavily constrain the conceptual representations available
to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu
representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi
dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan
Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia
yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf
berikut ini: Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native
kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita
temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer.
Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh
impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang
ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep,
memilah unsur-unsur yang penting.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Pada
hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami
ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang
mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada
saat memproduksi atau memahami ujaran. Dengan kata lain, dalam penggunaan
bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode
menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep
menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Bahasa
sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik
berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis.
Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa,
yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang
dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana
ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara
tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa
yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan
berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis (Yeti Mulyati, 2009:23).
Semua
bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi.
Psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan
kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada
kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya
(Pateda, 1990:13). Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan
lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak
anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif.
Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman
manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia
berpikir dan berkata.
Perilaku
yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan
menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak
tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca
sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan
atau ditulisnya.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup psikolinguistik yaitu
penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa,
proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan perilaku manusia, hubungan
antara bahasa dengan otak. Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi
bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan
bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode)
dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode) (Yeti Mulyati, 2009:15), hubungan
antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa.
Manusia
sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas
untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun
psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan
membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah
tadi.
Istilah cognitive berasal dari cognition
yang padanannya knowing berarti
mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan,
dan penggunaan pengetahuan. Kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu
domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental
manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah,
pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan.
Ranah ini berpusat di otak yang juga
berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian
dengan ranah rasa (Syah, 2004:22). Ranah kognitif yang berpusat di otak
merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus
pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah
psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini (Syah, 2004:22) mengemukakan bahwa tanpa
ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan
berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah
materi-materi yang disajikan kepadanya.
Afektif
adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta,
sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan
lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang segala amal
jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya
karena sifatnya terbuka (Syah, 2004:52).
Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm
Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan
pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu
masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat
itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh
bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota ini ingin mengubah pandangan
hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan
demikian dia menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain
itu (Chaer, 2009:52).
Mengenai bahasa itu sendiri Von
Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian.Bagian
pertama berupa bunyi-bunyi dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum
terbentuk.Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran
dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt
merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform)
Teori Jean Piaget
Teori ini
mengungkapkan pendapat yang sebaliknya dengan teori Sapir-Whorf, dikemukakan
oleh Piaget sarjana Perancis, yaitu bahwa justru pikiranlah yang membentuk
bahasa, tanpa pikiran bahasa tidak akan ada (Chaer, 2009:54).
Jean Peaget
juga mengemukakan teori perkembangan kognisi yang menyatakan jika seorang mampu
menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan berbagai cara yang berlainan
sebelum anak itu dapat menggolongkan benda-benda tersebut dengan menggunakan
kata-kata (bahasa) yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan
kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Menurut
Piaget (dalam Chaer, 2009:54) ada dua hal penting mengenai hubungan bahasa
dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran), yaitu:
Sumber
kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode
sensorimotorik (2 tahun pertama perkembangan kognisi), yakni satu system skema,
dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari
aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda
(sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan
dan operasi pemakaian kembali.
Pembentukan
pemikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu
konstitusi fungsi lambing pada umumnya.
Teori L.S Vygotsky
Teori ini
di lontarkan oleh L.S Vygotsky, dan ia mengatakan bahwa terdapat satu tahap
perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan
pikiran sebalum adanya bahasa. Lalu, dua garis perkembangan ini saling bertemu
maka pikiran berbahasa dan bahasa berpikir terjadi secara serentak. Maksudnya,
pikiran dan bahasa pada mulanya berkembang secara terpisah, tidak saling
mempengaruhi satu sama lain, dengan kata lain, mula-mula pikiran berkembang
tanpa bahasa, begitu pula sebaliknya, bahasa pada mulanya berkembang tanpa
pikiran, kemudian pada tahap selanjutnya, keduanya bertemu, bekerjasama, dan
saling mempengaruhi (Chaer, 2009:55).. Begitulah, seseorang berpikir dengan
menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Teori Noam Chomsky
Mengenai
hubungan bahasa dan pemikiran Noam Chomsky mengajukan teori klasik yang disebut
hipotesis nurani. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam
adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang
kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir
dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa dalam yang bersifat
universal (Chaer, 2009:57).. Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan
belajar atau pembelajaran, misalnya dengan aksi atau perilaku seperti yang
dikatakan Piaget, dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut kecerdasan.
Jadi, bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang berasingan dan mempunyai
otonomi masing-masing. Seorang anak yang dungu pun akan lancer berbahasa hampir
pada jangka waktu yang sama dengan seorang kanak-kanak yang normal.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa
struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa
bersifat otonom, dan karena itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi
(pemikiran) pada umumnya termasuk kecerdasan.
Teori Eric Lenneberg
Berkenaan
dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Eric Lenneberg mengajukan teori
yang disebut teori kemampuan bahasa khusus. Teori ini secara kebetulan ada
kesamaannya dengan teori Chomsky dan juga dengan pandangan Piaget.
Menurut
Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi
asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk
manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran (Chaer,
2009:58).. Kanak-kanak, menurut Lenneberg telah mempunyai biologi untuk
berbahasa pada waktu mereka masih berada pada tingkat kemampuan berpikir yang
rendah dan kemampuan bercakap dan memahami kalimat mempunyai korelasi yang
rendah dengan IQ manusia. Penelitian yang dilakukan Lenneberg telah menunjukkan
bahwa bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang sama pada kanak-kanak yang
cacat mental dan kanak-kanak yang normal. Umpamanya kanak-kanak yang mempunyai
IQ 50 ketika dia berusia 12 tahun dan lebih kurang 30 ketika berumur 20 tahun,
juga mampu menguasai bahasa dengan cukup baik, kecuali dengan sesekali terjadi
kesalahan ucapan dan kesalahan tatabahasa. Oleh karena itu, menurut Lenneberg
adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan pula terjadi kerusakan
bahasa. Sebaliknya, adanya kerusakan bahasa tidak berarti akan menimbulkan
kemampuan kognitif yang rendah.
Teori Bruner
Berkenaan
dengan masalah bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang
disebutnya teori instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada
manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran itu. Dengan kata lain,
bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir secara sistematis
(Chaer, 2009:59). Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari
sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat
serupa. Lalu, karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa maka
keduanya bisa saling membantu. Selanjutnya, bahasa dan pikiran adalah alat
untuk berlakunya aksi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian
di atas dapat kita simpulkan hubungan antara bahasa dan pikiran, yaitu sebagai
berikut:
a.
Bahasa Memengaruhi Pikiran
Pemahaman
terhadap kata mempengaruhi pikirannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat
terkondisiikan oleh kata yang manusia gunakan. Tokoh yang mendukung hubungan
ini adalah Benjamin Whorf dan gurunya, Edward Sapir. Whorf mengambil contoh
Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang
Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam menjelaskan realitas. Hal ini
membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
b.
Pikiran Memengaruhi Bahasa
Ada
kemungkinan struktur bahasa dipengaruhi oleh pikiran. Sekitar 2.500 tahun yang
lalu Aristoteles berargumen bahwa kategori pikiran menentukan kategori bahasa.
Banyak alasan yang memperkuat argumen tersebut, walaupun Aristoteles sendiri
tidak bisa memperlihatkan alasan-alasan tersebut. Adapun alasan yang dapat
dikemukakan antara lain, kemampuan manusia berpikir muncul lebih awal ditinjau
dari aspek evolusi dan berlangsung belakangan dari aspek perkembangannya
dibandingkan kemampuan menggunakan bahasa.
Tokoh
psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget menyatakan
bahwa ada keterkaitan antara pikiran dan bahasa. Bahasa adalah representasi
dari pikiran. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap
perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif
anak akan memengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut
semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Sebelum anak-anak menggunakan
bahasanya secara efektif, anak-anak memperlihatkan kemampuan kognitif yang
cukup berarti dan beragam.
Menurut
Pieget, ada dua pikiran, yaitu pikiran terarah (directed) atau intelligent dan
pikiran tidak terarah atau autistik (autictic).
Pikiran yang terarah adalah pikiran yang menghasilkan tindakan atau ujaran yang
dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan kuat, sedangkan pikiran tidak
terarah umumnya pikiran yang sering menimbulkan kekeliruan atau dampak yang
tidak terduga. Mungkin itu sebabnya terjadi tergelincir lidah.
c.
Bahasa dan Pikiran Saling Memengaruhi
Hubungan
timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky,
seorang ahli semantik kebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu
teori. Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada tahap permulaan
berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula
pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran.
Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan saling bekerja sama, serta
saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas
banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
3.2 Saran
Sebagai individu yang merupakan
makhluk sosial kita harus bisa menggunakan pikiran dalam berbahasa karena
sesungguhnya ukuran seorang manusia dilihat dari kemampuannya dalam berpikir.
Berpikir tidak bisa dipisahkan dari aktivitas berbahasa. Oleh karena itu, dalam
menggunakan bahasa marilah kita berpikir secara logis dan sistematis agar
tercipta komunikasi yang tepat dan tidak salah interpretasi.
Mari kita gunakan pemahaman mengenai
konsep berpikir dan berbahasa dalam kehidupan kita sehari-hari agar dapat
menjadi manusia yang berpikir, berbahasa, dan berbudaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik:
Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Leo dan Syamsul Sodiq. 2000. Psikolingustik. Jakarta: Universitas Terbuka
Muhibin, Syah. 2004. Psikologi
Belajar. Jakarta: PT Grafika Persada
Mulyadi. 2009. Introduction
to Linguistic. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press
Mulyati, Yeti. 2009. Keterampilan
Berbahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka
Pateda, Mansyur. 1990. Aspek-Aspek
Psikolinguistik. Ende Flores: Nusa Indah
Pusporodjo. 1999. Logika
Scientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar