Rabu, 25 Desember 2013

Cerpen- Penantianku di Semester Tujuh



Penantianku di Semester Tujuh
(Untuk Siti Masriani Harahap)
Oleh Jason Walker Panggabean
Mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia
STKIP Tapanuli  Selatan

            Kelabu terasa dalam jiwaku semenjak Cheryl memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan dua setengah tahun dengan cara selingkuh. Bukan masalah perselingkuhan itu yang membuatku begitu terpukul, tetapi masalahnya Cheryl selingkuh dengan temanku, tetangga rumahku yang enggan rasanya hati ini untuk menyebutkan namanya. Seorang pria kaya alias tajir, tinggi, tampan, dan keren tentunya. Ingin rasanya diri ini jadi the killer man dan menghabisi pria itu. Tetapi seperti kata kebanyakan orang “man is a dog”. Pria akan melahap setiap mangsa empuk, tak peduli wanita itu pacar siapa, anak siapa, bahkan istri siapa. Jadi aku tidak bisa menyalahkannya dalam hal ini, mungkin Cherylnya saja yang sudah bosan atau aku memang tidak sanggup membahagiakannya, entahlah ribuan pertanyaan selalu saja menghantuiku dan hampir membuatku depresi.
            Huffttt... Sudah dua minggu malam-malamku terlewatkan dengan air mata dan hari-hariku di kampus seperti orang yang kehilangan jiwa membuat orang-orang takut mencakapiku. Bagaimana tidak, di kampus aku hanya duduk terdiam dan termenung tanpa bicara sepatah kata pun. Mataku lebam akibat menangis semalaman. Jika diingat-ingat, baru kali ini aku menangisi seorang gadis. Baru kali ini aku merasa kehilangan yang teramat sangat sampai membuatku menjadi lelaki cengeng. Memilukan tetapi sekaligus memalukan.
            Perkenalkan namaku Jason, lengkapnya Jason Walker. Kata kawan-kawan namaku itu keren tetapi nggak dibarengi dengan tampangku yang standar tetapi nggak jelek-jelek amat kok. Masih bisalah dikatakan pas-pasan. Aku mahasiswa semester empat di salah satu kampus swasta di kota tetangga kota tempat tinggalku. Sehingga bisa dikatakan aku adalah orang baru di kota ini dan tidak mengenal begitu banyak orang di sini. Walaupun kota ini baru untukku tetapi harus aku akui bahwa kota ini membuatku begitu nyaman dengan udaranya yang sejuk dan suhunya yang dingin, yaitu Kota Salak, Kota Padangsidimpuan, sebuah kota di bagian utara Sumatera.
            Setelah putus dari Cheryl rasanya aku sudah nggak berniat lagi pacaran dalam waktu dekat ini karena seperti kata pujangga “hatiku masih sakit oleh luka itu”. Hari demi hari berlalu begitu saja, flat tanpa warna, membosankan, dan membuatku terbiasa dengan kesendirian. Rutinitasku begitu monoton, pagi ke kampus, duduk, diam, dan pulang setelah tengah hari. Besok begitu lagi dan lusanya pun begitu lagi. Hal ini telah terjadi selama dua bulan, tepatnya dari pertengahan bulan Maret hingga Mei. Dan pada pertengahan bulan Mei ini lah cerita ini bermula.
            Entah dari mana awalnya aku dekat dengan gadis ini. Seorang gadis di ruanganku. Dia seorang gadis yang sepertinya sejak semester satu sampai semester tiga aku tidak menyadari keberadaannya di sana. Tetapi sekarang aku begitu dekat dengannya, tetapi kedekatan ini hanya terjadi di dunia maya, yaitu melalui telepon genggam atau handphone  karena jujur nggak tahu kenapa aku tidak berani mencakapinya di kampus sehingga tidak banyak teman-teman yang mengetahui kedekatan kami.  Gadis itu bernama Siti Masriani. Gadis yang begitu anggun dengan pembawaannya yang pendiam, begitu feminim, dan sepertinya seorang gadis yang solehah. Ia memanggilku “kakak” dan aku memanggilnya “adek”, sebuah panggilan yang ku anggap sebagai panggilan sayang untuk kami. Dan aku lebih suka menyebutnya Riani.
            Kedekatan kami baru disadari teman-teman setelah suatu kejadian memalukan terjadi saat aku mendapat giliran untuk menceritakan story dalam novel Siti Nurbaya yang kebetulan kami berada di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Hari itu tidak seperti biasa aku begitu gugup berbicara di depan kelas. Aku sudah bercerita setengah dari sinopsis novel Siti Nurbaya tersebut. Suasana di ruangan hening mendengarkan aku membacakan cerita itu. Sampai suatu ketika aku menoleh ke arah Riany dan tanpa sadar saat aku ingin mengucapkan Siti Nurbaya yang keluar dari mulutku malah Siti Masriani. Hal ini mengundang gelak tawa yang sangat keras dari seluruh penghuni ruangan itu. Ruangan yang tadinya hening berubah manjadi riuh. Aku begitu gugup dan keringatku bercucuran begitu deras saat itu. Aku begitu malu dan rasanya ingin segera berlari meninggalkan ruangan itu tetapi aku harus menyelesaikan cerita itu. Ku lihat Riany hanya bisa tertunduk malu dan terdiam. Ia tak berani menoleh ke arahku.
            Seperti biasa setiap hari aku tak lupa mengingatkan Riany untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Aku tidak tahu apakah dia bosan setiap kali HP-nya berbunyi dan melihat itu SMS dariku mengingatkan makan. Terkadang dia mengatakan kalau aku begitu cerewet saat ngomel menyuruh ia makan, tetapi itu semakin membuatku menyayanginya.
            Hari demi hari berlalu. Tak banyak harap yang tertulis dalam benakku untuk bisa memiliki Riany sepenuhnya. Walaupun sepertinya ia juga memiliki rasa yang sama denganku tetapi bisa aku lihat bahwa perasaannya tidak sebesar perasaanku. Sampai suatu ketika aku mengungkapkan perasaanku padanya. Malam itu tanpa perencanaan sebelumnya aku menelepon Riany dan basa-basi seperti biasa hingga setelah sekian lama kami ngobrol aku mulai mengajaknya untuk bicara serius. Sama halnya seperti orang kebanyakan aku mencoba untuk perlahan menyampaikan apa yang ku rasakan padanya.
            Malam itu setelah mendapatkan jawaban dari Riany aku hanya bisa terdiam dan menarik napas sedalam mungkin untuk menenangkan jiwa dan hatiku. Riany mengatakan bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama denganku tetapi untuk saat ini ia belum bisa menerimaku sebagai seorang kekasih untuknya. Ia masih menganggapku sebagai seorang kakak. Tetapi satu kalimat yang membuatku sedikit lega dan tersenyum saat ia berkata “Kak, Riany nggak nolak kakak mentah-mentah, Riany mau menjalin hubungan sama seseorang tetapi setelah semester tujuh, kalau kakak sabar menunggu Riany ‘kan coba buka hati untuk kakak.” Belakangan aku tahu bahwa ia baru saja disakiti oleh seorang pria. Jadi, entah bagaimana aku harus memaknai kalimat yang ia ucapkan. Apakah memang harus ku tunggu hingga semester tujuh atau ku coba buang perasaan ini karena belum tentu juga ia serius. Ini membuatku untuk mengernyitkan dahi sejenak untuk berpikir.
            Semakin waktu bergulir hubunganku dan Riany semakin dekat pula. Aku telah begitu akrab dengannya. Sampai suatu ketika Riany mengatakan padaku kalau ada teman-teman yang menanyakan hubungan kami maka aku diminta untuk mengatakan bahwa kami telah berpacaran. Aku tidak tahu sepenuhnya apa tujuannya mengatakan itu. Apakah untuk memberi harap padaku? Apakah agar aku tidak dekat dengan gadis lain? Apakah ia memang menginginkan itu terjadi? Atau apakah hanya untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa ia tidak sedang sendiri atau jomblo? Semua pertanyaan itu membuat dadaku sesak. Tetapi sedikit banyaknya hal itu membuatku tersenyum. Dengan demikian aku tahu bahwa ia tidak malu memiliki status denganku walaupun hanya untuk diketahui teman yang kenyataannya status itu tidak ia akui untukku. Aku hanya bisa bersabar dengan hal itu. Aku tidak tahu apakah ia tidak berpikir bahwa itu sedikit membuat perasaanku sakit. Semua ini menghadirkan dilema dalam hati dan pikiranku. Kalut terasa mengakui bahwa aku memilikinya hanya di depan teman. Aku hanya bisa mengucapkan perasaan ini dalam hati “Riany, tahukah engkau akan hati ini?”
            Pertengahan bulan Juli di semester enam aku jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dokter mendiagnosa kalau aku mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Aku menderita penyakit ini sejak duduk di bangku SMP tetapi sudah 5 tahun terakhir ini gejala itu hilang. Namun semua tak seindah yang ku bayangkan. Ternyata selama ini penyakit itu masih menggerogoti tubuhku. Dokter mengatakan kalu umurku tidak panjang lagi, 3 bulan adalah waktu yang tersisa untukku. Aku tidak member tahu hal ini kepada Riany. Aku tidah mau menjadi beban pikiran untuknya. Yang pasti sebelum aku pergi untuk selamanya aku ingin mengukir ribuan senyum di bibirnya. Aku ingin melihat ia bahagia. Walau saat memikirkan semua ini air mataku tak mampu bertahan membayangkan saat ia menanggung pilu di tepi kuburku nanti.
            Waktu yang aku miliki serasa semakin dekat. Kini masa telah menunjukkan tanggal di pertengahan bulan September. Semua terasa begitu menunggu di ujung langkahku. Semester enam telah berada di akhir. Dan kini adalah waktu semester tujuh. Waktu yang pernah menjadi sebuah harap besar untukku. Waktu yang telah ku nanti sejak pertama Riany mengucapkan harapan itu. Terasa begitu besar rasa yang ada di dada ini. Rasa yang ingin segera ku luapkan dengan sebuah kecupan hangat di keningnya.
            Sudah dua minggu kami libur akhir semester. Hari ini tepatnya tanggal 22 September. Satu hari sebelum hari ulang tahun Riany. Besok adalah hari pertama masuk kuliah. Aku telah menyiapkan sebuah cincin dan sekuntum bunga mawar untuknya. Besok adalah waktu yang paling tepat untukku kembali mengungkapkan isi hatiku kepada Riany setelah 1 tahun menanti sekaligus mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Malam itu hatiku terasa begitu bahagia membayangkan apa yang akan terjadi besok hari.
            Lamunan seketika berhenti ketika suara ponselku membuyarkan khayalanku. Aku melihat layar ponselku ternyata dokter Fadli yang menelepon. Ia menyarankan agar besok aku tidak masuk kuliah. Aku bertanya kenapa tetapi ia tidak mau menjawab. Ia hanya mengatakan malam ini agar aku banyak berdoa dan meminta maaf kepada orang tuaku. Ia berkata begitu lesu seakan semua telah berakhir. Ia juga memintaku memberikan ponselku kepada Ibuku. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi setelah mereka selesai berbicara Ibuku menangis dan memelukku dengan begitu erat serasa besok kami tidak akan berjumpa lagi. Aku bertanya apa yang dikatakan dokter Fadli tetapi Ibuku tidak menjawab juga. Aku hanya bisa terdiam dan semua terasa begitu berat. Napasku seakan berhenti oleh tekanan yang ku rasa. Aku takut. Tapi aku mencoba untuk tak memikirkan hal ini. Aku tak ingin semua ini menghalangi rencanaku untuk menggenapi janji Riany. Malam ini berlalu dengan sejuta pilu  di hatiku. Air mata membawaku terlelap dalam tidurku. Aku masih ingin terbangun esok pagi. Tuhan beri aku sedikit waktu untuk cinta ini.
            Keesokan harinya aku bergegas ke kampus. Tak lupa aku mengantongi cincin itu dan memasukkan sekuntum mawar di dalam tasku.  Lama sudah aku tiba di kampus tetapi Riany belum juga terlihat olehku. Jam pertama telah berlalu tetapi Riany dan teman-teman yang dekat dengannya belum juga kelihatan. Aku keluar dari ruangan dan mengambil ponselku. Aku menelepon Riany tetapi ponselnya tidak aktif. Hatiku semakin gusar. Aku mencoba menelepon teman dekatnya yaitu Evi. Evi mengangkat panggilanku. Aku kemudian mengirim pesan lewat SMS. Tak berapa lama Evi pun membalas pesanku. Betapa terkejutnya aku saat membaca balasan pesan dari Evi “Jason, Riany menikah. Kami lagi di rumahnya. Riany dijodohkan.” Tak terasa air mataku seketika itu juga terjatuh tanpa ku sadari. Aku terduduk di teras ruanganku. Mencoba untuk meyakikan diriku bahwa semua ini tidak benar-benar terjadi. Ini hanya halusinasiku saja. Aku kembali membaca pesan itu. Dan tulisannya masih sama dengan yang tadi. Aku mengusap mata dan dadaku.
            Aku berlari ke ruangan dan mengambil tas ku. Aku segera ke rumah Riany. Betapa terkejutnya aku saat melihat keramaian di sana. Aku tiba di depan pintu. Aku menggenggam bunga mawar di tangan kananku. Dan aku mencoba menahan sesak yang semakin sakit di dadaku. Aku melihat penghulu sedang menyalam tangan pria di samping Riany. Aku berteriak “Tunggu...!”. Seketika itu juga semua hadirin di sana menoleh ke arahku, termasuk Riany.
            Aku berjalan perlahan ke tengah ruangan. Aku melihat Riany. Matanya lebam. Ia terlihat begitu tertekan. Ia berdiri dan berjalan ke arahku. Suasana begitu hening saat itu. Tiba-tiba semua terasa gelap. Aku terjatuh dan terkulai lemas di tengah ruangan itu. Aku masih bisa merasakan dan mendengar suara. Aku mencoba membuka mataku saat ku rasa ada yang memangku kepalaku dan air matanya menetes di pipiku. Ternyata itu Riany. Sekarang aku menyadari apa maksud perkataan dokter Fadli dan mengertia apa maksud pelukan Ibuku tadi malam. Ternyata hari ini adalah hari terakhir bagiku.
            Aku mencium bunga mawar itu dan memberikannya kepada Riany. Aku merogoh cincin yang ada di saku celanaku. Dengan kuatku yang tersisa aku mencoba terbata menyampaikan isi hatiku “Riany, selamat ulang tahun. Maaf selama ini aku menyembunyikan penyakit yang ku derita. Hari ini adalah hari terakhir untukku. Hari terakhirku melihat keindahan dunia. Hari terakhir bisa menyentuhmu. Riany, apakah ini hari yang kau janjikan dulu? Penantianku di semester tujuh itu? Apakah kau ingin menunjukkan pernikahanmu? Apakah semua ini bukan keinginanmu? “Riany, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari bahagia untukmu. Terima kasih untuk kenangan yang telah kau beri selama ini. Cinta ini mengajariku untuk mengikhlaskan segalanya. Rindu ini membuatku mengerti akan arti kesabaran. Walau pilu yang ku terima tapi aku bahagia mengenalmu. Mengenangmu adalah memori yang akan ku bawa ke alamku. Riany, selamat tinggal. Kan ku jaga dan ku bawa cinta ini dan ku tenggelamkan dalam tetes air mata di dalamnya relung hatiku. Pintaku terakhir melihatmu tersenyum saat mengecup batu nisanku. Riany, Aku menyayangimu.”
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar