BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Belajar
mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai
interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai
edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan.
Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan
memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Harapan
yang tidak pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran
yang disampaikan guru dapat dikuasai oleh anak didik secara tuntas. Ini
merupakan masalah yang cukup sulit dirasakan oleh guru. Kesulitan ini
dikarenakan detiap anak didik memiliki kepribadian dan latar belakang yang
berbeda. Untuk itu, sangat dibutuhkan strategi pembelajaran atau strategi
belajar mengajar. Saat
ini terdapat beragam strategi pembelajaran di dalam dunia pendidikan. Salah
satu strategi pembelajaran tersebut adalah strategi prmbrlajaran kontruktivis.
Pemilihan strategi ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa
antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan
persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab
sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintegrasi langsung
kepada benda-benda konkret.
Maka dari itu, sebagai seorang guru kita perlu memperhatikan
konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka kita
tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan
sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah,
dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruksi
konsepsi tersebut biar lebih matang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pemakalah memaparkan
materi dalam bentuk makalah berikut untuk mengetahui bagaimana sebenarnya
hakikat strategi pembelajaran konstruktivis ini bisa mengembangkan keaktifan
siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan
yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena
dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa
peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
1.2 Identifikasi Makalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka dapat kita identifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
a.
Pengertian
strategi pembelajaran;
b.
Jenis-jenis
strategi pembelajaran;
c.
Metode
ceramah dalam pembelajaran;
d.
Meetode
tanya jawab dalam pembelajaran; dan
e.
Strategi
pembelajaran kontruktivis.
1.3 Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini
sistematis, teratur, dan tidak mengambang maka panulis membarasi pembahasan
pada materi strategi pembelajaran kontruktivis.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan
masalah di ata, maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a.
Apakah
pengertian strategi pembelajaran kontruktivisme?
b.
Apa
saja ciri-ciri strategi pembelajaran kontruktivisme?
c.
Bagaimana
tahapan dan prinsip strategi pembelajaran kontruktivisme?
d.
Bagaimana
strategi pembelajaran kontruktivisme dalam pembelajaran?
1.5 Manfaat
Adapun manfaat dari pembahasan
materi pada makalah ini adalah menambah pengetahuan dan wawasan pembaca
mengenai konsep strategi pembelajaran kontruktivis yang merupakan salah satu
strategi dalam kegiatan pembelajaran.
1.6 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
memberikan pemaparan berupa materi perkuliahan kepada pembaca mengenai strategi
pembelajaran kontruktivis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Strategi Pembelajarn
Kontruktivisme
Secara umum strategi mempunyai
pengertian suatu garis-garis besar haluan bertindak dalam usaha mencapai
sasaran yang telah ditentukan (Djamarah dan Aswan Zain, 2006:5). Strategi
digunakan dalam segala aktivitas agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan
efisien. Begitu juga dengan pembelajaran atau kegiatan belajar membutuhakan
strategi, bukan hanya sekedar strategi semata tetapi strategi yang tepat yang
dapat mewujudkan tujuan belajar. Pembelajaran adalah merupakan proses interaksi
yang dilakukan oleh guru dan siswa, baik didalam maupun diluar kelas (Poedjadi,
2005:74). Pendidikan merupakan satuan tindakan yang memungkinkan terjadinya
belajar dan perkembangan (Dimyati dan Mudjiono, 2009:7). Jadi, dapat
disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah garis-garis besar dalam kegiatan
belajar mengajar antara guru dan peserta didik dalam mencapai tujuan belajar.
Hal ini sesuai dengan pendapat Djamarah dan Aswan Zain (2006:5) yang menyatakan
bahwa strategi pembelajaran adalah pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik
dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan.
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai
bagaimana terjadi belajar atau bagaimana informasi di perses di dalam pikiran
siswa itu. Berdasarkan satu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran
dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar (Trianto,
2007:12). Dengan teori belajar diharapkan siswa dapat meningkatkan hasil
belajar dan guru akan semakin mudah memberikan penjelasan kepada siswa tentang
materi-materi pelajaran yang selama ini mungkin dirasakan sulit untuk di cerna
oleh siswa.
Pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah salah
satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses
belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif.
Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan yang dibangun
sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan
lingkungannya. Menurut Slavin dalam Trianto (2007:13) teori konstruktivisme ini
menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai. Bagi siswa untuk
lebih memahami dan mengerti sesuatu materi pelajaran di upayakan supaya siswa
itu mencari solusi sendiri bila pelajaran tersebut masih membutuhkan
pemecahan.
Menurut Mc. Brien dan Brandt dalam Siroj (1997:20) konstruktivisme
adalah suatu pendekatan pengajaran berdasarkan kepada penyelidikan tentang
bagaimana manusia belajar. Setiap individu membina pengetahuan dan
bukan hanya menerima pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan di bina
atau didapat secara aktif oleh individu yang yang berfikir
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang tersedia. Dalam proses ini, pelajar
akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya untuk membina pengetahuan baru dalam otaknya.
Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Piaget dikenal pula
sebagai konstruktivisme kognitif (personal
constructivisme), dengan menitikberatkan bahwa pengetahuan dapat dibangun
antara lain dengan membaca, menelusuri, dan melakukan eksperimen terhadap
lingkungan. Pengetahuan dibentuk oleh individu sebab individu melakukan
interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan mengalami perubahan.
Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin
berkembang (Piaget dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009:13). Disamping interaksi
dengan lingkungan, kesiapan mental dan perkembangan kognitif ikut peran
dalam mengkonstruksi dan merekonstruksi pengetahuan.
Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara
konsepsi awal yang telah dimiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat
diintegrasikan begitu saja, sehingga diperlukan perubahan atau modifikasi
struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan, peristiwa ini akan terjadi
secara berkelanjutan selama siswa menerima pengetahuan baru.
Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal
baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, kemudian hal baru tersebut
dibandingkan dengan konsepsi awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru
tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal siswa, maka akan terjadi konflik
kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi
pembelajaran kontruktivis adalah suatu
proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental, membangun
pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang dimilikinya.
Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan
tentang belajar dan mengajar lebih berfokus terhadap suksesnya siswa
mengorganisasi pengalaman mereka.
Dari
uraian di atas, maka dapat kita simpulkan batasan-batasan definisi
konstruktivisme sebagai berikut:
a. Merupakan
salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan konstruksi (bentukan) kita sendiri, bukan imitasi dari kenyataan,
bukan gambaran dunia kenyataan yang ada.
b. Pengetahuan
selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi
melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan
struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan bukanlah
tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia
yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang dialaminya
d. Proses pembentukan ini
berjalan terus menerus, dan setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi
karena adanya pengalaman baru.
2.2 Ciri-ciri Strategi Pembelajaran
Konstruktivisme
Adapun cirri-ciri stretegi pembelajaran konstruktivisme adalah:
a. Orientasi. Peserta didik diberi
kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik, dan
untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
b. Elisitasi.
Peserta didik dibantu untuk mengungkapkan
idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster,dll. Peserta
didik mendiskusikan apa yang diobservasinya dalam wujud tulisan, gambar ataupun
poster.
c. Restrukturisasi ide
i.
Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide orang lain
ii.
Membangun ide yang baru
iii.
Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen
d. Penggunaan ide dalam
banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh peserta didik perlu
diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi, sehingga menjadi lebih
lengkap dan lebih rinci.
e. Review bagaimana ide
berubah.
Dapat terjadi bahwa
dalam mengaplikasikan pengetahuannya, seseorang perlu merevisi gagasannya agar
menjadi lebih lengkap.
2.3 Tahapan Strategi Pembelajaran
Konstruktivisme
Strategi pembelajaran konstruktivisme meliputi empat tahapan
yaitu:
a.
Apersepsi. Pada tahap ini dilakukan kegiatan
menghubungkan konsepsi awal, mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan dari materi
sebelumnya yang merupakan konsep prasyarat. Misalnya: Mengapa baling-baling
dapat berputar?
b.
Eksplorasi. Pada tahap ini siswa mengungkapkan
dugaan sementara terhadap konsep yang mau dipalajari. Kemudian siswa menggali
menyelidiki dan menemukan sendiri konsep sebagai jawaban dari dugaan sementara
yang dikemukakan pada tahap sebelumnya, melalui manipulasi benda langsung.
c.
Diskusi dan Penjelasan Konsep. Pada tahap ini siswa
mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan tamuannya, pada tahap ini pula guru
menjadi fasilitator dalam menampung dan membantu siswa membuat kesepakatan
kelas, yaitu setuju atau tidak dengan pendapat kelompok lain serta memotifasi
siswa mengungkapkan alasan dari kesepakatan tersebut melalui kegiatan tanya
jawab.
d.
Pengembangan Dan Aplikasi. Pada tahap ini guru memberikan
penekanan terhadap konsep-konsep esensial, kamudian siswa membuat kesimpulan
melalui bimbingan guru dan menerapkan pemahaman konseptual yang telah diperoleh
melalui pembelajaran saat itu melalui pengerjaan tugas.
2.4 Prinsip Strategi Pembelajaran
Konstruktivisme
Belajar merupakan proses
konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental peserta didik
secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan menghubungkan bahan yang
dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga
pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua
peserta didik benar-benar
mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang
datang dari pendidik “diserap” oleh
murid. Ini berarti bahwa setiap peserta didik akan mempelajari sesuatu yang
sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97). Dari uraian di atas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa prinsip dasar pembelajaran konstruktivisme,
yaitu :
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa
secara aktif.
b. Tekanan proses pembelajaran terletak
pada siswa
c. Mengajar adalah membatu siswa
belajar.
d. Penekanan pada proses belajar lebih
pada proses bukan pada hasil belajar.
e. Kurikulum lebih menekankan pada partisipasi
siswa.
f. Guru adalah fasilitator.
2.5 Kelebihan dan Kelemahan Strategi
Pembelajaran Konstruktivisme
Setiap strategi tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan
tersendiri karena tidak ada hal yang sempurna. Adapun keleebihan strategi
pembelajaran kontruktivisme adalah:
a. Dapat memberikan kemudahan kepada
siswa dalam mempelajari materi.
b. Melatih siswa berfikir kritis dan
kreatif.
Adapun kelemahan pembelajaran konstruktivisme adalah:
a. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil
konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
b. Konstruktivisme menanamkan agar
siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang
lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
c. Situasi dan kondisi tiap sekolah
tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat
membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
2.6 Kontruktivisme dalam
Pembelajaran
Dalam kegiatan pembelajaran sudah tentu mempunyai tujuan
yang ingin dicapai sehingga, sehingga proses pendidikan tersebut berajalan dan
terarah sesuai dengan apa yang di harapkan oleh tujuan pendidikan tersebut
seperti untuk mengembangkan keperibadian siswa yang berkaitan dengan
pengembangan sikap,nilai, norma, dan moral yang menjadi anutan bagi setiap
siswa (Hasan, 1996:98).
Jadi tujuan dalam kegiatan pembelajaran itu sangat penting
sehingga dalam proses pembelajaran jangan sampai tidak terkait antara
tujuan pembelajaran dengan proses pembelajaran karena akan mengakibatkan proses
pembelajaran akan di tentukan oleh buku. Dengan hal ini tujuan dari dari
pengajaran tidak jelas, dan akan mengakibatkan kesulitan bagi guru untuk
mengembangkan satu pendekatan dan program pendidikan (Sumantri, 2001:259). Dalam
proses pembelajaran dituntut adanya proses perubahan dalam pembelajaran, di
dalam proses pembelajarann tersebut harus ada pemberdayaan diri bagi siswa dan
pengembangan potensi-potensi yang di miliki siswa dengan cara holistic
melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh setip guru. Dalam pembahasan
pembelajaran, pengkajian yang mendalam tentang paradigma konstruktivisme
merupakan suatu tuntutan dan sekaligus tantang baru di tengah terjadinya
perubahan besar dalam memahami proses pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran
paradigma pembelajaran yang sebelumnya lebih menitik beratkan pada peran guru,
fasilitaor, instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin
bergeser pada pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil
inisiatif dan partisipatif didalam proses pembelajaran. Pandangan yang
menganggap bahwa pengetahuan sebagai reprensentasi (gambaran/atau
ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pemahaman
yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan kumpulan pakta. Namun akhir akhir
ini berkembang pesat pemikiran, terlebih dalam bidang sains yang mempertahankan
bahwa pengetahuan tidak terlepas dari objek yang sedang belajar mengerti
(Suparno dalam Aunurrahman, 2009:15).
Konstruktivisme merupakan respon terhadap berkembangnya harapan-harapan
baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif
siswa dalam merekayasa dan memperakarsai kegiatan belajar sendiri. Hampir
setiap kalangan yang terlibat dalam mengkaji masalah-masalah pembelajaran
mengetahui bahwa konstruktifisme merupakan paradigam alternative pembelajaran
yang muncul sebagai akibat revolusi ilmiah yang terjadi beberapa tahun
belakangan ini. Konstruktivisme merupakan satu filsafat pengetahuan yang
menekankan pada pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri (Von Glasersfeld dalam Ainurrahman, 2009:16)
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan
seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan, seseorang membentuk skema,
katagori, konsep dan struktur pengetahuan untuk suatu pengetahuan tertentu.
Oleh karena itu pengetahuan adalah hasil konstruksi pengalaman manusia sejauh
yang dialaminya. Pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi
terus menerus berkembang setiap kali mengadakan reorganisasi karena
adanya suatu pemahaman yang baru atau feedback.
Feedback adalah informasi yang
diperoleh dari hasil pelaksanaan sebelumnya yang berguna bagi perbaikan
(Harjanto, 2008:45).
Dalam mencermati realitas kehidupan sehari-hari para
konstruktivis mempercayai bahwa pengetahuan itu adalah dalam diri seseorang
yang sedang berusahan mengetahui. Pengetahuan tidak dapat di pindahkan begitu
saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa lah
yang akan mengartikan apa yang di ajarkan oleh guru dan di sesuaikan dengan
pengalaman mereka (Lorsbach dan Tobindalam Ainurrahman, 2009:16)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang terkait erat dengan
pengalaman-pengalaman. Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk
pengetahuan. Dalam konteks ini pengalaman tidak hanya diartikan sebagai
pengalaman fisik seseorang sebagaimana kita pahami dalam kehidupan kita
sehari-hari. misalnya pengalaman pernah pergi kesuatu tempat yang indah,
pengalaman mengendarai sepeda motor, melihat pesawat, dan lain sebagainya.
Pengalaman dalam hal ini mencakup pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan
dibentuk oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu ia berinteraksi
dengan lingkungan. Seperti yang dikatakan Sitti Hartinah (2010:25) bahwa
perubahan dalam perkembangan bertujuan untuk memungkinkan orang menyesuaikan
diri dengan lingkungan di mana ia hidup.
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa
saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa sendiri.
b. Memberi kesempatan kepada siswa
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga lebih kreatif dan imajinatif.
c. Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru.
d. Menggali pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
e. Mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka.
f. Menciptakan lingkungan yang
kondusif.
Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang
mengacu pada pandangan konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih
berpengalaman untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
Dari hasil eksperimennya, Piaget dalam Dahar (1989:152) mengemukakan
teori perkembangan mental anak terdiri dari empat tahap perkembangan mental
anak yaitu:
a. Tahap sensori motor (0-2 tahun)
b. Tahap praoperasi (2-7 tahun )
c. Tahap operasi kongkrit (7-11 tahun)
d. Tahap operasi formal (11-tahun ke atas)
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah
Bruner dalam Dahar (1989:152), bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk
memulai belajar konsep dan prinsip adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep
dan prinsip yang di pelajari itu. Kemudian inti dari belajar adalah
dengan cara memakai cara-cara bagaimana orang lain memilih, mempertahankan, dan
mentraspormasikan masalah secara aktif dalam kegiatan dan prilaku
sehari-hari.
Pengembangan pendekatan pembelajaran konstruktivisme
menekankan pada pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa. Dengan
pendekatan pembelajaran seperti ini anak akan membangun pengetahuan sendiri
yang di mulai dengan intraksinya dengan lingkungan dan keluarga.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
pembelajaran konstruktivisme proses pembangunan pengetahuan
dilakukan secara aktif oleh siswa itu sendiri, sesuai dengan landasan struktur
kognitif yang telah dimilikinya, jadi belajar adalah proses untuk menemukan
sesuatu dan buakan suatu proses untuk menemukan fakta. Dalam hal
ini pelajar harus membentuk pengetahuan sendiri dan guru hanya sebagai
mediator dan fasilitator dalam proses pembentukan pengetahuan itu. Prinsip yang
paling umum dan yang paling esensial yang dapat di turunkan dari
konstruktivisme adalah bahwa anak-anak memperoleh banyak
pengetahuan.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir kontekstual,
yaitu bahwa pengetahuan di bangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya di perluas melalui konsteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, untuk menemukan
sesuatu yang dapat digunakan bagi kegiatan dalam kehidupannya, dan bergelut
dengan ide-ide dan pendapat orang lain untuk menemukan konteksnya, serta mampu
mengikuti proses belajar. Proses belajar yang dimaksud adlah kegiatan yang
dilakukan oleh siswa dalam mencapai rujuan pengajaran (Nana Sudjana, 2011:22).
Kemampuan guru untuk mentrasfer pengetahuan yang dimilikinya sangat terbatas,
hal ini akan sangat mungkin guru akan mentrasper apa yang di
milikinya, kepada siswa akan tidak mudah diterima dan diserap langsung oleh
siswa, sehingga siswa itu sediri yang harus berupaya untuk mengkonstruksikan pengetahuan
dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah siswa itu
sendiri harus menemukan dan mentrasformasikan suatu informasi kompleks ke
situasi lain, dan apabila di kehendaki, informasi itu menjadi milik mereka
sendiri.
Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi
proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran
siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif
dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan
guru.
2.7 Perbedaan Situasi Pembelajaran
Tradisional dengan Strategi Pembelajaran Konstruktivisme
Brooks and Brooks dalam Ainurrahman (2009:25) mengatakan
beberapa perbedaan situasi pembelajaran tradisional dengan pembelajaran
konstruktivisme dapat dijabarkan seperti pada tebel berikut:
Dimensi
|
Pembelajaran
tradisional
|
Pembelajaran
konstruktivisme
|
Ruang lingkup pembelajaran
|
Disajikan secara terpisah, bagian
bagian dengan penekanan pada pencapaian keterampilan dasar
|
Disajikan secara untuh dengan
penjelasan tentang keterkaitan anatar bagian dengan penekanan pada konsep
utama.
|
Kurikulum
|
Harus diikuti sampai habis
|
Pertanyaan dan konstruksi jawaban
siswa adalah penting.
|
Kegiatan pembelajaran
|
Berdasarkan buku teks yang sudah
ditemukan
|
Berdasarkan beragam sumber
informasi primer dan materi-matgeri yang dapat dimanipulasi oleh siswa
|
Kedudukan siswa
|
Dilihat sebagai wadah yang kosong
tempat ditumpahnya semua pengetahuan dari guru
|
Siswa dilihat sebagai pemikir yang
mampu menghasilkan teori tentang dunia dan kehidupan.
|
Guru mengajar dan menyebarkan
informasi keilmuan kepada siswa
|
Guru bersukap interaktif dalam
pembelajaran, menjadi fasilitator bagi siswa.
|
|
Penyelesaian masalahpembelajaran
|
Selalu mencari jawaban yang benar
untuk memvalidasi proses belajar siswa
|
Guru mencoba mengerti persepsi
siswa agar dapat melihat pola piker siswa dan apa yang sudah diperoleh siswa
untuk pembelajaran selanjutnya.
|
Penilaian Proses pembelajaran
|
Merupakan bagian terpisah dari
pembelajaran dan dilakukan hamper selalu dalam bentuk test/ujian
|
Merupakan bagian integral dalam
pembelajaran, dilakukan melalui observasi guru terhadap hasil kerja
melalui pameran karya siswa dan portopolio
|
Aktivitas belajar siswa
|
Siswa lebih banyak belajar sendiri
|
Lebih banyak belajar dalam
kelompok
|
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Strategi pembelajaran kontruktivisme adalah suatu suatu strategi belajar mengajar di mana
siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya yang dilandasi oleh
struktur kognitif yang dimilikinya. Guru lebih berperan sebagai
fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar
lebih berfokus terhadap suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka. Dalam
prosesnya siswa memperoleh pengetahuan, kemudian pengetahuan itu mendapatkan
tambahan atau masukan sebagai pengetahuan baru. Di sinilah faktor kognitif
berperan mengkonstruksi pengetahuan lama atau yang sudah ada dengan pengetahuan
baru. Setelah pengkonstruksian itu selesai maka hasilnya adalah pengetahuan
baru yang kemudian akan mendapat masukan baru untuk dikonstruksi. Begitulah
seterusnya dan terjadi sepanjang hayat manusia.
3.2 Saran
Sebagai seorang guru, kita harus bisa
memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Salah satu alternatif yang bias dipilih adalah strategi
pembelajaran konstruktivis yang mampu mengembangkan keaktifan dan kreativitas
siwa.
Sebagai siswa, kita harus mampu
mengkonstruksi pengetahuan yang kita miliki dengan hal baru secara tepat agar
struktur kognitif kita terbangun dan berkembang dengan baik sehingga kita bias
memanfaatkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar