Membangun
Kapabilitas Pendidikan Indonesia
Oleh Jason Walker Panggabean
Mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia
STKIP Tapanuli Selatan
(Telah dimuat di koran Rakyat Tapanuli tanggal 11 Oktober 2013)
Kapabilitas
pendidikan diartikan sebagai kecakapan atau kemampuan sistem pendidikan
menciptakan produk yang betul-betul sesuai dengan makna kata ‘terdidik’
tersebut, baik itu tenaga kerja pemerintahan, dosen, guru, pelajar, dan semua
pihak yang ada dalam suatu negara karena pada hakikatnya tak ada satupun
individu yang luput dari pendidikan. Pertanyaan yang muncul adalah sudahkah
sistem pendidikan negeri ini memiliki kapabilitas?
Banyak
masalah dalam pendidikan Indonesia. Masalah-masalah ini menjadi cermin buruknya
citra pendidikan kita. Masalah yang timbul tersebut semakin hari semakin
menggerogoti tubuh pendidikan kita hingga sangat rentan jatuh ke dalam
kehancuran menjadi negara yang gagal. Oleh karena itu, kita perlu menyoroti problem yang ada dan menawarkan solusi
terbaik demi membangun kapabilitas pendidikan Indonesia.
Masalah
pertama adalah pemberantasan buta aksara. Menurut Kemendiknas 2011 sebanyak
4,8% penduduk Indonesia masih berada di bawah garis buta aksara, yaitu 8,5 juta
jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa angka buta aksara di negeri ini masih terbilang
tinggi. Masyarakat kita tidak
menyadari arti pentingnya pendidikan sehingga tidak memiliki motivasi untuk
belajar. Dengan tidak adanya motivasi ini maka anggapan yang muncul adalah
belajar itu hanya menghabiskan waktu dan menghambur-hamburkan uang saja. Di
samping itu, masyarakat kita masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan
sehingga faktor ekonomi menjadi alasan utama mengapa tidak mengecam pendidikan.
Alasan lain adalah banyak penduduk berada di daerah terpencil yang cenderung
mengalami ketertinggalan karena sulitnya akses pendidikan.
Sosialisasi
adalah langkah awal yang bisa saja efektif membangun motivasi belajar jika
didasari rasa tanggung jawab penuh dari pihak pemerintah dan masyarakat itu
sendiri terhadap terciptanya individu yang ‘melek aksara’. Kemudian pemerintah
harus membentuk kerja sama yang solid antara perguruan tinggi dan lembaga
sosial dalam membentuk pribadi yang terdidik sebagai pengemban tugas di
masyarakat. Program ini tentunya akan berhasil guna jika diintegrasikan dengan
baik baik dalam program pemerintah secara nasional, misalnya menetapkan
anggaran pendidikan dalam APBN dan dijalankan sebagaimana mestinya, bukan hanya
sekedar rencana yang tak kunjung terealisasi tetapi malah melenceng ke dalam
“brankas” pihak tertentu.
Masalah
kedua adalah pendidikan yang non-inklusif. Sekolah yang inklusif adalah sekolah
yang dapat memberikan pelayanan terbaik kepada setiap siswanya tanpa ada
indikasi pembeda-bedaan berdasarkan pintar bodoh, kaya miskin, ras atau suku,
dan sebagainya.
Tetapi
yang kita lihat dunia pendidikan kita masih jauh dari hal tersebut. Kita ambil
salah satu contoh, untuk memasuki suatu sekolah sering kita melihat atau
mendengar praktik kecurangan berupa sogok-menyogok demi mendapatkan kursi. Hal
ini menunjukkan sifat yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Orang-orang tidak memikirkan orientasi nilai dan prestasi dalam mencapai
sesuatu tetapi lebih memikirkan cara paling instan untuk memenangkan sesuatu
baik melalui manipulasi, kongkalikong, maupun cara lain yang dianggap mudah,
sehingga tidak mengherankan jika kini kita lihat sangat subur terpupuk budaya
instan di negeri ini, koruptor misalnya adalah salah satu produk pendidikan
yang ekslusif.
Pemerintah
harus mampu menciptakan sekolah yang dapat memberikan pelayanan secara adil dan
jujur tanpa diwarnai basis dikotomi yang menimbulkan efek pembeda-bedaan.
Sistem rayonisasi juga dapat diterapkan sehingga sekolah berkewajiban menampung
pelajar yang ada di kawasan daerahnya bagaimanapun keadaannya. Karena lebih
baik membina insan yang bermasyarakat dari pada memelihara insan pintar yang
egois.
Masalah
ketiga adalah kekerasan dalam dunia pendidikan. Guru dihadapkan pada tantangan
keberagaman latar belakang peserta didik baik sosial maupun budayanya. Oleh
karena itu, guru memikul tugas yang besar terhadap baik buruknya moral bangsa.
Moral bangsa yang diharapkan terbentuk adalah moral yang jauh dari kata
kekerasan. Tetapi yang jadi tontonan kita setiap waktu adalah maraknya
kekerasan di lingkungan masyarakat, terutama dalam dunia pendidikan.
Sepanjang
tahun 2012 Komnas Perlindungan Anak mencatat sebanyak 82 pelajar tewas dalam
aksi kekerasan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kekerasan dalam dunia
pendidikan kita. Dari 9 provinsi yang disurvei oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia pada tahun 2012 ditemukan 87,2 persen dari lebih 1.000 siswa SD, SMP,
dan SMA mengaku pernah mengalami tindak kekerasan.
Penyebab
tingginya angka kekerasan ini adalah karena pendidikan kita tidak dijauhkan
dari kekerasan. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat mempertontonkan
aksi kekerasan dihadapan peserta didik sehingga sifat tersebut tertanam dalam
jiwa dan kepribadiannya. Pelajar cenderung memiliki emosi yang meluap-luap
dikarenakan tidak didasari pendidikan saling menghormati (respect education) sebagai alat kontrol.
Guru
sebagai pengemban tugas terbesar tidak boleh menggunakan kekerasan baik pisik
maupun psikis dalam mendidik. Guru harus benar-benar mampu memahami fungsi dan
kedudukannya. Dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
pasal 1 (satu) dituliskan dengan jelas bahwa guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dan pada pasal 10
dituliskan guru harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional.
Undang-undang
tersebut menyampaikan bahwa guru harus mampu menjalankan profesinya secara
kompeten dan professional dalam mendidik yang salah satunya adalah kesadaran
diri bahwa pendidikan yang kondusif dan bermoral adalah pendidikan yang jauh
dari kekerasan. Selain guru, peran orang tua dalam membentuk kepribadian anak
juga tidak kalah pentingnya karena orang tua berfungsi sebagai guru di luar
sekolah. Orang tua harus mampu membina anak memiliki kecakapan moral melalui
penanaman nilai-nilai etika di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Membangun
kapabilitas pendidikan kita adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.
Kita harus memiliki kesadaran yang tinggi bahwa keberhasilan pendidikan kita
tidak akan diperjuangkan oleh orang lain tetapi kita sendirilah sebagai pemikul
utama. Dampak kegagalan pendidikan adalah kehancuran generasi kita yang akan kita
tanggung sendiri di masa yang akan datang. Oleh karena itu, harapan akan
terbentuknya sistem pendidikan yang cakap harus kita perjuangkan dengan rasa
optimis dan berbasis pada kesadaran serta rasa kebersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar