Penantianku
di Semester Tujuh
(Untuk
Siti Masriani Harahap)
Oleh
Jason Walker Panggabean
Mahasiswa
Prodi Bahasa Indonesia
STKIP
Tapanuli Selatan
Kelabu
terasa dalam jiwaku semenjak Cheryl memutuskan hubungan kami yang sudah
berjalan dua setengah tahun dengan cara selingkuh. Bukan masalah perselingkuhan
itu yang membuatku begitu terpukul, tetapi masalahnya Cheryl selingkuh dengan
temanku, tetangga rumahku yang enggan rasanya hati ini untuk menyebutkan
namanya. Seorang pria kaya alias tajir, tinggi, tampan, dan keren tentunya. Ingin
rasanya diri ini jadi the killer man dan
menghabisi pria itu. Tetapi seperti kata kebanyakan orang “man is a dog”. Pria akan melahap setiap mangsa empuk, tak peduli
wanita itu pacar siapa, anak siapa, bahkan istri siapa. Jadi aku tidak bisa
menyalahkannya dalam hal ini, mungkin Cherylnya saja yang sudah bosan atau aku
memang tidak sanggup membahagiakannya, entahlah ribuan pertanyaan selalu saja
menghantuiku dan hampir membuatku depresi.
Huffttt...
Sudah dua minggu malam-malamku terlewatkan dengan air mata dan hari-hariku di
kampus seperti orang yang kehilangan jiwa membuat orang-orang takut
mencakapiku. Bagaimana tidak, di kampus aku hanya duduk terdiam dan termenung tanpa
bicara sepatah kata pun. Mataku lebam akibat menangis semalaman. Jika diingat-ingat,
baru kali ini aku menangisi seorang gadis. Baru kali ini aku merasa kehilangan
yang teramat sangat sampai membuatku menjadi lelaki cengeng. Memilukan tetapi sekaligus
memalukan.
Perkenalkan
namaku Jason, lengkapnya Jason Walker. Kata kawan-kawan namaku itu keren tetapi
nggak dibarengi dengan tampangku yang
standar tetapi nggak jelek-jelek amat
kok. Masih bisalah dikatakan pas-pasan. Aku mahasiswa semester empat di salah
satu kampus swasta di kota tetangga kota tempat tinggalku. Sehingga bisa
dikatakan aku adalah orang baru di kota ini dan tidak mengenal begitu banyak
orang di sini. Walaupun kota ini baru untukku tetapi harus aku akui bahwa kota
ini membuatku begitu nyaman dengan udaranya yang sejuk dan suhunya yang dingin,
yaitu Kota Salak, Kota Padangsidimpuan, sebuah kota di bagian utara Sumatera.
Setelah
putus dari Cheryl rasanya aku sudah nggak
berniat lagi pacaran dalam waktu dekat ini karena seperti kata pujangga
“hatiku masih sakit oleh luka itu”. Hari demi hari berlalu begitu saja, flat tanpa warna, membosankan, dan
membuatku terbiasa dengan kesendirian. Rutinitasku begitu monoton, pagi ke
kampus, duduk, diam, dan pulang setelah tengah hari. Besok begitu lagi dan
lusanya pun begitu lagi. Hal ini telah terjadi selama dua bulan, tepatnya dari
pertengahan bulan Maret hingga Mei. Dan pada pertengahan bulan Mei ini lah
cerita ini bermula.
Entah
dari mana awalnya aku dekat dengan gadis ini. Seorang gadis di ruanganku. Dia
seorang gadis yang sepertinya sejak semester satu sampai semester tiga aku
tidak menyadari keberadaannya di sana. Tetapi sekarang aku begitu dekat
dengannya, tetapi kedekatan ini hanya terjadi di dunia maya, yaitu melalui
telepon genggam atau handphone karena jujur nggak tahu kenapa aku tidak berani mencakapinya di kampus sehingga
tidak banyak teman-teman yang mengetahui kedekatan kami. Gadis itu bernama Siti Masriani. Gadis yang
begitu anggun dengan pembawaannya yang pendiam, begitu feminim, dan sepertinya
seorang gadis yang solehah. Ia memanggilku “kakak” dan aku memanggilnya “adek”,
sebuah panggilan yang ku anggap sebagai panggilan sayang untuk kami. Dan aku
lebih suka menyebutnya Riani.
Kedekatan
kami baru disadari teman-teman setelah suatu kejadian memalukan terjadi saat
aku mendapat giliran untuk menceritakan story
dalam novel Siti Nurbaya yang kebetulan kami berada di Program Studi Bahasa
dan Sastra Indonesia. Hari itu tidak seperti biasa aku begitu gugup berbicara
di depan kelas. Aku sudah bercerita setengah dari sinopsis novel Siti Nurbaya
tersebut. Suasana di ruangan hening mendengarkan aku membacakan cerita itu.
Sampai suatu ketika aku menoleh ke arah Riany dan tanpa sadar saat aku ingin
mengucapkan Siti Nurbaya yang keluar dari mulutku malah Siti Masriani. Hal ini
mengundang gelak tawa yang sangat keras dari seluruh penghuni ruangan itu.
Ruangan yang tadinya hening berubah manjadi riuh. Aku begitu gugup dan
keringatku bercucuran begitu deras saat itu. Aku begitu malu dan rasanya ingin
segera berlari meninggalkan ruangan itu tetapi aku harus menyelesaikan cerita
itu. Ku lihat Riany hanya bisa tertunduk malu dan terdiam. Ia tak berani
menoleh ke arahku.
Seperti
biasa setiap hari aku tak lupa mengingatkan Riany untuk sarapan, makan siang,
dan makan malam. Aku tidak tahu apakah dia bosan setiap kali HP-nya berbunyi
dan melihat itu SMS dariku mengingatkan makan. Terkadang dia mengatakan kalau
aku begitu cerewet saat ngomel menyuruh
ia makan, tetapi itu semakin membuatku menyayanginya.
Hari
demi hari berlalu. Tak banyak harap yang tertulis dalam benakku untuk bisa
memiliki Riany sepenuhnya. Walaupun sepertinya ia juga memiliki rasa yang sama
denganku tetapi bisa aku lihat bahwa perasaannya tidak sebesar perasaanku. Sampai
suatu ketika aku mengungkapkan perasaanku padanya. Malam itu tanpa perencanaan
sebelumnya aku menelepon Riany dan basa-basi seperti biasa hingga setelah
sekian lama kami ngobrol aku mulai
mengajaknya untuk bicara serius. Sama halnya seperti orang kebanyakan aku
mencoba untuk perlahan menyampaikan apa yang ku rasakan padanya.
Malam
itu setelah mendapatkan jawaban dari Riany aku hanya bisa terdiam dan menarik
napas sedalam mungkin untuk menenangkan jiwa dan hatiku. Riany mengatakan bahwa
ia juga memiliki perasaan yang sama denganku tetapi untuk saat ini ia belum
bisa menerimaku sebagai seorang kekasih untuknya. Ia masih menganggapku sebagai
seorang kakak. Tetapi satu kalimat yang membuatku sedikit lega dan tersenyum
saat ia berkata “Kak, Riany nggak nolak kakak
mentah-mentah, Riany mau menjalin hubungan sama seseorang tetapi setelah
semester tujuh, kalau kakak sabar menunggu Riany ‘kan coba buka hati untuk
kakak.” Belakangan aku tahu bahwa ia baru saja disakiti oleh seorang pria.
Jadi, entah bagaimana aku harus memaknai kalimat yang ia ucapkan. Apakah memang
harus ku tunggu hingga semester tujuh atau ku coba buang perasaan ini karena
belum tentu juga ia serius. Ini membuatku untuk mengernyitkan dahi sejenak
untuk berpikir.
Semakin
waktu bergulir hubunganku dan Riany semakin dekat pula. Aku telah begitu akrab
dengannya. Sampai suatu ketika Riany mengatakan padaku kalau ada teman-teman
yang menanyakan hubungan kami maka aku diminta untuk mengatakan bahwa kami
telah berpacaran. Aku tidak tahu sepenuhnya apa tujuannya mengatakan itu.
Apakah untuk memberi harap padaku? Apakah agar aku tidak dekat dengan gadis
lain? Apakah ia memang menginginkan itu terjadi? Atau apakah hanya untuk
menunjukkan kepada orang lain bahwa ia tidak sedang sendiri atau jomblo? Semua
pertanyaan itu membuat dadaku sesak. Tetapi sedikit banyaknya hal itu membuatku
tersenyum. Dengan demikian aku tahu bahwa ia tidak malu memiliki status
denganku walaupun hanya untuk diketahui teman yang kenyataannya status itu
tidak ia akui untukku. Aku hanya bisa bersabar dengan hal itu. Aku tidak tahu
apakah ia tidak berpikir bahwa itu sedikit membuat perasaanku sakit. Semua ini
menghadirkan dilema dalam hati dan pikiranku. Kalut terasa mengakui bahwa aku
memilikinya hanya di depan teman. Aku hanya bisa mengucapkan perasaan ini dalam
hati “Riany, tahukah engkau akan hati ini?”
Pertengahan
bulan Juli di semester enam aku jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Dokter mendiagnosa kalau aku mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Aku
menderita penyakit ini sejak duduk di bangku SMP tetapi sudah 5 tahun terakhir
ini gejala itu hilang. Namun semua tak seindah yang ku bayangkan. Ternyata
selama ini penyakit itu masih menggerogoti tubuhku. Dokter mengatakan kalu
umurku tidak panjang lagi, 3 bulan adalah waktu yang tersisa untukku. Aku tidak
member tahu hal ini kepada Riany. Aku tidah mau menjadi beban pikiran untuknya.
Yang pasti sebelum aku pergi untuk selamanya aku ingin mengukir ribuan senyum
di bibirnya. Aku ingin melihat ia bahagia. Walau saat memikirkan semua ini air
mataku tak mampu bertahan membayangkan saat ia menanggung pilu di tepi kuburku
nanti.
Waktu
yang aku miliki serasa semakin dekat. Kini masa telah menunjukkan tanggal di
pertengahan bulan September. Semua terasa begitu menunggu di ujung langkahku.
Semester enam telah berada di akhir. Dan kini adalah waktu semester tujuh.
Waktu yang pernah menjadi sebuah harap besar untukku. Waktu yang telah ku nanti
sejak pertama Riany mengucapkan harapan itu. Terasa begitu besar rasa yang ada
di dada ini. Rasa yang ingin segera ku luapkan dengan sebuah kecupan hangat di
keningnya.
Sudah
dua minggu kami libur akhir semester. Hari ini tepatnya tanggal 22 September.
Satu hari sebelum hari ulang tahun Riany. Besok adalah hari pertama masuk
kuliah. Aku telah menyiapkan sebuah cincin dan sekuntum bunga mawar untuknya.
Besok adalah waktu yang paling tepat untukku kembali mengungkapkan isi hatiku
kepada Riany setelah 1 tahun menanti sekaligus mengucapkan selamat ulang tahun
untuknya. Malam itu hatiku terasa begitu bahagia membayangkan apa yang akan
terjadi besok hari.
Lamunan
seketika berhenti ketika suara ponselku membuyarkan khayalanku. Aku melihat
layar ponselku ternyata dokter Fadli yang menelepon. Ia menyarankan agar besok
aku tidak masuk kuliah. Aku bertanya kenapa tetapi ia tidak mau menjawab. Ia
hanya mengatakan malam ini agar aku banyak berdoa dan meminta maaf kepada orang
tuaku. Ia berkata begitu lesu seakan semua telah berakhir. Ia juga memintaku
memberikan ponselku kepada Ibuku. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan,
tetapi setelah mereka selesai berbicara Ibuku menangis dan memelukku dengan
begitu erat serasa besok kami tidak akan berjumpa lagi. Aku bertanya apa yang
dikatakan dokter Fadli tetapi Ibuku tidak menjawab juga. Aku hanya bisa terdiam
dan semua terasa begitu berat. Napasku seakan berhenti oleh tekanan yang ku
rasa. Aku takut. Tapi aku mencoba untuk tak memikirkan hal ini. Aku tak ingin
semua ini menghalangi rencanaku untuk menggenapi janji Riany. Malam ini berlalu
dengan sejuta pilu di hatiku. Air mata
membawaku terlelap dalam tidurku. Aku masih ingin terbangun esok pagi. Tuhan
beri aku sedikit waktu untuk cinta ini.
Keesokan
harinya aku bergegas ke kampus. Tak lupa aku mengantongi cincin itu dan
memasukkan sekuntum mawar di dalam tasku. Lama sudah aku tiba di kampus tetapi Riany
belum juga terlihat olehku. Jam pertama telah berlalu tetapi Riany dan
teman-teman yang dekat dengannya belum juga kelihatan. Aku keluar dari ruangan
dan mengambil ponselku. Aku menelepon Riany tetapi ponselnya tidak aktif.
Hatiku semakin gusar. Aku mencoba menelepon teman dekatnya yaitu Evi. Evi
mengangkat panggilanku. Aku kemudian mengirim pesan lewat SMS. Tak berapa lama
Evi pun membalas pesanku. Betapa terkejutnya aku saat membaca balasan pesan
dari Evi “Jason, Riany menikah. Kami lagi di rumahnya. Riany dijodohkan.” Tak
terasa air mataku seketika itu juga terjatuh tanpa ku sadari. Aku terduduk di
teras ruanganku. Mencoba untuk meyakikan diriku bahwa semua ini tidak
benar-benar terjadi. Ini hanya halusinasiku saja. Aku kembali membaca pesan
itu. Dan tulisannya masih sama dengan yang tadi. Aku mengusap mata dan dadaku.
Aku
berlari ke ruangan dan mengambil tas ku. Aku segera ke rumah Riany. Betapa
terkejutnya aku saat melihat keramaian di sana. Aku tiba di depan pintu. Aku
menggenggam bunga mawar di tangan kananku. Dan aku mencoba menahan sesak yang
semakin sakit di dadaku. Aku melihat penghulu sedang menyalam tangan pria di
samping Riany. Aku berteriak “Tunggu...!”. Seketika itu juga semua hadirin di
sana menoleh ke arahku, termasuk Riany.
Aku
berjalan perlahan ke tengah ruangan. Aku melihat Riany. Matanya lebam. Ia
terlihat begitu tertekan. Ia berdiri dan berjalan ke arahku. Suasana begitu
hening saat itu. Tiba-tiba semua terasa gelap. Aku terjatuh dan terkulai lemas
di tengah ruangan itu. Aku masih bisa merasakan dan mendengar suara. Aku
mencoba membuka mataku saat ku rasa ada yang memangku kepalaku dan air matanya
menetes di pipiku. Ternyata itu Riany. Sekarang aku menyadari apa maksud
perkataan dokter Fadli dan mengertia apa maksud pelukan Ibuku tadi malam. Ternyata
hari ini adalah hari terakhir bagiku.
Aku
mencium bunga mawar itu dan memberikannya kepada Riany. Aku merogoh cincin yang
ada di saku celanaku. Dengan kuatku yang tersisa aku mencoba terbata
menyampaikan isi hatiku “Riany, selamat ulang tahun. Maaf selama ini aku
menyembunyikan penyakit yang ku derita. Hari ini adalah hari terakhir untukku.
Hari terakhirku melihat keindahan dunia. Hari terakhir bisa menyentuhmu. Riany,
apakah ini hari yang kau janjikan dulu? Penantianku di semester tujuh itu?
Apakah kau ingin menunjukkan pernikahanmu? Apakah semua ini bukan keinginanmu?
“Riany, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari bahagia untukmu. Terima kasih
untuk kenangan yang telah kau beri selama ini. Cinta ini mengajariku untuk
mengikhlaskan segalanya. Rindu ini membuatku mengerti akan arti kesabaran.
Walau pilu yang ku terima tapi aku bahagia mengenalmu. Mengenangmu adalah memori
yang akan ku bawa ke alamku. Riany, selamat tinggal. Kan ku jaga dan ku bawa
cinta ini dan ku tenggelamkan dalam tetes air mata di dalamnya relung hatiku.
Pintaku terakhir melihatmu tersenyum saat mengecup batu nisanku. Riany, Aku
menyayangimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar