SINOPSIS
NOVEL
“ S A L A
H A S U H A N”
Judul :
Salah Asuhan
Pengarang : Abdoel Moeis (3 Juli 1883 - 17 Juni 1959)
Cetakan :
Ke-39
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 2009
Jumlah Halaman : vii +
273 halaman
Cetakan Pertama : 1928
Tokoh
utama novel ini adalah Hanafi. Hanafi adalah seorang anak pribumi yang berasal
dari Solok. Ibu hanafi adalah seorang janda, yang suaminya sudah meninggal
semenjak Hanafi masih kecil. Ibu hanafi sangat menyayanginya. Meskipun sudah
menjanda, ibunya berkeinginan untuk memandaikan anaknya tau menyekolahkan
Hanafi sedaya mampunya dengan harapan bisa menjadi orang yang sukses nantinya.
Ibunya mengirim Hanafi ke Betawi untuk bersekolah di HBS. Ibunya selalu
berusaha keras untuk selalu memenuhi segala biaya Hanafi.
Selama
bersekolah di Betawi, Hanafi dititipkan kepada keluarga Belanda. Sehingga
pergaulan Hanafi tidak lepas dari orang-orang Belanda. Setelah lulus sekolah
dari HBS, pergaulannya juga tidak lepas dari orang-orang Eropa, karena ia
bekerja di Kantor Belanda sebagai asisten residen di Solok. Meskipun Hanafi
seorang pribumi asli, tingkah lakunya serta gaya hidupnya sudah berubah menjadi
kebarat-baratan. Bahkan terkadang tingkah lakunya melebihi orang Belanda asli.
Dan Hanafi menjadi kurang suka bergaul dengan anak-anak pribumi asli seperti
dirinya.
Selama
ia bergaul dengan orang-orang Eropa dan setiap hari bersekolah di HBS, Hanafi
dekat dengan gadis Eropa yang bernama Corrie. Corrie adalah seorang gadis
Indo-Prancis yang sangat cantik paras dan tubuhnya, sehinga banyak sekali
bujang-bujang atau lelaki yang
menginginkan Corrie menjadi istrinya. Tetapi Corrie selalu menolak semua
lirikan-lirikan itu dengan halus dan senyuman yang semakin membuat
lelaki-lelaki itu tak mampu berdaya apa-apa. Corrie tinggal bersama ayahnya
setelah ibunya meninggal dunia. Ayah Corrie berkebangsaan Prancis dan bernama
Tuan du Busse. Keluarga Corrie mengasingkan diri dari Prancis karena tidak
disukai orang-orang di sana sebab menikah dengan gadis Indo, ibunya Corrie. Di
dalam kehidupannya sehari-hari Tuan du Busse juga tertutup untuk bermasyarakat
karena masa lalunya yang menyakitkan bersama istrinya tercinta oleh masyarakat
di sekeliling mereka.
Dalam
kesehariannya Hanafi dan Corrie memanglah sangat dekat, hubungan keduanya seperti
kakak dengan adiknya. Mereka sering jalan-jalan berdua, main tenis bahkan
duduk-duduk sambil menikmati segelas teh pun juga berdua di bawah sebuah pohon
rindang di samping lapangan tenis..
Karena
hubungan mereka sangat amat dekat, maka Hanafi pun menganggap pertemanan itu lebih
dari makna teman atau sahabat karib. Hanafi sayang kepada Corrie, namun
perasaan itu bukan sekedar hanya rasa sayang seorang kakak kepada adiknya,
melainkan rasa sayang sebagai kekasih.
Setiap
hari Hanafi selalu bertemu dengan Corrie meskipun hanya sebentar saja. Sikap
Corrie kepada Hanafi juga masih nampak seperti biasanya. Hingga akhirnya Hanafi
memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Corrie. Namun ketika
Hanafi mengungkapkan isi hatinya kepada Corrie dengan penuh rasa deg-degan dan
serasa tulang-tulangnya lepas sebab tak mampu membendung perasaan senang,
cemas, serta harap-harap yang menyelimuti hati dan tubuhnya, Corrie tidak
langsung memberi jawaban kepada Hanafi, melainkan segera berpamitan pulang
dengan alasan yang tidak jelas.
Keesokan
harinya, Corrie pergi meninggalkan Solok menuju Betawi. Maka dikirimkan surat
kepada Hanafi, yang isinya penolakan secara halus mengenai pernyataan Hanafi
pada tempo hari. Corrie merasa sangat tidak mungkin menerima Hanafi, karena
perbedaan budaya antara bangsa melayu dengan bangsa Eropa. Selain itu Corrie
juga ditentang oleh ayahnya jika menikah dengan orang Melayu. Ayahnya trauma
dengan pengalaman yang menimpa hidupnya dan ibunya Corrie sebab menikah dengan
orang pribumi. Ia tak ingin putri yang sangat ia sayangi mengalami nasib yang
sama seperti dirinya.
Karena
penolakan tersebut, Hanafi jatuh sakit selama beberapa hari. Selama dia sakit,
Hanafi hanya dirawat oleh ibunya, dan selama itu pula Hanafi sering mendapat
nasihat dari ibunya. Ibunya menasihati dan membujuk Hanafi agar menikah dengan
Rapiah, yaitu anak mamaknya. Karena pada saat Hanafi bersekolah di HBS,
mamaknyalah yang mencukupi kebutuhan Hanafi. Mendengar bujukan Ibunya, Hanafi
sangat amat marah, karena Hanafi sungguh tidak mengetahui siapakah Rapiah itu
dan Hanafi hanya suka kepada Corrie, gadis berparas cantik nan indah yang telah
menolak cintanya.
Maka Ibu
Hanafi menjelaskan bahwa Rapiah adalah anak mamak Hanafi yang bernama Sultan
Batuah. Perjodohan itu dikarenakan Ibu Hanafi berhutang budi kepada Sultan
Batuah. Setelah mendapat bujukan dari Ibunya, akhirnya Hanafi menerima
perjodohan itu, meskipun dengan sangat terpaksa. Dua tahun sudah usia
pernikahan Hanafi dan Rapiah, dan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang
bernama Syafei. Pernikahan yang berdasar perjodohan dan hutang budi yang tidak
didasari dengan rasa cinta dan sayang antara dua insan yang menjadi satu
bahtera rumah tangga itu membuat kehidupan rumah tangga mereka tidak pernah
tentram. Setiap hari Hanafi selalu berbuat tidak menyenangkan kepada Rapiah
istrinya. Ia selalu memaki-maki Rapiah karena hal yang sepele dan tak
sepatutnya dijadikan bahan pertentangan yang dibumbui kata-kata kasar dan tak
pantas yang biasa dilontarkan oleh Hanafi. Namun Rapiah hanya diam dan tidak
pernah melawan semua perlakuan suaminya.
Hal
itulah yang membuat Ibu Hanafi kagum kepada Rapiah, hingga suatu hari Ibu
Hanafi murka kepada anaknya. Dengan tidak sengaja Ibunya menyumpahi Hanafi.
Tiba-tiba anjing gila mengigit pergelangan Hanafi hingga Hanafi harus berobat
ke Betawi. Tetapi sumpah yang mengakibatkan Hanafi terluka itu malah membuat
kejadian yang lebih menyakitkan untuk Rapiah.
Sampai
di Betawi dalam rangka pengobatan lukanya Hanafi bertabrakan dengan seorang
gadis Eropa. Gadis yang sangat cantik bertubuh indah yang membuat hati dan
sikap Hanafi menjadi terperanjat dalam lamunan akan keindahan makhluk yang ada
di depannya. Dan ternyata gadi yang bertabrakan dengannya itu tidak lain adalah
Corrie. Seorang gadis yang telah meninggalkannya dengan sayat luka dan telah
bertahun-tahun lamanya tidak berjumpa. Dengan amat senang mereka berdua
menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan mengelilingi indahnya Betawi hanya berdua
menggunakan sepeda angin.
Sudah
satu minggu Hanafi meninggalkan Solok, setelah itu Hanafi mencari kerja di
Kantor Belanda sebagai commies. Meskipun
gaji awal cukup kecil, namun Hanafi sangat senang. Karena dia dapat bertemu
dengan Corrie, setiap hari. Hanafi berusaha keras untuk mendapatkan Corrie,
hingga Hanafi rela berubah kewarganegaraan menjadi Eropa. Setelah itu, Hanafi
memohon kepada Corrie untuk menerima ajakan pertunangannya. Karena rasa ibanya
kepada Hanafi, Corrie terpaksa menerimanya. Meskipun Corrie harus menerima
resiko, yaitu dijauhi oleh teman-teman Eropanya seperti ayah dan ibunya dahulu.
Pesta
pertunangan mereka dilakukan di kediaman rumah teman Belandanya, namun tuan
rumah nampak tidak begitu suka dengan pertunangan itu. Karena dia tidak suka
bergaul dengan orang Belanda berkulit sawo matang. Meskipun Rapiah dan Ibunya
tahu jika Hanafi akan menikah dengan Corrie, namun Rapiah tetap menunggu
kedatangan Hanafi lelaki yang merupakan suaminya dan suami Corrie. Karena Ibu
Hanafi sangat sayang kepada Rapiah, bahkan sayangnya melebihi rasa sayangnya
kepada Hanafi.
Hanafi
dan Corrie sudah menjadi suami istri, maka tinggalah mereka dalam satu atap
rumah. Namun seiring berjalannya waktu, rumah tangga Hanafi dan Corrie sudah
tidak tentram lagi. Karena sifat Hanafi yang keterlaluan, sampai menuduh Corrie
berzina dengan orang lain. Karena kehidupannya yang dalam kondisi tidak jelas,
Bangsa Eropa maupun Bangsa Melayu sudah tidak mau mengakui Hanafi, karena
keangkuhan dan kesombongannya.
Pada
akhirnya Corrie pergi ke Semarang untuk menghindari Hanafi. Namun pada suatu
hari, Hanafi menerima surat yang memberi tahukan bahwa Corrie berada di
Semarang. Setelah beberapa hari, Hanafi nekat pergi ke Semarang untuk mencari
Corrie dirumah seorang pengusaha anak-anak yatim. Namun sampai disana justru
berita buruk yang diterima oleh Hanafi. Bahwa Corrie masuk rumah sakit karena
sakit keras, yaitu kolera. Hingga akhirnya nyawa Corrie tidak dapat ditolong
lagi. Setelah kepergian Corrie, Hanafi pulang ke Solok untuk menemui Ibunya.
Setelah beberapa hari Hanafi sampai di Solok, ia jatuh sakit karena menelan 6
butir sublimat, yang menyebabkan Hanafi terus muntah darah dan akhrinya
merenggut nyawanya. Sehingga tamat sudahlah riwayat percintaan Hanafi yang
penuh liku-liku masalah.
Oleh
: Jason Walker Panggabean
Untuk lebih mengetahui kisah dalam
novel Salah Asuhan, berikut saya sertakan kutipan menariknya.
Kutipan Bagian Menarik Dalam Novel
Salah Asuhan
1. Kutipan
bagian menarik dari cerita bagian I yaitu Dua Orang Sahabat
"Itu
benar, Han ! Tapi pada segala pekerjaan ada batasnya. Maka adalah pekerjaan
atau perbuatan yang luar biasa, yang tiada galib dilakukan orang, sedang
pekerjaan yang disangka tidak mengganggu kesenangan orang lain itu pun boleh
jadi akan melanggar peri kesopanan."
"Kesopanan?
Apakah perbuatan kita, duduk berhadapan antara satu meter jaraknya, dibatasi
oleh meja teh, di tempat terang dan pada waktu yang lazim dipergunakan orang
buat berkunjung-kunjungan, boleh dikatakan melanggar peri kesopanan ?"
"Tidak,
hanya … engkau bujang, aku gadis, sesama manusia kita telah menetapkan pelbagai
undang-undang yang tidak tersurat, tapi yang harus diturut oleh sekalian
manusia dengan tertib, kalau ia hendak hidup aman di dalam pergaulan orang,
yang memakai undang-undang itu."
"Ah,
undang-undang itu, di manakah batasnya? Bangsamu, bangsa Eropa, amat
melonggarkan pergaulan laki-laki dengan perempuan, Nyonya yang bersuami sudah
galib dibawa-bawa dan dikepit oleh seorang tuan lain, dengan tidak ada
undang-undang tersurat atau tidak tersurat yang melarangnya. Itu tentang
pergaulan. Ambillah pula contoh yang lain. Di tanah Arab perempuan menutup
badan sampai ke muka-muka, tapi di tanah Amerika banyak benar kota-kota ramai
di pantai laut, tempat nyonya dan tuan-tuan berkeliaran saja memakai baju
renang, sampai ke rumah-rumah minum. Tetapi lihatlah pula setengah bangsa Barat
jika nyonya rumah berani turun tanah memakai baju piyama, yang nyata lebih
menutup kulit dari pakaian dansa maka nyonya yang berpakaian piyama turun ke
tanah itu akan disebutkan 'melanggar adat sopan santun'. Jadi bagiku,
sungguhlah gelap batas undang-undang kesopanan itu sebab ia tidak
tersurat."
"Hanafi !
Engkau juga yang mulai memperbincangkan tentang adat lembaga serta tertib
kesopanan masing-masing bangsa; engkau pun juga yang tak suka mengindahkan atau
mengakui adanya perbedaan adat lembaga antara bangsa dengan bangsa. Setiap kita
bertukar pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa berkecil hati
seolah-olah malulah engkau, bahwa engkau masuk golongan Bumiputera, yang kau
sangka bahwa aku menghinakannya. Bahwa sesungguhnya kulitku berwarna pula,
ibuku perempuan Bumiputera sejati, meskipun diriku masuk pada golongan bangsa
Eropa. Dan sementara … fasal hina-menghina Bumiputera lebih banyak terdengar
dari mulutmu sendiri daripada dari mulutku. Kita akan memperkatakan …"
"Aku tahu
betul, bahwa aku hanyalah Bumiputera saja, Corrie ! Janganlah kau ulang-ulang
juga."
"Hanafi,
Hanafi ! Hari ini fiilmu sangat pula susahnya. Kalau sifat dan hatimu
kurang-kurang kukenal, niscaya akan boleh timbul salah persangkaan atas dirimu.
Jadi fiil tabiatmu sudah jelas benar bagiku. Tenangkanlah dahulu darahmu;
dengarkan baik-baik. Kita akan memperkatakan hal adat lembaga masing-masing
yang digalihkan atau hendak diubah oleh bangsa-bangsa lain di luar kita, karena
di negeri mereka masing-masing perkara itu memang sedang menjadi buah
perselisihan. Apakah gunanya kita turut-turut memusingkan kepala ? Aku tahu
buat diriku sendiri, meskipun esok atau lusa di kota Solok ini sudah lazim
berjalan berkeliaran memakai baju renang, aku sendiri tidak akan menyertai arus
'mode' yang serupa itu. Tidak, Hanafi –yang menjadi pertikaian tutur bagi kita
ialah hal adat lembaga sesuatu bangsa di dalam pergaulannya'. Dalam pergaulan
bangsaku, bangsa Eropa, sungguh longgarlah pergaulan antara laki-laki dengan
perempuan, sebagai kaukatakan tadi. Tapi sebab sudah 'galib', tidaklah akan
cepat orang berbuat fitnah atau menyangka buruk, apabila kelihatan laki-laki
bergaul dengan perempuan lain, yang bukan ahli karibnya. Tetapi dalam pergaulan
bangsamu, apabila di tanah Sumatra ini, lain keadaannya. Jangankan dengan
perempuan lain, dengan ahlinya yang paling karib, sekalipun dengan adik atau
kakaknya sendiri, sudah disebut janggal, apabila ia bergaul atau duduk bersenda
gurau, bahkan berjalan berdua-dua.
2. Kutipan
bagian menarik dari cerita bagian II yaitu Ayah dan Anak
"Kawin
campuran itu sesunguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh
manusia juga Corrie ! Karena masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu
penyakit kesombongan bangsa. Sekalian orang, masing-masing dengan perasaannya
sendiri, menyalahi akan bangsanya, yang menghubungkan hidup kepada bangsa yang
lain, meskipun kedua orang menjadi suami-istri itu sangat berkasih-kasihan.
Tapi-asal kedua
yang dikatakan "berkesalahan" itu sama-sama meneguhkan hatinya,
tiadalah akan mengenai pada dirinya segala nista dan cerca orang lain itu.
Lihat sajalah keadaanku dengan namamu. Bangsa dan kaum kerabatnya sekali-kali
tidak suka ia hidup bersama dengan aku, pun bangsaku menyalahi benar akan
perbuatanku itu. Tapi aku, demikian pula namamu, tiadalah kawin dengan orang
banyak itu tidak pula kami bergantung kehidupan pada mereka sekalian. Jadi
segala bantuan mereka tidaklah mengurangi kesenangan kami. Hanya jarang-jarang
yang bertemu demikian, Corrie!"
"Hal Papa
dengan Mama, sungguh lain. Papa laki-laki orang Barat, Mama perempuan orang
sini. Sesungguhnya Corrie tidaklah dapat memberi keterangan tentang hal itu,
tapi Corrie berasa saja, bahwa lain benar keadaan hal pencampuran laki-laki
Barat dan perempuan Timur dengan sebaliknya."
"Perbedaan
itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali. Sebabnya tiada lain, karena
penyakit "kesombongan bangsa" itu juga. Orang Barat datang ke mari,
dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang sini.
Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia,
tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil "nyai" dari sini.
Jika "nyai" itu nanti beranak, pada pemandangan orang Barat itu
sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini. Tapi
lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seseorang
nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan orang sini. Terlebih dahulu
nyonya itu dipandang seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa
Barat; dan dikatakan sudah "membuang diri kepada orang sini. Di dalam
undang-undang negeri ia pun segera dikeluarkan dari hak orang Eropa. Itu saja
sudah tidak dengan sepatutnya, istimewa pula bila diketahui, bahwa seorang
bangsa Bumiputra yang minta dipersamakan haknya dengan Eropa selama-lamanya
tidak boleh menghilangkan lagi hak itu dan kembali menjadi Bumiputra pula,
karena tidaklah ada sesuatu fasal di dalam undang-undang yang boleh menggugurkan
haknya sebagai orang Eropa. Tapi seseorang perempuan bangsa Eropa yang kawin
dengan orang Bumiputra, selama ditangan suaminya itu akan kehilangan haknya
sebagai orang Eropa. Terlebih hina kedudukannya di dalam pergaulan bangsa Eropa
sendiri, jika nyonya itu sampai beranak, dipandang bahwa ia turut mengurangi
derajat bangsa Eropa. Terasalah olehmu, Corrie, perbedaan antara kedua
perkawinan itu ?"
3. Kutipan
bagian menarik dari cerita bagian III yaitu Ibu dan Anak
"Ingatlah,
Anakku! Harapkan burung terbang tinggi, punai tangan engkau lepaskan. Tidak
akan aman hidupmu, bila makanan enggang dan bunga larangan yang engkau
kehendaki. Sesayang-sayangnya pada engkau, kaum keluargamu tentu tidak akan
dibawanya duduk bersama-sama. Yang hendak ibu berikan buat gantinya, ialah anak
ibu sendiri yang akan insyaf betul bahwa ia kelak akan menumpangkan diri
padamu. Sedang yang engkau kehendaki ialah orang yang akan menaruh keyakinan,
bahwa ia sudah membuang diri buat menurutkan kamu. Orang itu berasa
berpemberian yang sebesar-besarnya kepadamu, yang harus kau junjung tinggi.
Lebih dahulu engkau dipandangnya ada berutang budi kepadanya, yang tidak
ternilai besarnya. Tapi yang ibu sediakan bagimu, ialah yang akan berasa
sendiri ada berutang budi kepadamu. Tidaklah ia berasa, bahwa dirinya sudah
diperganduh-ganduhkan buat membayar utangmu pada ayahnya, karena secara adat
Minangkabau yang diketahuinya ialah engkau yang harus menerima pusaka ayahnya,
dan bukanlah dia, yang akan diketahuinya pula ialah bahwa engkau sudah menunjukkan
murah hatimu, suka menerima dia yang bodoh serta hina menjadi istrinya. Pada
hemat ibu, hanya perkawinan yang secara itulah yang akan menyenangkan hidupmu,
teristimewa karena ketinggian hatimu. Pantang kelintasan, pantang ketindihan
oleh kata. Asal engkau pandai membalas budi dengan budi, selamatlah engkau
seumur hidupmu. Setiap hari engkau berkata bahwa ibumu orang kampung, orang
bodoh, tapi timbang-timbanglah segala kata-kata ibu dengan hati yang jernih,
pikiran yang tenang, uji-ujilah salah-benarnya."
4. Kutipan
bagian menarik dari cerita bagian VIII yaitu Istri Pemberian Ibu
Dua tahun sudah
berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan ibunya tentang beristri itu.
Sebelum ia membenarkan kata ibunya, ia pun sudah dinikahkan dengan Rapiah.
Di dalam peralatan
itu hampir-hampir pernikahan dibatalkan, karena timbul perselisihan antara
pihak kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Pangkalnya dari
Hanafi juga. Ia berkata "kaum muda", yaitu pakaian secara zaman
dahulu, disebutkan "anak komidi Stambul". Jika ia dipaksa memakai
secara itu, sukalah ia urung saja, demikian katanya dengan pendek. Setelah
timbul pertengkaran di dalam keluarga pihaknya sendiri akhirnya diterimalah,
bahwa ia memakai 'smoking' yaitu jas hitam, celana hitam dengan berompi dan
berdasi putih. Tapi waktu hendak menutup kepalanya sudah beselisih pula. Dengan
kekerasan ia menolak pakaian destar saluk, yaitu pakaian orang
Minangkabau. Bertangisan sekalian perempuan, meminta supaya ia jangan menolak
tanda Keminangkabauan yang satu itu, yaitu selama beralat saja. Jika peralatan
sudah selesai, bolehlah ia memakai sekehendak hatinya pula.
Hanafi tetap
menolak kehendak orang, ia tidak hendak menutup kepala, karena lebih gila pula
dari komidi, bila memakai destar, saluk dengan baju smoking dan dasi.
Setelah ibunya
sendiri hilang sabarnya dan memukul-mukul dada di muka anak yang 'terpelajar
itu, barulah Hanafi menurutkan kehendak orang banyak, sambil mengeluh dan
teringat akan badannya yang sudah … 'tergadai'.
Untunglah ia
menurutkan hal menutup kepala itu, karena sekalian pengantar dan pasumandan
(pengiring bangsa perempuan), sudah berkata bahwa mereka tak sudi mengiringkan
'mempelai didong'.
Dalam dua tahun
hidup beristri itu, Rapiah dipandangnya sebagai seorang istri yang diberikan
kepadanya. Segala kewajiban sebagai suami adalah diturutnya, demikian ia
berkata, tapi akan batinnya Rapiah tidak berhak. Leif de, synpatie
dan lain-lain lagi perkataan yang menyeramkan bulu tengkuk ibunya, tentu Rapiah
tidak boleh mengharap daripadanya. Demikian pula tentang kemerdekaannya.
5. Kutipan
bagian menarik dari judul bagian IX yaitu Durhaka kepada Ibu
Kemarahan
Hanafi kepada anaknya, yang katanya sudah dimasuki setan dan kepada si Buyung
yang masih belum datang, serta malunya kepada kawan-kawannya melihat istrinya
datang, yang tidak ubah rupanya dengan hoki, kesemuanya sudah tertumpah ke atas
kepala Rapiah.
Sambil
merentakkan anak itu ke tangan ibunya, dikatainyalah istrinya di muka
kawan-kawannya dengan segala nista dan penghinaan, hingga ketiga tamu itu
menjadi resah dan tidak berketentuan rasa lagi.
Rapiah tunduk,
tidak menyahut, hanya air matanya saja yang berhamburan. Syafei, dalam dukungan
ibunya yang tadinya menangis keras, lalu mengganti tangisnya dengan beriba-iba.
Seakan-akan tahulah anak kecil itu, bahwa ibunya yang tidak berdaya, sedang
menempuh azab dunia dan menanggung aib di muka-muka orang.
Sedang Rapiah
berjalan gontai menuju ke dapur sambil menundukkan kepala, seolah-olah sedang
bertangis-tangisan dengan anaknya, si suami celaka masih mengiringkannya dengan
kata-kata yang sudah tak layak didengar lagi.
Pada waktu itu
Ibu Hanafi sedang di tengah rumah pula, jadi mendengar dan melihatlah ia apa
yang sedang terjadi. Sesampainya ke dapur pula, lalu dipeluk dan
ditangisinyalah menantu dan cucunya yang malang itu. Maka ketika itu di dalam
dapur tiadalah lain yang terdengar, hanyalah keluh kesah dan tangis ketiga
mereka itu saja.
6. Kutipan bagian menarik dari cerita
bagian XII yaitu istri pemberian ibunya
"Jangan
kau sebut jual hal ke Betawi itu, Piah. Memang sebaik-baiknya kami
bercerai-berai, sia-sia jualah bila berkumpul-kumpul. Bagaimana akan dapat
minyak dibaurkan dengan air ? Memang ia anak yang kukandung, kulahirkan sendri!
Darah dagingku sendiri, Piah ! Tapi apa boleh buat ! Entah karena salah asuhan
entah karena salah campuran, tapi anak itu sangat mengasingkan hidupnya.
Berlain pemandangannya dengan kita, berlain pendapatnya, berlain perasaannya.
Ya – Piah ! Tak dapatlah ibu menyangkakan kepecahan telur sebutir hal
kehilangan anak itu, karena ia hanya seorang itu saja dan tidak pula berayah.
Yang kandung benar saudara ibu, hanyalah ayahmu, seibu sebapa dengan ibu, Piah,
itulah sebabnya maka ibu berkeras menahan engkau. Ibu seperuntungan dengan
ayahmu sama-sama tunggal, karena turunan kita memang jarang.
7. Kutipan bagian menarik dari cerita
bagian XIX yaitu Mertua dan Menantu
"Kepada
ibu pastilah engkau tidak akan durhaka, karena didalam sesuatu hal ibu akan
membenarkan saja segala sesuatu yang hendak engkau lakukan, teristimewa pula
didalam hal ini. Hanya ayahmu tentu tidak akan ijin, jadi nyatalah engkau akan
melakukan sesuatu buatan yang tidak direlakan ayahmu. Durhaka kepada ayah dan
ibu itu berat benar tanggungannya, Piah, Berat buat di dunia, berat pula buat
di akhirat."
8. Kutipan bagian menarik dari cerita
bagian XXI yaitu Tali Percintaan
Tahulah Hanafi
sekarang; Rapiah, intan yang belum digosok. Sayang, ia tak pandai menggosoknya
hingga barang yang berharga itu dibuang-buang, disangkanya tidak berharga.
Corrie berlian
yang sudah digosok, harganya tidak ternilai-nilai, tapi si suami yang celaka
tak pandai memakainya dan enyahlah harta itu dari kandungannya. Hanafi
menyesali dirinya tidak berhingga-hingga.
9. Kutipan yang menarik dari cerita
bagian XXIV yaitu di Jalan Hendak Pulang
"Tuan Han,
bagi Tuan amat melarat, jika berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan
saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia. Kita
berhadapan sebagai orang yang sama-sama terpelajar, sopan, muda dan sudah tentu
sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta. Dengarlah ! sepanjang
pendapat saja, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh
sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa bahaya serta
rintangannya. Cinta itu tahu memberi korban, jika perlu.
10. Kutipan yang menarik dari cerita
bagian XXV yaitu Membayar Utang
Dengan bimbang hati mendekatlah
ibunya ke kepalanya, lalu Hanafi berkata dengan suara lemah lembut, ”Ibu...
ampuni...akan...dosa...ku...Syafei pelihara... baik-baik. Jangan... diturutnya...
jejakku...”
Hanafi memandang dengan sedih kepada
ibunya, berkata, ”Lailaha illallah. Muhammad dar Rasulullah!”
Dalam berjabat tangan dengan ibunya,
melayanglah jiwa Hanafi.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar