Sabtu, 07 September 2013

Cerpen - Inilah Takdirku

INILAH TAKDIRKU
Karya Jason Walker Panggabean

            Dua minggu telah berlalu Ivan menjalani masa-masa kuliahnya. Waktu berjalan begitu cepat. Seperti biasanya, rutinitas Ivan bangun pagi jam 04.00 untuk mandi dan sarapan. Setelah selesai Ivan menelepon Vina yang tidak lain adalah kekasihnya dan kuliah di kampus yang sama.
“Halo Vin” sapa Ivan.
“Ia Van” Vina menjawab.
“Sekarang aku kesana ya. Kamu buruan siap-siap” sambung Ivan.
            Kemudian Pak Wawan, ayah Ivan terbangun dan memanggil Ivan.
“Van” panggil Pak Wawan.
“Iya Pak” jawab Ivan.
“Hari ini kamu ke kampus naik angkutan umum saja ya sama Vina” kata Pak Wawan.
Ivan terdiam dan bingung mengapa ayahnya menyuruh ia naik angkutan umum pada hal ia sudah biasa mengendarai motor ke kampus. Ivan masih berpikir kemudian ia bertanya pada ayahnya.
“Tapi kenapa Pak?” tanya Ivan.
“Pokoknya kamu tidak bias mengendarai motormu” kata Pak Wawan dengan nada keras.
“Iya, alasannya apa Pak?” tanya Ivan sekali lagi.
            Pak Wawan tidak menjawab malah terdiam. Sementara Ivan duduk di kursi depan rumahnya dengan agak kesal kepada ayahnya. Tiba-tiba Pak Wawan menyambung pembicaraannya.
“Bapak berfirasat buruk” kata Pak Wawan.
“Semalam Ayah bermimpi dan mimpi ini sangat aneh. Sebaiknya kamu naik angkutan umum saja” sambung Pak Wawan.
“Tapi itu kan cuma mimpi Pak” jawab Ivan kesal sambil melihat arloji di tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 06.05. Ivan pun mondar-mandir.
“Pak, kami masuk pukul 08.00. Jika tidak segera berangkat dan masih menunggu angkutan umum, bias-bisa kami terlambat”
Tiba-tiba telepon genggam Ivan berbunyi.
“Halo, Van kamu sudah di mana?” terdengar suara Vina. Tanpa menjawab Ivan mematikan telepon genggamnya.
”Maaf Pak, Ivan tidak dapat mengabulkan permintaan Bapak” Ivan menaiki motornya.
“Van, jika Bapak mengatakan jangan ya jangan!” Bentak bapaknya.
             Ivan pergi tanpa menghiraukan ayahnya dan tanpa izin kedua orangtuanya. Biasanya Ivan selalu berpamitan dengan mencium tangan kedua orangtuanya sebelum berangkat, tetapi hari ini tidak. Jantung Pak Wawan berdetak kencang melihat anaknya pergi. Ivan mengendarai motornya menuju rumah Vina dan masih memikirkan perkataan bapaknya. Tidak terasa dia telah tiba di rumah Vina.
“Van, kok, lama sih?” Vina menghampirinya.
“Ada sedikit masalah. Bapak tidak mengizinkan aku naik motor . Bapak bermimpi buruk.” Jawab Ivan dengan lemas dan bimbang.
“Ya sudah, kita berangkat dengan angkutan umum saja. Daripada terjadi apa-apa lebih baik kita mendengarkan bapakmu.” Kata Vina mencoba menenangkan suasana hati Ivan.
              Ivan terdiam, tampak wajahnya sedang bimbang.Tetapi pada akhirnya dia mengangguk merespon perkataan Vina. Mereka pergi ke pinggir jalan dan menunggu angkutan umum di sana. Tiga puluh menit telah berlalu tetapi belum ada satu pun angkutan yang lewat. Mereka mondar-mandir dan sebentar-bentar melihat arloji mereka. Sampai akhirnya Ivan mengambil motornya kembali.
“Vin, kita naik motor saja. Jika tetap menunggu, bisa-bisa kita kan terlambat ke kampus.” Kata Ivan.
“Tetapi…..” perkataan Vina terhenti melihat ekspresi wajah Ivan dan akhirnya dia  mengangguk. Dia tidak mau menambah permasalahan di hati Ivan.
              Mereka berangkat. Di hati Ivan timbul rasa gelisah yang sangat mengganggu pikirannya. Dia menarik nafas dan mencoba menenangkan pikirannya. Mereka terus mengendarai motor tersebut dengan suasana yang sepi berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Tiba di simpang pasar mereka belok ke kanan dan menghadapi kemacetan di sana. Ivan memperlambat motornya dan mencoba mencari sela-sela agar dapat lewat. Tetapi ramainya pasar dan banyaknya kendaraan membuat mereka harus berhenti. Ivan meminggirkan motornya.
“Gimana, nih, Van?
“Aku juga tidak tahu Vin.”
              Mereka sangat gelisah karena jarum jam di arloji mereka sudah menunjukan pukul 07.30 WIB. Pada hal jarak dari tempat mereka berada ke kampus masih lumayan jauh. Mereka menunggu dan menunggu.
             Tampaknya takdir tidak dapat mereka hindari. Semua pertanda telah menegur mereka dan seakan memberitahu. Di belakang mereka datang mobil truk besar sekitar 20 meter. Hati Ivan makin kacau dan dia tidak tahu apa penyebabnya. Tidak disangka sopir truk tersebut sedang tidak fokus karena mengantuk. Sopir truk tersebut tidak memperhatikan mereka. Dia melaju dengan cepat. Sekitar 1 meter dari Ivan dan Vina dia baru menyadarinya. Tidak terelakkan lagi, truk tersebut menabrak Ivan dan Vina. Mereka terpelanting, sementara motornya jatuh ke pinggir jalan dan anehnya motor tersebut hanya lecet sedikit. Suasana ramai terhenti dan dalam waktu beberapa menit  mereka telah dikerumuni oleh warga tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau menolong Ivan dan Vina.
              Kabar tersebut terdengar ke tetangga Ivan dan segera pergi ke rumah Ivan. Pak Wawan memperhatikan anak muda yang menuju rumahnya. Firasat buruk itu bagaikan telah terjadi menimpa anaknya, Ivan. Namun, Pak Wawan menepis pikiran itu dan berkata “Tidak, itu tidak mungkin terjadi.”
“Ada apa, pak?” Kata Bu Lusi yang tak lain adalah ibu dari Ivan. Pak Wawan tak menghiraukan istrinya dan kembali memakai pakaian dinasnya. Pak Wawan dan Bu Lusi dalah seorang guru. Bu Lusi bingung melihat suaminya tersebut tetapi tidak terlalu memikirkannya. Dia mengambil rok dinasnya dan hendak memakainya.
“Bu, Pak.” Doni memangggil mereka dengan wajah yang pucat.
“Ia, Don.” Jawab Ibu Lusi.
“Ada apa?” Sambung Pak Wawan.
           Doni menarik nafas. Tampaknya dia ingin mengatakan sesuatau tetapi berat untuk dikatakan.
“Gini Pak, tadi ada teman saya yang menelepon. Katanya Ivan mengalami kecelakaan.” Doni menyambung pembicaraan. Bu Lusi yang hendak memakai rok dinasnya terkejut dan spontan air matanya jatuh, begitu juga dengan Pak Wawan.
“Don, kamu tidak bercanda, kan?” Tanya Bu Lusi memastikan.
Doni hanya menunduk dan terdiam.
“Ayo, Pak. Kita pergi.” Tanpa memperpanjang pembicaraan.
            Ayah dan Ibu Ivan segera pergi menuju tempat kejadian tersebut.Sementara Ivan dan Vina terbaring lemah di jalan. Beberapa menit telah berlalu tetapi tidak ada satu pun yang berani menyentuh atau membawa mereka ke rumah sakit.
“To…tolong…”Terdengar suara Ivan samar-samar.
“Aku sudah tidak tahan lagi….sakit…..aku minta ma..maaf kepada kedua orangtuaku.” Suara Ivan makin lemah dan akhirnya terhenti.
             Vina yang juga sangat lemah tidak dapat berkata-kata lai. Dia hanya terbaring di jalan dan wajahnya yang putih dan cantik tidak tampak lagi. Dia tidak dapat dikenali lagi. Orangtua Ivan telah tiba dan disusul oleh keluarga Vina. Bu Lusi  tidak sanggup melihat kejadian itu dan akhirnya pingsan tidak sadarkan diri. Pak Wawan menangis dan menghampiri Ivan.
“Ivan..Ivan! Bangun, nak.” Teriak Pak Wawan.
“Kalian semua kurangajar. Kenapa kalian tidak mau menolong anak saya? Kalian tidak kasihan melihat ini!” Pak Wawan memarahi orang-orang yang ada di sana dengan suara tersendat-sendat oleh isak tangisnya.
            Tidak memperpanjang kata-kata Pak Wawan membawa Ivan Ke rumah Sakit begitupun dengan Vina. Di dalam ambulan Pak wawan tidak melepaskan gengamannya dari tangan Ivan. Ivan sadar dan memandang Ayahnya. Dia tersenyum dan terus memandangi ayahnya yang bermandikan air mata seakan mengucapkan terimakasih karena telah memperingatkannya akan takdir yang telah memanggilnya. Melihat hal tersebut, hati pak Wawan semakin sakit dan air matanya semakin deras.
               Bu Lusi dibawa dengan mobil lain. Terasa sangat lama bagi Pak Wawan tiba di rumah sakit.”Pak, cepat pak..!” Teriak Pak Wawan. Waktu 30 menuju rumah sakit terasa satu hari bagi Pak Wawan pada saat itu. Setelah tiba di rumah sakit Ivan dan Vina dilarikan ke UGD. Pak Wawan ingin masuk tetapi dokter tidak mengizinkannya.
“Air..air…a..air…” Tidak disangka itu adalah suara Ivan. Dengan segera pak Wawan mengambil air minum dan ingin masuk tetapi dokter tidak mengizinkan dengan alasan jika diberi minum dia tidak akan dapat diselamatkan. Pak wawan tidak dapat melawan mendengar perkataan tersebut.
                Suster menutup pintu dan tidak tahu apa yang meeka lakukan di sana. Bu Lusi telah sadar dan menghampiri Pak wawan. Mereka mondar-mandir tak menentu. Terasa suasana tersebut sangat menegangkan dan mempercepat detak jantung mereka. Mereka sangat khawatir dan air mata tidak henti-hentinya mengalir dari mata mereka. Mereka menunggu dan terus menunggu tetapi tidak ada satupun yang keluar dari ruangan tersebut.
               Ternyata Takdir telah berkata dan tuhan berkehendak lain, Ivan tidak terselamatkkan lagi. Mereka mengetahui hal tersebut dari pengumuman yang terdengar yang berisi “ RUMAH SAKIT SENTOSA TURUT BERDUKA ATAS MENINGGALNYA PASIEN YANG BERNAMA IVANO PUKUL 12.00 WIB.”
               Ayah dan Ibu Ivan menjerit mendengar hal tersebut dan menerobos masuk ke ruang tersebut.
“Maaf kami telah melakukannya dengan semampu kami.” Kata dokter
“Kalau memang anak saya harus pergi lebih baik kita mengabulkan permintaan terakhirnya. Kenapa dokter tidak mengizinkannya?” teriak Pak wawan yang terkesan pelan oleh isak tangisnya. Dokter hanya terdiam dan lemas karena tidak dapat menyelamatkan pasiennya.
             Penungguan ini telah berakhir. Berakhir dengan kesedihan dan tangis oleh sepeninggalnya Ivan. Vina menyusul Ivan beberapa jam kemudian, pukul 15.05 WIB. Semua berduka atas meninggalnya sepasang kekasih ini, saat takdir menjemput mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar