Kamis, 31 Oktober 2013

Artikel - Membangun Kapabilitas Pendidikan Indonesia



Membangun Kapabilitas Pendidikan Indonesia

Oleh Jason Walker Panggabean
Mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia
STKIP Tapanuli Selatan

(Telah dimuat di koran Rakyat Tapanuli tanggal 11 Oktober 2013)

            Kapabilitas pendidikan diartikan sebagai kecakapan atau kemampuan sistem pendidikan menciptakan produk yang betul-betul sesuai dengan makna kata ‘terdidik’ tersebut, baik itu tenaga kerja pemerintahan, dosen, guru, pelajar, dan semua pihak yang ada dalam suatu negara karena pada hakikatnya tak ada satupun individu yang luput dari pendidikan. Pertanyaan yang muncul adalah sudahkah sistem pendidikan negeri ini memiliki kapabilitas?
            Banyak masalah dalam pendidikan Indonesia. Masalah-masalah ini menjadi cermin buruknya citra pendidikan kita. Masalah yang timbul tersebut semakin hari semakin menggerogoti tubuh pendidikan kita hingga sangat rentan jatuh ke dalam kehancuran menjadi negara yang gagal. Oleh karena itu, kita perlu menyoroti problem yang ada dan menawarkan solusi terbaik demi membangun kapabilitas pendidikan Indonesia.
            Masalah pertama adalah pemberantasan buta aksara. Menurut Kemendiknas 2011 sebanyak 4,8% penduduk Indonesia masih berada di bawah garis buta aksara, yaitu 8,5 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa angka buta aksara di negeri ini masih terbilang tinggi.      Masyarakat kita tidak menyadari arti pentingnya pendidikan sehingga tidak memiliki motivasi untuk belajar. Dengan tidak adanya motivasi ini maka anggapan yang muncul adalah belajar itu hanya menghabiskan waktu dan menghambur-hamburkan uang saja. Di samping itu, masyarakat kita masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga faktor ekonomi menjadi alasan utama mengapa tidak mengecam pendidikan. Alasan lain adalah banyak penduduk berada di daerah terpencil yang cenderung mengalami ketertinggalan karena sulitnya akses pendidikan.
            Sosialisasi adalah langkah awal yang bisa saja efektif membangun motivasi belajar jika didasari rasa tanggung jawab penuh dari pihak pemerintah dan masyarakat itu sendiri terhadap terciptanya individu yang ‘melek aksara’. Kemudian pemerintah harus membentuk kerja sama yang solid antara perguruan tinggi dan lembaga sosial dalam membentuk pribadi yang terdidik sebagai pengemban tugas di masyarakat. Program ini tentunya akan berhasil guna jika diintegrasikan dengan baik baik dalam program pemerintah secara nasional, misalnya menetapkan anggaran pendidikan dalam APBN dan dijalankan sebagaimana mestinya, bukan hanya sekedar rencana yang tak kunjung terealisasi tetapi malah melenceng ke dalam “brankas” pihak tertentu.
            Masalah kedua adalah pendidikan yang non-inklusif. Sekolah yang inklusif adalah sekolah yang dapat memberikan pelayanan terbaik kepada setiap siswanya tanpa ada indikasi pembeda-bedaan berdasarkan pintar bodoh, kaya miskin, ras atau suku, dan sebagainya.
            Tetapi yang kita lihat dunia pendidikan kita masih jauh dari hal tersebut. Kita ambil salah satu contoh, untuk memasuki suatu sekolah sering kita melihat atau mendengar praktik kecurangan berupa sogok-menyogok demi mendapatkan kursi. Hal ini menunjukkan sifat yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Orang-orang tidak memikirkan orientasi nilai dan prestasi dalam mencapai sesuatu tetapi lebih memikirkan cara paling instan untuk memenangkan sesuatu baik melalui manipulasi, kongkalikong, maupun cara lain yang dianggap mudah, sehingga tidak mengherankan jika kini kita lihat sangat subur terpupuk budaya instan di negeri ini, koruptor misalnya adalah salah satu produk pendidikan yang ekslusif.
            Pemerintah harus mampu menciptakan sekolah yang dapat memberikan pelayanan secara adil dan jujur tanpa diwarnai basis dikotomi yang menimbulkan efek pembeda-bedaan. Sistem rayonisasi juga dapat diterapkan sehingga sekolah berkewajiban menampung pelajar yang ada di kawasan daerahnya bagaimanapun keadaannya. Karena lebih baik membina insan yang bermasyarakat dari pada memelihara insan pintar yang egois.
            Masalah ketiga adalah kekerasan dalam dunia pendidikan. Guru dihadapkan pada tantangan keberagaman latar belakang peserta didik baik sosial maupun budayanya. Oleh karena itu, guru memikul tugas yang besar terhadap baik buruknya moral bangsa. Moral bangsa yang diharapkan terbentuk adalah moral yang jauh dari kata kekerasan. Tetapi yang jadi tontonan kita setiap waktu adalah maraknya kekerasan di lingkungan masyarakat, terutama dalam dunia pendidikan.
            Sepanjang tahun 2012 Komnas Perlindungan Anak mencatat sebanyak 82 pelajar tewas dalam aksi kekerasan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kekerasan dalam dunia pendidikan kita. Dari 9 provinsi yang disurvei oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2012 ditemukan 87,2 persen dari lebih 1.000 siswa SD, SMP, dan SMA mengaku pernah mengalami tindak kekerasan.
            Penyebab tingginya angka kekerasan ini adalah karena pendidikan kita tidak dijauhkan dari kekerasan. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat mempertontonkan aksi kekerasan dihadapan peserta didik sehingga sifat tersebut tertanam dalam jiwa dan kepribadiannya. Pelajar cenderung memiliki emosi yang meluap-luap dikarenakan tidak didasari pendidikan saling menghormati (respect education) sebagai alat kontrol.
           
            Guru sebagai pengemban tugas terbesar tidak boleh menggunakan kekerasan baik pisik maupun psikis dalam mendidik. Guru harus benar-benar mampu memahami fungsi dan kedudukannya. Dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pasal 1 (satu) dituliskan dengan jelas bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dan pada pasal 10 dituliskan guru harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
            Undang-undang tersebut menyampaikan bahwa guru harus mampu menjalankan profesinya secara kompeten dan professional dalam mendidik yang salah satunya adalah kesadaran diri bahwa pendidikan yang kondusif dan bermoral adalah pendidikan yang jauh dari kekerasan. Selain guru, peran orang tua dalam membentuk kepribadian anak juga tidak kalah pentingnya karena orang tua berfungsi sebagai guru di luar sekolah. Orang tua harus mampu membina anak memiliki kecakapan moral melalui penanaman nilai-nilai etika di lingkungan keluarga dan masyarakat.
            Membangun kapabilitas pendidikan kita adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Kita harus memiliki kesadaran yang tinggi bahwa keberhasilan pendidikan kita tidak akan diperjuangkan oleh orang lain tetapi kita sendirilah sebagai pemikul utama. Dampak kegagalan pendidikan adalah kehancuran generasi kita yang akan kita tanggung sendiri di masa yang akan datang. Oleh karena itu, harapan akan terbentuknya sistem pendidikan yang cakap harus kita perjuangkan dengan rasa optimis dan berbasis pada kesadaran serta rasa kebersamaan.

Contoh Program Semester


PROGRAM SEMESTER


















































Nama Sekolah

: 





























Mata Pelajaran

: Bahasa Indonesia

























Kelas / Semester

: XI / I




























Tahun Pelajaran

: 2011 / 2012
























































Nomor Nomor AW Juli Agustus September Oktober Nopember Desember




SK KD 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5




1 1.1 2




1.2 2




2 2.1 4




2.2 4




3 3.1 4




3.2 4




4 4.1 6




4.2 4




4.3 6




5 5.1 4




5.2 4




6 6.1 6




6.2 6




7 7.1 4




7.2 4




8 8.1 4




8.2 4




Jumlah 72




































































































































































































































































































































































































































































































































































































































PROGRAM SEMESTER


















































Nama Sekolah


: 




























Mata Pelajaran


: Bahasa Indonesia
























Kelas / Semester


: XI / II



























Tahun Pelajaran


: 2011 / 2012























































Nomor Nomor AW Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
SK KD 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
9 9.1 4
9.2 4
10 10.1 6
10.2 6
11 11.1 6
11.2 6
12 12.1 6
12.2 6
12.3 8
13 13.1 4
13.2 4
14 14.1 6
14.2 6
15 15.1 6
15.2 6
16 16.1 6
16.2 6
Jumlah 96