SINOPSIS
B I O L A N A M A B U
G A N G
Sepasang insan yang saling mencintai,
dialah Tofsir sang pria bujangan yang pawai menggesek biola kesayangannya yang
ingin merajut tali pernikahan dengan sang bidadari hatinya, Baiti. Tetapi malang nasib cinta mereka, keluarga
Baiti tidak merestui maksud keduanya. Alhasil, tiada lagi pilihan lain akhirnya
mereka sepakat meninggalkan rumah untuk kawin lari. Di pelarian mereka tidak
tahu hendak kemana, yang akhirnya mereka menuju sebuah hutan belantara yang tak
pernah dihuni masyarakat. Mereka mendirikan sebuah podok yang tak layak dihuni
oleh manusia, pondok itu berada di bawah rimbunan pohon dan di tepi sebuah
sungai yang menjadi lingkungan hidup mereka sehari-hari. Di sanalah mereka
tinggal tanpa pernah bersosialisasi dengan masyarakat di luar hutan itu.
Buah
dari cinta mereka adalah dua orang anak lelaki yang bernama Maliki si sulung dan
Safi’i si bungsu. Ajal tak dapat terhalang, malang tak dapat dihindari yang
pada akhirnya Tofsir sang suami dan ayah anak-anak Baiti meninggal dunia. Mau
tidak mau Baiti harus membesarkan kedua anak mereka sendirian di tengah hutan
belantara itu. Mereka dihidupi oleh kebersahajaan hutan itu. Buah-buahan,
biji-bijian, umbi-umbian, daun-daunan, dan air lah yang menjadi penopang hidup
mereka setiap hari.
Sehari-hari
Baiti sang ibu dari kedua anak itu sering sekali merenung mengingat kenangan
manis dan pahit yang telah ia lalui bersama suaminya tercinta. Dia sering
bercerita kepada kedua anaknya bagaimana mereka sewaktu muda merajut kasih.
Berandai-andai pabila sang pujangga hatinya masih ada di tengah-tengah
kehidupan mereka, tentunya takkan seperti sekarang ini susah payah kehidupan
yang mereka lalui. Tetesan air mata dan raut wajah sedih selalu menghampirinya
tatkala ia mengingat lelaki yang ia cintai itu. Safi’i sang anak bungsu sering
sekali menanyakan kepada ibunya bagaimana ayah mereka yang tak pernah ia tahu seperti
apa sosoknya. Pertanyaan itu tak pernah sempat dijawab oleh sang ibu karena
Maliki sang anak sulung selalu menimpali pertanyaan adiknya dengan jawaban yang
terkesan sebuah guyonan.
Suatu
hari sang ibu pamit kepada kedua anaknya untuk pergi ke suatu tempat. Setelah
sang ibu pergi beberapa saat kemudian hujan turunlah dengan derasnya diiringi
derum gemuruh suara petir. Baiti sang ibu berjalan dengan menjinjing sepotong
kayu di tengah hujan lebat itu. Hujan itu menyebabkan tanah menjadi licin dan
berair. Setibanya di sebuah sungai yang telah meluap dan besar, sang ibu
bermaksud untuk menyeberangi jembatan yang hanya sepotong kayu panjang yang
berada di atas sungai itu menuju daratan seberang. Malang baginya, sang ibu
tergelincir dari jembatan dan jatuh ke dalam arus deras sungai itu, sang ibu
malang itu mecoba meraih rerumputan yang
ada di pinggiran sungai untuk menopang dirinya agar tak terbawa semakin dalam
dan jauh. Tetapi kehendak Tuhan berkata lain, sang ibu tak mampu meraih
rerumputan itu dan akhirnya ia terbawa arus sungai yang menyebabkan ia
meninggal dan tak pernah terlihat lagi untuk selamanya bagi kedua anak yang ia
tinggalkan di pondok tua itu. Seharian dan semalaman penuh Maliki dan Safi’i
terus mencari keberadaan ibu mereka yang tadi siang pergi dan tak kunjung
kembali. Tetapi mereka tak juga menemukan keberadaan sang ibi hingga mereka
kecapaian dan tertidur.
Sejak
kepergian ibu mereka, Maliki dan Safi’i hanya hidup berdua ditemani biola
peninggalan ayah mereka dan sebuah tungku beserta periuk yang merupakan harta pusaka
mereka. Sama seperti sebelum ayah dan ibu mereka meninggal, mereka juga hidup
di tengah hutan tanpa pernah bersosialisasi dengan masyarakat lain sehingga
mereka hanya mengenal satu sama lain dan hanya paham satu bahasa yaitu bahasa
Mandailing yang merupakan bahasa ibu mereka. Seiring berjalannya waktu, kedua
anak lelaki itu telah tumbuh menjadi dua orang pemuda yang gagah. Pengalaman
hidup mengajarkan mereka tentang seluk beluk hutan yang mereka tinggali.
Suatu
hari hutan tempat tinggal Maliki dan Safi’i didatangi dua orang asing yang
berasal dari Universitas Taipeh, Kareen seorang gadis berparas cantik yang
ingin melakukan eksplorasi hutan itu guna menyelesaikan penelitiannya untuk gelar
S3 yang sedang dia guluti dan Dr. X sang pembimbing Kareen. Setibanya di hutan
itu, Dr.X pulang dan meninggalkan Kareen di sana. Di hutan itu Kareen membuat
sebuah tenda camp tempat
berlidungnya. Hari itu Kareen menelusuri hutan dengan sebuah kamera digital
yang menemaninya. Sampai akhirnya Kareen sampai di pinggiran sungai tempat di
mana Maliki dan adiknya Safi’i sedang mandi. Melihak kedatangan sesosok gadis
yang mendekat kepada mereka, maka Maliki dan Safi’i pun mendekati Kareen yang
berdiri di pinggiran sungai. Kemudian Kareen menyapa mereka dengan bahasa
campuran Indo-Inggris yang sama sekali tidak dimengerti Maliki dan Safi’i dan
kedua pemuda itu menimpali sapaan gadis itu dengan bahasa Mandailing yang makna
pembicaraan mereka tidak bertemu arah. Tetapi mereka mencoba untuk saling
mengerti dan berinteraksi. Saat itu juga kedua pemuda itu berkenalan dengan
Kareen dengam menyebutkan nama masing-masing.
Semenjak
kehadiran Kareen di hutan tempat tinggal mereka, kehidupan yang Maliki jalani
dan adiknya Safi’i sudah barang tentu tak seperti sebelum adanya siapa-siapa di
sekitar mereka. Diam-diam kedua pemuda bujangan ini menaruh hati pada sosok
gadis berparas jelita yang baru saja mereka kenali. Hari-hari berlalu, Kareen
pun sering dan setiap hari mendatangi pondok tempat tinggal Maliki dan Safi’i
yang tak seberapa jauh dari tenda campnya. Kareen berusaha berkomunikasi dengan
kedua pemuda yang pawai menggesek biola peninggalan ayah mereka tetapi karena
saling ketidakpahaman bahasa maka sembari kata terucap seiring makna pergi
tanpa saling mengerti satu sama lain. Tetapi karena hati yang saling memahami
maka ketiga insan itu bisa hidup berdampingan dan saling mengerti dan
menghargai. Terkadang pada malam hari Maliki menggesek biola, Kareen dan Safi’i
pun menari ria begitu juga sebaliknya.
Safi’i
menaruh perhatian lebih kepada Kareen, tetapi keberuntungan sepertinya belum
berpihak kepadanya, Kareen lebih dekat dengan abangnya Maliki. Setiap hari Maliki
pergi menemani Kareen ke tengah hutan untuk melakukan penelitian, dan
meninggalkan Safi’i adiknya sendirian. Banyak kejadian yang mereka alami berdua
di tengah hutan itu mulai dari Kareen yang bercerita bahwa ayahnya sudah
meninggal dan ibunya menikah lagi dengan seorang lelaki bernama Mike,
pemotretan tumbuhan-tumbuhan langka yang akan diobservasi, Kareen yang digigit
oleh semut hutan yang kemudian diobati Maliki dengan akar tumbuhan hutan itu,
sampai suatu saat Maliki mengantar Kareen sampai ke tenda campnya kemudian
Kareen menawari Maliki tiduran untuk istirahat di tenda berdua dengannya,
tetapi seperti ketakutan Maliki berpamitan dan lari pulang ke pondok tempat
tinggal mereka. Kareen berniat menawari Maliki untukk ikut ke Universitasnya
karena kemampuan yang dimiliki Maliki dalam mengenali hewan dan tumbuhan hutan
yang bermanfaat untuk penelitiannya. Tetapi karena Maliki tidak mengerti maksud
perkataan Kareen yang menawarinya maka niat itu pun tak kesampaian.
Karena
kebersamaan Kareen dan Maliki abangnya, Safi’i pun menaruh perasaan cemburu
kepada mereka. Suatu hari ketika Maliki dan Kareen pergi ke hutan, Safi’i sendirian
dan ia menuliskan perasaannya pada sebuah potongan bambu di dekat pondok
mereka. Tulisan itu berisikan betapa sakit dan perih ia rasa manahan rasa kasih
yang tak tersampaikan dan rasa cemburu melihat gadis yang ia sukai malah dekat
dengan abangnya sendiri. Sepulangnya dari hutan, Maliki tidak melihat adiknya
di pondok yang ia tinggalkan tadi. Ia hanya menemukan sepotong bambu dan
tulisan perasaan adiknya yang berbahasa Mandailing. Setelah ia membaca tulisan
itu maka mengertilah ia akan apa yang tengah dirasakan adiknya itu. Maliki
memanggil-manggil adiknya Safi’i, tetapi tidak ada sahutan. Ia khawatir akan
keadaan adiknya sekarang ini, apakah adiknya baik-baik saja atau bagaimana.
Setelah mencari beberapa lama akhirnya ia menemukan adiknya sedang berbaring di
sebuah batu di pinggiran sungai. Ia mendatangi adiknya dan mengatakan kalau ia
mengerti perasaan adiknya itu, dan ia merelakan Kareen untuk didekati oleh
adiknya, Safi’i demi ketenangan hati Safi’i.
Maliki
dan Safi’i memperbaiki atap pondok mereka yang telah rapuh dengan menggunakan
daun salak. Saat itu Kareen pun datang. Maliki menjauh dari pondok itu dengan
maksud supaya Kareen mendekati dan berbincang dengan adiknya Safi’i. Kareen
membantu Safi’i memperbaiki atap pondok mereka. Saat itu Safi’i mungkin merasa
nyaman bersama Kareen sementara Maliki abangnya hanya bisa melihat dari
kejauhan. Kemudian Kareen berkata kalau besok ia akan kembali ke Taipeh tetapi
Maliki dan Safi’i tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Kareen.
Kemudian Kareen kembali ke tenda campnya untuk berbenah mempersiapkan
kepulangannya besok. Safi’i mendatangi tenda Kareen, di sana ia mendapati
Kareen sedang merapikan barang-barangnya. Safi’i mengutarakan perasaannya
kepada Kareen dan bermaksud mengajak Kareen untuk tinggal di hutan itu dan
menjadi teman hidup atau istrinya. Tetapi karena Safi’i berbahasa Mandailing
maka Kareen pun tidak mengerti maksud dari perkataan Safi’i. Kareen hanya
mengatakan kalau besok hari terkahirnya di hutan ini karena ia harus kembali
melanjutkan studi kuliahnya di Taipeh. Kemudian Kareen memberi dan mengalungkan
sebuah kalung kepada Safi’i, tak kepalang tanggung senangnya hati Safi’i
menerima itu dan ia langsung berlari kegirangan mendapati dan menunjukkan
kalung itu kepada abangnya, Maliki. Kemudian Maliki pun mendatangi Kareen,
setibanya ia di tempat Kareen mereka pun berbincang-bincang dengan bahasa
masing-masing, Kareen mengalungkan sebuah syal kain kepada Maliki, tak ubahnya
seperti Safi’i, Maliki pun berlari kegirangan mendapti adiknya.
Keesokan
harinya yang merupakan hari terakhir Kareen di hutan tempat tinggal kedua
pemuda yang membantunya itu, Maliki dan Safi’i sedang duduk-duduk di pondok
mereka ketika Kareen datang meghampiri mereka bersama Dr. X. Kareen memperkenalkan
Dr. X kepada kedua pemuda itu dan mengatakan kepada DR. X kalau Maliki dan
Safi’i lah yang telah membantunya selama melakukan penelitian di hutan itu. Kemudian
Kareen mengucapkan kata-kata perpisahan dan selamat tinggal kepada Maliki dan
Safi’i dan ia berjanji akan datang kembali lagi atas atau tanpa nama
perkuliahannya. Mereka semua turut bersedih terutama Kareen karena sudah banyak
kenangan indah yang mereka lalui bersama. Kareen menjabat tangan Maliki seraya
ia berbalik dan melangkah pergi, tangan yang berjabat itu sedikit-demi sedikit
terlepas sampai sentuhan terakhir ujung jari-jemari mereka. Terasa begitu berat
bagi ketiganya untuk berpisah. Maliki dan Safi’i hanya bisa mengigat kejadian
indah yang sekarang telah menjadi kenangan tak terlupakan di antara mereka.
Kenangan indah itu melintas di pandangan mereka, seiring menemani langkah
Kareen, gadis yang mereka sayangi pergi menjauh meninggalkan mereka dan tempat
peraduan yang mempertemukan mereka sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar