Kamis, 26 September 2013

Sinopsis Biola Namabugang



SINOPSIS
B I O L A   N A M A B U G A N G

            Sepasang insan yang saling mencintai, dialah Tofsir sang pria bujangan yang pawai menggesek biola kesayangannya yang ingin merajut tali pernikahan dengan sang bidadari hatinya, Baiti. Tetapi malang nasib cinta mereka, keluarga Baiti tidak merestui maksud keduanya. Alhasil, tiada lagi pilihan lain akhirnya mereka sepakat meninggalkan rumah untuk kawin lari. Di pelarian mereka tidak tahu hendak kemana, yang akhirnya mereka menuju sebuah hutan belantara yang tak pernah dihuni masyarakat. Mereka mendirikan sebuah podok yang tak layak dihuni oleh manusia, pondok itu berada di bawah rimbunan pohon dan di tepi sebuah sungai yang menjadi lingkungan hidup mereka sehari-hari. Di sanalah mereka tinggal tanpa pernah bersosialisasi dengan masyarakat di luar hutan itu.
            Buah dari cinta mereka adalah dua orang anak lelaki yang bernama Maliki si sulung dan Safi’i si bungsu. Ajal tak dapat terhalang, malang tak dapat dihindari yang pada akhirnya Tofsir sang suami dan ayah anak-anak Baiti meninggal dunia. Mau tidak mau Baiti harus membesarkan kedua anak mereka sendirian di tengah hutan belantara itu. Mereka dihidupi oleh kebersahajaan hutan itu. Buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian, daun-daunan, dan air lah yang menjadi penopang hidup mereka setiap hari.
            Sehari-hari Baiti sang ibu dari kedua anak itu sering sekali merenung mengingat kenangan manis dan pahit yang telah ia lalui bersama suaminya tercinta. Dia sering bercerita kepada kedua anaknya bagaimana mereka sewaktu muda merajut kasih. Berandai-andai pabila sang pujangga hatinya masih ada di tengah-tengah kehidupan mereka, tentunya takkan seperti sekarang ini susah payah kehidupan yang mereka lalui. Tetesan air mata dan raut wajah sedih selalu menghampirinya tatkala ia mengingat lelaki yang ia cintai itu. Safi’i sang anak bungsu sering sekali menanyakan kepada ibunya bagaimana ayah mereka yang tak pernah ia tahu seperti apa sosoknya. Pertanyaan itu tak pernah sempat dijawab oleh sang ibu karena Maliki sang anak sulung selalu menimpali pertanyaan adiknya dengan jawaban yang terkesan sebuah guyonan.

            Suatu hari sang ibu pamit kepada kedua anaknya untuk pergi ke suatu tempat. Setelah sang ibu pergi beberapa saat kemudian hujan turunlah dengan derasnya diiringi derum gemuruh suara petir. Baiti sang ibu berjalan dengan menjinjing sepotong kayu di tengah hujan lebat itu. Hujan itu menyebabkan tanah menjadi licin dan berair. Setibanya di sebuah sungai yang telah meluap dan besar, sang ibu bermaksud untuk menyeberangi jembatan yang hanya sepotong kayu panjang yang berada di atas sungai itu menuju daratan seberang. Malang baginya, sang ibu tergelincir dari jembatan dan jatuh ke dalam arus deras sungai itu, sang ibu malang itu  mecoba meraih rerumputan yang ada di pinggiran sungai untuk menopang dirinya agar tak terbawa semakin dalam dan jauh. Tetapi kehendak Tuhan berkata lain, sang ibu tak mampu meraih rerumputan itu dan akhirnya ia terbawa arus sungai yang menyebabkan ia meninggal dan tak pernah terlihat lagi untuk selamanya bagi kedua anak yang ia tinggalkan di pondok tua itu. Seharian dan semalaman penuh Maliki dan Safi’i terus mencari keberadaan ibu mereka yang tadi siang pergi dan tak kunjung kembali. Tetapi mereka tak juga menemukan keberadaan sang ibi hingga mereka kecapaian dan tertidur.
            Sejak kepergian ibu mereka, Maliki dan Safi’i hanya hidup berdua ditemani biola peninggalan ayah mereka dan sebuah tungku beserta periuk yang merupakan harta pusaka mereka. Sama seperti sebelum ayah dan ibu mereka meninggal, mereka juga hidup di tengah hutan tanpa pernah bersosialisasi dengan masyarakat lain sehingga mereka hanya mengenal satu sama lain dan hanya paham satu bahasa yaitu bahasa Mandailing yang merupakan bahasa ibu mereka. Seiring berjalannya waktu, kedua anak lelaki itu telah tumbuh menjadi dua orang pemuda yang gagah. Pengalaman hidup mengajarkan mereka tentang seluk beluk hutan yang mereka tinggali.
            Suatu hari hutan tempat tinggal Maliki dan Safi’i didatangi dua orang asing yang berasal dari Universitas Taipeh, Kareen seorang gadis berparas cantik yang ingin melakukan eksplorasi hutan itu guna menyelesaikan penelitiannya untuk gelar S3 yang sedang dia guluti dan Dr. X sang pembimbing Kareen. Setibanya di hutan itu, Dr.X pulang dan meninggalkan Kareen di sana. Di hutan itu Kareen membuat sebuah tenda camp tempat berlidungnya. Hari itu Kareen menelusuri hutan dengan sebuah kamera digital yang menemaninya. Sampai akhirnya Kareen sampai di pinggiran sungai tempat di mana Maliki dan adiknya Safi’i sedang mandi. Melihak kedatangan sesosok gadis yang mendekat kepada mereka, maka Maliki dan Safi’i pun mendekati Kareen yang berdiri di pinggiran sungai. Kemudian Kareen menyapa mereka dengan bahasa campuran Indo-Inggris yang sama sekali tidak dimengerti Maliki dan Safi’i dan kedua pemuda itu menimpali sapaan gadis itu dengan bahasa Mandailing yang makna pembicaraan mereka tidak bertemu arah. Tetapi mereka mencoba untuk saling mengerti dan berinteraksi. Saat itu juga kedua pemuda itu berkenalan dengan Kareen dengam menyebutkan nama masing-masing.
            Semenjak kehadiran Kareen di hutan tempat tinggal mereka, kehidupan yang Maliki jalani dan adiknya Safi’i sudah barang tentu tak seperti sebelum adanya siapa-siapa di sekitar mereka. Diam-diam kedua pemuda bujangan ini menaruh hati pada sosok gadis berparas jelita yang baru saja mereka kenali. Hari-hari berlalu, Kareen pun sering dan setiap hari mendatangi pondok tempat tinggal Maliki dan Safi’i yang tak seberapa jauh dari tenda campnya. Kareen berusaha berkomunikasi dengan kedua pemuda yang pawai menggesek biola peninggalan ayah mereka tetapi karena saling ketidakpahaman bahasa maka sembari kata terucap seiring makna pergi tanpa saling mengerti satu sama lain. Tetapi karena hati yang saling memahami maka ketiga insan itu bisa hidup berdampingan dan saling mengerti dan menghargai. Terkadang pada malam hari Maliki menggesek biola, Kareen dan Safi’i pun menari ria begitu juga sebaliknya.
            Safi’i menaruh perhatian lebih kepada Kareen, tetapi keberuntungan sepertinya belum berpihak kepadanya, Kareen lebih dekat dengan abangnya Maliki. Setiap hari Maliki pergi menemani Kareen ke tengah hutan untuk melakukan penelitian, dan meninggalkan Safi’i adiknya sendirian. Banyak kejadian yang mereka alami berdua di tengah hutan itu mulai dari Kareen yang bercerita bahwa ayahnya sudah meninggal dan ibunya menikah lagi dengan seorang lelaki bernama Mike, pemotretan tumbuhan-tumbuhan langka yang akan diobservasi, Kareen yang digigit oleh semut hutan yang kemudian diobati Maliki dengan akar tumbuhan hutan itu, sampai suatu saat Maliki mengantar Kareen sampai ke tenda campnya kemudian Kareen menawari Maliki tiduran untuk istirahat di tenda berdua dengannya, tetapi seperti ketakutan Maliki berpamitan dan lari pulang ke pondok tempat tinggal mereka. Kareen berniat menawari Maliki untukk ikut ke Universitasnya karena kemampuan yang dimiliki Maliki dalam mengenali hewan dan tumbuhan hutan yang bermanfaat untuk penelitiannya. Tetapi karena Maliki tidak mengerti maksud perkataan Kareen yang menawarinya maka niat itu pun tak kesampaian.
            Karena kebersamaan Kareen dan Maliki abangnya, Safi’i pun menaruh perasaan cemburu kepada mereka. Suatu hari ketika Maliki dan Kareen pergi ke hutan, Safi’i sendirian dan ia menuliskan perasaannya pada sebuah potongan bambu di dekat pondok mereka. Tulisan itu berisikan betapa sakit dan perih ia rasa manahan rasa kasih yang tak tersampaikan dan rasa cemburu melihat gadis yang ia sukai malah dekat dengan abangnya sendiri. Sepulangnya dari hutan, Maliki tidak melihat adiknya di pondok yang ia tinggalkan tadi. Ia hanya menemukan sepotong bambu dan tulisan perasaan adiknya yang berbahasa Mandailing. Setelah ia membaca tulisan itu maka mengertilah ia akan apa yang tengah dirasakan adiknya itu. Maliki memanggil-manggil adiknya Safi’i, tetapi tidak ada sahutan. Ia khawatir akan keadaan adiknya sekarang ini, apakah adiknya baik-baik saja atau bagaimana. Setelah mencari beberapa lama akhirnya ia menemukan adiknya sedang berbaring di sebuah batu di pinggiran sungai. Ia mendatangi adiknya dan mengatakan kalau ia mengerti perasaan adiknya itu, dan ia merelakan Kareen untuk didekati oleh adiknya, Safi’i demi ketenangan hati Safi’i.
            Maliki dan Safi’i memperbaiki atap pondok mereka yang telah rapuh dengan menggunakan daun salak. Saat itu Kareen pun datang. Maliki menjauh dari pondok itu dengan maksud supaya Kareen mendekati dan berbincang dengan adiknya Safi’i. Kareen membantu Safi’i memperbaiki atap pondok mereka. Saat itu Safi’i mungkin merasa nyaman bersama Kareen sementara Maliki abangnya hanya bisa melihat dari kejauhan. Kemudian Kareen berkata kalau besok ia akan kembali ke Taipeh tetapi Maliki dan Safi’i tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Kareen. Kemudian Kareen kembali ke tenda campnya untuk berbenah mempersiapkan kepulangannya besok. Safi’i mendatangi tenda Kareen, di sana ia mendapati Kareen sedang merapikan barang-barangnya. Safi’i mengutarakan perasaannya kepada Kareen dan bermaksud mengajak Kareen untuk tinggal di hutan itu dan menjadi teman hidup atau istrinya. Tetapi karena Safi’i berbahasa Mandailing maka Kareen pun tidak mengerti maksud dari perkataan Safi’i. Kareen hanya mengatakan kalau besok hari terkahirnya di hutan ini karena ia harus kembali melanjutkan studi kuliahnya di Taipeh. Kemudian Kareen memberi dan mengalungkan sebuah kalung kepada Safi’i, tak kepalang tanggung senangnya hati Safi’i menerima itu dan ia langsung berlari kegirangan mendapati dan menunjukkan kalung itu kepada abangnya, Maliki. Kemudian Maliki pun mendatangi Kareen, setibanya ia di tempat Kareen mereka pun berbincang-bincang dengan bahasa masing-masing, Kareen mengalungkan sebuah syal kain kepada Maliki, tak ubahnya seperti Safi’i, Maliki pun berlari kegirangan mendapti adiknya.
            Keesokan harinya yang merupakan hari terakhir Kareen di hutan tempat tinggal kedua pemuda yang membantunya itu, Maliki dan Safi’i sedang duduk-duduk di pondok mereka ketika Kareen datang meghampiri mereka bersama Dr. X. Kareen memperkenalkan Dr. X kepada kedua pemuda itu dan mengatakan kepada DR. X kalau Maliki dan Safi’i lah yang telah membantunya selama melakukan penelitian di hutan itu. Kemudian Kareen mengucapkan kata-kata perpisahan dan selamat tinggal kepada Maliki dan Safi’i dan ia berjanji akan datang kembali lagi atas atau tanpa nama perkuliahannya. Mereka semua turut bersedih terutama Kareen karena sudah banyak kenangan indah yang mereka lalui bersama. Kareen menjabat tangan Maliki seraya ia berbalik dan melangkah pergi, tangan yang berjabat itu sedikit-demi sedikit terlepas sampai sentuhan terakhir ujung jari-jemari mereka. Terasa begitu berat bagi ketiganya untuk berpisah. Maliki dan Safi’i hanya bisa mengigat kejadian indah yang sekarang telah menjadi kenangan tak terlupakan di antara mereka. Kenangan indah itu melintas di pandangan mereka, seiring menemani langkah Kareen, gadis yang mereka sayangi pergi menjauh meninggalkan mereka dan tempat peraduan yang mempertemukan mereka sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar