INILAH
TAKDIRKU
Karya
Jason Walker Panggabean
Dua
minggu telah berlalu Ivan menjalani masa-masa kuliahnya. Waktu berjalan begitu
cepat. Seperti biasanya, rutinitas Ivan bangun pagi jam 04.00 untuk mandi dan
sarapan. Setelah selesai Ivan menelepon Vina yang tidak lain adalah kekasihnya
dan kuliah di kampus yang sama.
“Halo Vin” sapa Ivan.
“Ia Van” Vina menjawab.
“Sekarang aku kesana ya. Kamu buruan
siap-siap” sambung Ivan.
Kemudian
Pak Wawan, ayah Ivan terbangun dan memanggil Ivan.
“Van” panggil Pak Wawan.
“Iya Pak” jawab Ivan.
“Hari ini kamu ke kampus naik angkutan
umum saja ya sama Vina” kata Pak Wawan.
Ivan terdiam dan
bingung mengapa ayahnya menyuruh ia naik angkutan umum pada hal ia sudah biasa mengendarai
motor ke kampus. Ivan masih berpikir kemudian ia bertanya pada ayahnya.
“Tapi kenapa Pak?” tanya Ivan.
“Pokoknya kamu tidak bias mengendarai
motormu” kata Pak Wawan dengan nada keras.
“Iya, alasannya apa Pak?” tanya Ivan
sekali lagi.
Pak
Wawan tidak menjawab malah terdiam. Sementara Ivan duduk di kursi depan
rumahnya dengan agak kesal kepada ayahnya. Tiba-tiba Pak Wawan menyambung
pembicaraannya.
“Bapak berfirasat buruk” kata Pak Wawan.
“Semalam Ayah bermimpi dan mimpi ini
sangat aneh. Sebaiknya kamu naik angkutan umum saja” sambung Pak Wawan.
“Tapi itu kan cuma mimpi Pak” jawab Ivan
kesal sambil melihat arloji di tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 06.05.
Ivan pun mondar-mandir.
“Pak, kami masuk pukul 08.00. Jika tidak
segera berangkat dan masih menunggu angkutan umum, bias-bisa kami terlambat”
Tiba-tiba telepon genggam Ivan berbunyi.
“Halo, Van kamu sudah di mana?”
terdengar suara Vina. Tanpa menjawab Ivan mematikan telepon genggamnya.
”Maaf Pak, Ivan tidak dapat mengabulkan
permintaan Bapak” Ivan menaiki motornya.
“Van, jika Bapak mengatakan jangan ya
jangan!” Bentak bapaknya.
Ivan pergi tanpa menghiraukan
ayahnya dan tanpa izin kedua orangtuanya. Biasanya Ivan selalu berpamitan
dengan mencium tangan kedua orangtuanya sebelum berangkat, tetapi hari ini
tidak. Jantung Pak Wawan berdetak kencang melihat anaknya pergi. Ivan
mengendarai motornya menuju rumah Vina dan masih memikirkan perkataan bapaknya.
Tidak terasa dia telah tiba di rumah Vina.
“Van, kok, lama sih?” Vina
menghampirinya.
“Ada sedikit masalah. Bapak tidak
mengizinkan aku naik motor . Bapak bermimpi buruk.” Jawab Ivan dengan lemas dan
bimbang.
“Ya sudah, kita berangkat dengan
angkutan umum saja. Daripada terjadi apa-apa lebih baik kita mendengarkan
bapakmu.” Kata Vina mencoba menenangkan suasana hati Ivan.
Ivan terdiam, tampak wajahnya
sedang bimbang.Tetapi pada akhirnya dia mengangguk merespon perkataan Vina.
Mereka pergi ke pinggir jalan dan menunggu angkutan umum di sana. Tiga puluh
menit telah berlalu tetapi belum ada satu pun angkutan yang lewat. Mereka
mondar-mandir dan sebentar-bentar melihat arloji mereka. Sampai akhirnya Ivan
mengambil motornya kembali.
“Vin, kita naik motor saja. Jika tetap
menunggu, bisa-bisa kita kan terlambat ke kampus.” Kata Ivan.
“Tetapi…..” perkataan Vina terhenti
melihat ekspresi wajah Ivan dan akhirnya dia
mengangguk. Dia tidak mau menambah permasalahan di hati Ivan.
Mereka berangkat. Di hati Ivan
timbul rasa gelisah yang sangat mengganggu pikirannya. Dia menarik nafas dan
mencoba menenangkan pikirannya. Mereka terus mengendarai motor tersebut dengan
suasana yang sepi berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Tiba di simpang pasar
mereka belok ke kanan dan menghadapi kemacetan di sana. Ivan memperlambat
motornya dan mencoba mencari sela-sela agar dapat lewat. Tetapi ramainya pasar
dan banyaknya kendaraan membuat mereka harus berhenti. Ivan meminggirkan motornya.
“Gimana, nih, Van?
“Aku juga tidak tahu Vin.”
Mereka sangat gelisah karena
jarum jam di arloji mereka sudah menunjukan pukul 07.30 WIB. Pada hal jarak
dari tempat mereka berada ke kampus masih lumayan jauh. Mereka menunggu dan
menunggu.
Tampaknya takdir tidak dapat
mereka hindari. Semua pertanda telah menegur mereka dan seakan memberitahu. Di
belakang mereka datang mobil truk besar sekitar 20 meter. Hati Ivan makin kacau
dan dia tidak tahu apa penyebabnya. Tidak disangka sopir truk tersebut sedang
tidak fokus karena mengantuk. Sopir truk tersebut tidak memperhatikan mereka.
Dia melaju dengan cepat. Sekitar 1 meter dari Ivan dan Vina dia baru
menyadarinya. Tidak terelakkan lagi, truk tersebut menabrak Ivan dan Vina.
Mereka terpelanting, sementara motornya jatuh ke pinggir jalan dan anehnya
motor tersebut hanya lecet sedikit. Suasana ramai terhenti dan dalam waktu
beberapa menit mereka telah dikerumuni
oleh warga tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau menolong Ivan dan
Vina.
Kabar tersebut terdengar ke
tetangga Ivan dan segera pergi ke rumah Ivan. Pak Wawan memperhatikan anak muda
yang menuju rumahnya. Firasat buruk itu bagaikan telah terjadi menimpa anaknya,
Ivan. Namun, Pak Wawan menepis pikiran itu dan berkata “Tidak, itu tidak
mungkin terjadi.”
“Ada apa, pak?” Kata Bu Lusi yang tak
lain adalah ibu dari Ivan. Pak Wawan tak menghiraukan istrinya dan kembali
memakai pakaian dinasnya. Pak Wawan dan Bu Lusi dalah seorang guru. Bu Lusi
bingung melihat suaminya tersebut tetapi tidak terlalu memikirkannya. Dia
mengambil rok dinasnya dan hendak memakainya.
“Bu, Pak.” Doni memangggil mereka dengan
wajah yang pucat.
“Ia, Don.” Jawab Ibu Lusi.
“Ada apa?” Sambung Pak Wawan.
Doni menarik nafas. Tampaknya dia
ingin mengatakan sesuatau tetapi berat untuk dikatakan.
“Gini Pak, tadi ada teman saya yang
menelepon. Katanya Ivan mengalami kecelakaan.” Doni menyambung pembicaraan. Bu
Lusi yang hendak memakai rok dinasnya terkejut dan spontan air matanya jatuh,
begitu juga dengan Pak Wawan.
“Don, kamu tidak bercanda, kan?” Tanya
Bu Lusi memastikan.
Doni hanya menunduk dan terdiam.
“Ayo, Pak. Kita pergi.” Tanpa
memperpanjang pembicaraan.
Ayah dan Ibu Ivan segera pergi
menuju tempat kejadian tersebut.Sementara Ivan dan Vina terbaring lemah di
jalan. Beberapa menit telah berlalu tetapi tidak ada satu pun yang berani
menyentuh atau membawa mereka ke rumah sakit.
“To…tolong…”Terdengar suara Ivan
samar-samar.
“Aku sudah tidak tahan lagi….sakit…..aku
minta ma..maaf kepada kedua orangtuaku.” Suara Ivan makin lemah dan akhirnya
terhenti.
Vina yang juga sangat lemah tidak
dapat berkata-kata lai. Dia hanya terbaring di jalan dan wajahnya yang putih dan
cantik tidak tampak lagi. Dia tidak dapat dikenali lagi. Orangtua Ivan telah
tiba dan disusul oleh keluarga Vina. Bu Lusi
tidak sanggup melihat kejadian itu dan akhirnya pingsan tidak sadarkan
diri. Pak Wawan menangis dan menghampiri Ivan.
“Ivan..Ivan! Bangun, nak.” Teriak Pak
Wawan.
“Kalian semua kurangajar. Kenapa kalian
tidak mau menolong anak saya? Kalian tidak kasihan melihat ini!” Pak Wawan
memarahi orang-orang yang ada di sana dengan suara tersendat-sendat oleh isak
tangisnya.
Tidak memperpanjang kata-kata Pak
Wawan membawa Ivan Ke rumah Sakit begitupun dengan Vina. Di dalam ambulan Pak
wawan tidak melepaskan gengamannya dari tangan Ivan. Ivan sadar dan memandang
Ayahnya. Dia tersenyum dan terus memandangi ayahnya yang bermandikan air mata
seakan mengucapkan terimakasih karena telah memperingatkannya akan takdir yang
telah memanggilnya. Melihat hal tersebut, hati pak Wawan semakin sakit dan air
matanya semakin deras.
Bu Lusi dibawa dengan mobil
lain. Terasa sangat lama bagi Pak Wawan tiba di rumah sakit.”Pak, cepat pak..!”
Teriak Pak Wawan. Waktu 30 menuju rumah sakit terasa satu hari bagi Pak Wawan
pada saat itu. Setelah tiba di rumah sakit Ivan dan Vina dilarikan ke UGD. Pak
Wawan ingin masuk tetapi dokter tidak mengizinkannya.
“Air..air…a..air…” Tidak disangka itu
adalah suara Ivan. Dengan segera pak Wawan mengambil air minum dan ingin masuk
tetapi dokter tidak mengizinkan dengan alasan jika diberi minum dia tidak akan
dapat diselamatkan. Pak wawan tidak dapat melawan mendengar perkataan tersebut.
Suster menutup pintu dan tidak
tahu apa yang meeka lakukan di sana. Bu Lusi telah sadar dan menghampiri Pak
wawan. Mereka mondar-mandir tak menentu. Terasa suasana tersebut sangat
menegangkan dan mempercepat detak jantung mereka. Mereka sangat khawatir dan
air mata tidak henti-hentinya mengalir dari mata mereka. Mereka menunggu dan
terus menunggu tetapi tidak ada satupun yang keluar dari ruangan tersebut.
Ternyata Takdir telah berkata
dan tuhan berkehendak lain, Ivan tidak terselamatkkan lagi. Mereka mengetahui
hal tersebut dari pengumuman yang terdengar yang berisi “ RUMAH SAKIT SENTOSA
TURUT BERDUKA ATAS MENINGGALNYA PASIEN YANG BERNAMA IVANO PUKUL 12.00 WIB.”
Ayah dan Ibu Ivan menjerit
mendengar hal tersebut dan menerobos masuk ke ruang tersebut.
“Maaf kami telah melakukannya dengan
semampu kami.” Kata dokter
“Kalau memang anak saya harus pergi
lebih baik kita mengabulkan permintaan terakhirnya. Kenapa dokter tidak
mengizinkannya?” teriak Pak wawan yang terkesan pelan oleh isak tangisnya.
Dokter hanya terdiam dan lemas karena tidak dapat menyelamatkan pasiennya.
Penungguan ini telah berakhir.
Berakhir dengan kesedihan dan tangis oleh sepeninggalnya Ivan. Vina menyusul
Ivan beberapa jam kemudian, pukul 15.05 WIB. Semua berduka atas meninggalnya
sepasang kekasih ini, saat takdir menjemput mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar