Sabtu, 07 September 2013

Makalah Bahasa Jurnalistik dan Media Massa dalam Perkembangan Bahasa


Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya makalah ini yang berjudul Bahasa Jurnalistik Dan Media Massa Dalam Perkembangan Bahasa. Karena tanpa restu dan urapan tanganNya sudah barang tentu penulis tak mampu menyelesaikan makalah ini dengan kekuatan sendiri.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak yang terkait dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada Bapak Drs. Yusni Khairul Amri, M.HUM selaku dosen pembimbing yang telah memberikan tema dan bimbingan terkait pengerjaan makalah ini. Begitu juga kepada pihak yang saya jadikan sumber acuan pembuat makalah ini seperti para penulis yang buku beliau-beliau saya gunakan dan juga kepada rekan-rekan dunia maya yang telah saya kunjungi blognya melalui situs jejaring sosial www.google.com. Bila ada kekurangan saya yang bersifat plagiat, saya sebagai penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Dalam makalah ini saya bahas mengenai bahasa, bahasa yang baik dan benar, bahasa jurnalistik dan seluk-beluknya, dan peranan media massa dalam perkembangan bahasa. Yang dapat berdaya guna untuk kepentingan berbahasa.
Saya sebagai penulis mengetahui betul masih banyak sekali kesalahan yang terdapat dalam tulisan makalah ini karena saya masih seorang pelajar dan pemula dalam tulis-menulis yang masih jauh dari baik dan banyak kekurangan. Penulis meminta maaf dan mengharapkan betul kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang membaca guna kemajuan dan kebaikan makalah ini ke depannya. Terutama dari dosen pembimbing saya Bapak Drs. Yusni Khairul Amri, M.HUM.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah guna menyelesaikan tugas semester 1 STKIP TAPANULI SELATAN mata kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia yang dibebankan oleh dosen mata kuliah tersebut di atas Bapak Drs. Yusni Khairul Amri, M.HUM. Selain itu juga untuk memberikan pelajaran dan pengalaman baru bagi saya dalam membuat tulisan. Tulisan ini dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan demi pemahaman mengenai bahasa jurnalistik dan media massa dalam perkembangan bahasa.



                                                                              Pinangsori,    Januari 2012
                                                                              Penulis,


                                                     
                                                                              Jason Walker Panggabean
                                                                              NPM. 11070124

                                                                                                                              i

          

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Informasi yang diperoleh melalui berbagai media massa memegang peranan penting dalam membentuk sikap mental masyarakat agar dapat berperan secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan. Peran media massa tidak dapat disangkal telah memberikan andil bagi perkembangan bahasa Indonesia. Media massa merupakan salah satu mitra kerja yang penting dalam pelancaran dan penyebaran informasi tentang bahasa karena media massa akan berpengaruh pada perkembangan bahasa Indonesia.
Masyarakat yang membaca media massa akan memperoleh wawasan mengenai banyak hal, salah satunya adalah wawasan mengenai bahasa karena tidak ada media massa yang tidak menggunakan bahasa baik lisan maupun tulisan. Dalam media massa informasi atau berita yang dimuat berasal dari berbagai sumber terutama dari para jurnalis yang berkecimpung di dunia pemberitaan dan bekerja dengan menggunakan bahasa.
Oleh karena itu, maka dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana pengaruh media massa dalam perkembangan bahasa terutama bahasa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
  1. Apakah bahasa itu?
  2. Apakah bahasa jurnalistik itu?
  3. Apakah media massa dan peranannya dalam perkembangan bahasa?
C. Manfaat dan Tujuan
  1. Memberikan pemaparan mengenai bahasa sehingga masyarakat pembaca akan mengetahui apa itu bahasa dan bagaimana bahasa yang baik dan benar.
  2. Memberikan pemaparan mengenai bahasa jurnalistik dan seluk-beluknya sehingga masyarakat pembaca dapat memahami dan menyaring bahasa jurnalistik yang bagaimana yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam dunia pendidikan.
  3. Memberikan pemaparan mengenai peran atau sumbangsih media massa bagi perkembangan bahasa sehingga masyarakat pembaca mengetahui peran tersebut agar dapat menghargai pihak-pihak yang terkait dalam mengindahkan perkembangan bahasa tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi di dalam kehidupannya.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli:
1. Bill Adams
Bahasa adalah sebuah sistem pengembangan psikologi individu dalam sebuah konteks inter-subjektif.

2. Wittgenstein
Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis.

3. Ferdinand De Saussure
Bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain.

4. Plato
Bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus ujaran lewat mulut.

5. Bloch & Trager
Bahasa adalah sebuah sistem simbol yang bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama.

 6. Carrol
Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.

7. Sudaryono
Bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman.

8. Saussure
Bahasa adalah objek dari semiologi.

9. Mc. Carthy
Bahasa adalah praktik yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan berpikir.
10. William A. Haviland
Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu.

B. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Sebelum sampai pada pembahasan bahasa Indonesia yang benar dan baik, terlebih dahulu kita perlu tahu bagaimana standar resmi pembakuan Bahasa Indonesia. Jika bahasa sudah memiliki baku atau standar yang sudah disepakati dan diresmikan oleh negara atau pemerintah, barulah dapat dibedakan antara pemakaian bahasa yang benar dan tidak.
Seperti yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) tahun 1988, pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul.
Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi antar sesama manusia tentunya bertujuan agar dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Meskipun berbicara dalam satu bahasa yang sama, dalam hal ini Bahasa Indonesia, namun ragam bahasa yang dipakai tidaklah sama. Masing-masing kelompok menggunakan ragam yang berbeda.
“Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku” (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988).
Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika kita melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”
Untuk itu sebaiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, yang berarti “pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988).
Setelah membaca kutipan-kutipan di atas tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi, dalam masalah bahasa Indonesia “yang baik dan benar” kita harus tetap berbahasa sesuai keadaan, situasi, tempat, dengan siapa kita berbicara, dan untuk tujuan apa kita berbahasa. Dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar kita akan lebih mudah menyampaikan suatu maksud kita kepada orang lain dan orang lain akan lebih mudah mengerti maksud dan tujuan kita dalam berbahasa.

C. Aspek Bahasa
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbiter, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap panca indra.
Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan arti atau makan yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang  diwakilinya itu. Bunyi itu merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita (= yang dicerap panca indra kita), sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain.
Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Makna sebuah kata tergantung dari konvensi (kesepakatan) masyarakat bahasa yang bersangkutan. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien, atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.
Dalam sejarah bahasa pernah diperdebatkan apakah ada hubungan yang wajar antara kata dengan barangnya. Satu kelompok mengatakan ada; untuk itu diusahakan bermacam-macam keterangan mengenai timbulnya kata-kata dalam bahasa. Etimologi merupakan hasil dari kelompok ini. Namun etimologi yang mula-mula timbul untuk mendukung pendapat itu terlalu dibuat-buat sehingga sulit diterima. Usaha lain yang mempertahankan pendapat itu adalah apa yang dikenal dengan onomatope (kata peniru bunyi). Namun hal ini pun sangat terbatas. Terakhir dikemukakan bahwa tiap bunyi sebenarnya mengandung nilai-nilai tertentu, misalnya vokal a, u, o, menyatakan sesuatu yang tinggi, kecil dan tajam. Demikian pula konsonan-konsonan melambangkan bunyi-bunyi tertentu. Dalam beberapa hal barangkali dapat ditunjuk contoh-contoh yang mungkin menyakinkan. Tetapi terlalu banyak hal yang akan menentang contoh-contoh tadi. Dengan demikian pendapat lain lebih dapat diterima antara kata dan barang tidak terdapat suatu hubungan. Hubungan itu bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi masyarakat bahasa yang bersangkutan.
D. Fungsi Bahasa
Secara singkat fungsi bahasa dapat diuraikan seperti berikut ini:
a. Untuk menyatakan ekspresi diri
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita.

b. Alat komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi kita dapat menyampaikan semua yang kita rasakan, pikirkan, dan kita ketahui kepada orang-orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek-moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sejaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita. Ia juga memungkinkan manusia menganalisa masa lampaunya untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan masa yang akan datang.
c. Alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Bahasa, di samping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan  tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan untuk memperoleh (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya.
Melalui bahasa seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenal segala adat istiadat, tingkah laku, dan tata karma masyarakatnya. Ia mencoba menyesuaikan dirinya (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa. Seorang pendatang baru dalam sebuah masyarakat pun harus melakukan hal yang sama. Bila ingin hidup dengan tenteram dan harmonis dengan masyarakat ia harus menyesuaikan dirinya dengan masyarakat itu; untuk itu ia memerlukan bahasa, yaitu bahasa masyarakat tersebut. Bila ia dapat menyesuaikan dirinya maka ia pun dengan mudah membaurkan dirinya (integrasi) dengan segala macam tata krama masyarakat tersebut.
d. Alat untuk mengadakan kontrol sosial
Yang dimaksud dengan kontrol sosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang-orang lain. Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt; yaitu tingkah laku yang dapat diamati atau diobservasi), maupun yang bersifat tertutup (covert; yaitu tingkah laku yang tak dapat diobservasi). Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa.

E. Perkembangan Bahasa dan Tujuannya
Setelah melihat fungsi-fungsi bahasa secara singkat seperti di atas, terutama fungsi sebagai alat komunikasi dan kontrol sosial, maka makalah ini berusaha memberikan dasar-dasar guna memperoleh kemahiran berbahasa, baik dalam penggunaan bahasa secara lisan maupun secara tertulis, agar mereka yang mendengar, melihat ataupun membaca hal-hal berbahasa, mereka akan lebih mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan terutama dalam media massa.
Perkembangan bahasa adalah perubahan bahasa dan penggunaannya dalam masyarakat baik itu ke arah yang lebih baik atau pun ke arah yang kurang baik. Perkembangan bahasa dapat memberikan pengaruh positif kepada masyarakat jika perkembangan bahasa itu berkembang sesuai dengan konsep dasar sebelumya dalam artian tidak menyimpang atau meninggalkan peraturan kebahasaan yang baik dan benar sebelumnya. Begitu juga sebaliknya perkembangan bahasa akan berdampak negatif jika menyimpang ataupun meninggalkan peraturan kabahasaan sebelumnya.
Oleh karena itu, tujuan perkembangan bahasa yang sesungguhnya diharapkan adalah perkembangan bahasa yang tetap mencerminkan wibawa bahasa, tetap mengacu pada bahasa yang baik dan benar, dan memberikan kontribusi yang positif untuk masyarakat terutama dunia pendidikan.

F. Media Massa
Media massa adalah alat yang digunakan dalam proses penyampaian informasi baik cetak maupun elektronik, baik dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Contoh media massa bentuk cetak yaitu koran, majalah, surat kabar, buletin, selebaran, brosur, dll. Contoh media massa elektronik yaitu radio, televisi, dll.
Media massa memuat informasi atau berita yang setiap orang berhak untuk mebacanya. Oleh karena itu, dalam media massa tak terpungkiri adanya bahasa. Dari masa ke masa bahasa selalu mengalami perubahan atau dengan kata lain mengalami perkembangan. Perkembangan bahasa turut didasari oleh media massa dan hal-hal yang terkait di dalamnya, seperti jurnalis (wartawan), jurnalisme, jurnalistik, dll yang akan dibahas berikutnya.
G. Bahasa Indonesia dalam Media Massa
Media massa merupakan sarana penyampaian informasi kepada masyarakat. Dalam penyampaian informasi dalam media massa, hendaknya para wartawan atau penulis berusaha agar bahasa yang digunakan bisa menarik perhatian pembaca, sehingga mereka bisa memahami maksud informasi yang ada di media massa tersebut. Wartawan dalam media massa harus menghindari adanya penulisan kata atau istilah yang sering rancu (salah kaprah). Hendaknya penulisan istilah atau kata tersebut berdasarkan standardisasi Bahasa Indonesia yang baik dan benar, menurut pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Bahasa yang digunakan media massa cetak terutama surat kabar sangat berpengaruh terhadap masyarakat pembaca. Beberapa kekeliruan pemakaian bahasa yang di dalam masyarakat seperti penggunaan kata di mana yang tidak pada tempatnya. Setelah media massa cetak berusaha tidak memakainya, pengguna di dalam masyarakat berangsur-angsur mereda. Demikian pula halnya dengan tata kalimat. Cukup banyak media massa cetak yang telah berupaya untuk bercermat dalam menyusun kalimat yang baik, benar, dan menarik. Itu semua merupakan usaha penerbit untuk menyuguhkan bacaan yang komunikatif kepada para pembaca. Hal seperti itu merupakan sumbangan penerbit media massa dalam melakukan pembinaan bahasa. Walaupun demikian, kita tida boleh menutup mata bahwa masih banyak penerbit media massa cetak yang belum tertarik terhadap masalah tersebut. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam dunia jurnalistik lebih mendekati bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan buku sangat dijaga agar sesuai benar dengan kaidah dan keresmian bahasa baku.

Menurut Sudaryanto (1995) bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Menurut Anwar (1991) bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa. Bahasa jurnalistik juga merupakan bahasa komu­nikasi massa sebagaimana tampak dalam koran (harian) dan majalah (mingguan). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Bukan karya-karya opini (artikel dan esai). Oleh karena itu jika ada wartawan yang juga ingin menulis cerpen, esai, kritik, dan opini, maka karya-karya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai karya jurnalistik, karena karya-karya itu memiliki varian tersendiri.
Di dalam bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase inves­tigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features.  Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan  jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000).
Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama ada yang menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat  mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan,pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Namun demikian, karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisn masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat meng­utamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya  dengan mengutamakan daya komunikasinya. Namun, dengan perkembangan jumlah pers yang begitu pesat pasca pemerintahan Soeharto sudah ada 800 pelaku pers baru bahasa pers juga menyesuaikan pasar. Artinya,  pers sudah menjual wacana tertentu, pada golongan tertentu, dengan isu-isu yang khas.
I. Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik  itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sIfat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya:
  1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
  2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
  3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pema­kaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
  4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
  5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
  6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/penegertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul berita: Tim Ferari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan, barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera pembacanya.
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972)  sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993)  disebut retorika tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa  sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik. Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukkan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
  1. Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain. Penyususunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apapun agar tidak melanggar prinsip prose­sibilitas ini. Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting
  2. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
  3. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang,wacana jurnalistik di­konstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintakstik yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacna jurnalistik
  4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-spek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausali­tas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
J. Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Bagi para penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi pikiran, suasana hati, dan gejolak perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan baik dan benar.
 Itulah sebabnya, para penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas kosa kata, pilihan kata, kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik.
Bahasa jurnalistik harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti tampil menarik, variatif, segar, berkarakter. Selain itu, ia juga harus senantiasa tampil ringkas dan lugas, logis, dinamis, demokratis, dan populis.
Dalam bahasa jurnalistik, setiap kata harus bermakna, bahkan harus bertenaga, dan bercita rasa. Kata bertenaga dengan cepat dapat membangkitkan daya motivasi, persuasi, fantasi, dan daya imajinasi pada benak khalayak.
Pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok. Pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal, atau barang yang akan diamanatkan. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.Ketepatan memilih kata dapat dicapai apabila kita sebagai penulis atau jurnalis menguasai dengan baik masalah etimologi, semantik, tata bahasa, ejaan, frasa, klausa, istilah, ungkapan, idiom, jargon, singkatan, akronim, peribahasa, kamus, dan ensiklopedia. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam menggunakan kata tadi. Hal ini lebih banyak dipengaruhi faktor teknis tata bahasa, faktor psikologis narasumber dan jurnalis, konteks situasi dan maksud pesan yang disampaikan, serta aspek-aspek etis, etnis, dan sosiologis khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa.
Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran, ideologi, dan media massa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984) meneliti pengaruh bahasa  dan budaya Belanda serta Jawa dalam perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang feodalis.  Naina (1982) tentang perilaku pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah se­perti yang termanifestssikan dalam Tajuk Rencana. Hooker (1990) meneliti model wacana zaman orde lama dan orde baru. Penelitian terbaru Eryanto (2001) tentang analisis teks di media massa. Dari puluhan penelitian yang berkait dengan pers, tenyata belum terdapat penelitian yang secara khusus memfor­mulasikan karakteristik (ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi karakteristik  bahasa pers yang termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana.
Di awal tahun 1980-an terbesit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Se­marang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tatabahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dn ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, penge­tahuan kebahasaan yang  terbatas, dan kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum baik. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu me­nulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.
Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik praktis karya Rosihan Anwar (1991), Asegaf (1982), Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar, dll, masih perlu dimunculkan petunjuk akademik maupun teknis pemakaian bahasa jurnalistik. Dengan mengetahui karakteristik bahasa pers Indonesia termasuk sejauh mana mengetahui penyimpangan yang terjadi, kesalahan dan kelemahannya, maka akan dapat diformat bahasa jurnalistik yang komunikatif.
Menurut Widminarko ada beberapa pedoman penggunaan bahasa ragam jurnalistik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan standardisasi Bahasa Indonesia di media massa, yaitu:
  1. Batasi penulisan akronim, kecuali yang sudah populer dimasyarakat. Akronim yang belum populer harus dijelaskan kepanjangannya dalam tanda kurung pada kesempatan pertama.
  2. Jangan menghilangkan imbuhan kecuali dalam judul. Memenggal awalan dapat dilakukan dalam penulisan judul, jika karena keterbatasan ruangan (kolom) atau judul lebih atraktif (lebih hidup), sebagai contohnya boleh ditulis ”Spanyol Tundukkan Jerman 2-1 ” namun dalam berita atau artikel ditulis menundukkan.
  3. Tulis kalimat-kalimat dalam berita secara pendek-pendek, namun jelas mana unsur S,P,O,K. Jadikan pedoman atau gagasan dalam satu kalimat.
  4. Jauhkan dari penulisan ungkapan klise yang sering digunakan dalam transisi berita atau dalam penggantian alinea. Contoh : Sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui.
  5. Hindari penulisan kata mubadzir atau pleonatis.
  6. Hindari kata asing dari istilah yang terlalu teknis-ilmiah dalam kalimat berita, kalau terpaksa kata itu harus disertai penjelas.
  7. Pemilihan dan penggunaan kata atau istilah harus disesuaikan dengan logika.
Contoh: -Kapan digunakan kata atau istilah demikian ujarnya atau ungkapnya.
  -Kapan digunakan kata-kata demikian kilahnya.
  1. Penulisan kata-kata dalam kalimat langsung dapat disesuaikan dengan kata-kata lisan yang diucapkan narasumber. Namun, jika dalam kata-kata narasumber itu ada yang salah dari kaidah bahasa yang benar, penyunting berhak memperbaikinya.
K. Kesalahan Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik atau bahasa pers, memang merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa bisnis, ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra).
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan dalam menulis karya-karyanya di media massa. Tulisan itu pun memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenisnya.
Bahasa yang digunakan untuk menuliskan laporan investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan yang digunakan dalam penulisan features. Ada pula gaya yang yang khas pada penulisan jurnalisme perdamaian. Yang digunakan untuk menulis berita utama (ada yang menyebut laporan utama, forum utama) juga akan berbeda dengan bahasa untuk menulis tajuk dan features.
Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu), bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Kosa kata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.
 Surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Maka bahasa jurnalistik harus dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Juga tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar, maka bahasa jurnalistik mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan daya komunikasinya.
Muncul keluhan bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah baku. Banyak ditemukan kemubaziran bahasa wartawan pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal.
Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosa kata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum baik. Faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.
Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahasa jurnalistik sebagai perusak terbesar bahasa Indonesia. Mereka menganggap bahasa jurnalistik sebagai bahasa lain yang tidak pantas dilirik. Anggapan itu ada benarnya, karena wartawan memang kadang-kadang menggunakan bahasa atau kata-kata pasaran yang melenceng dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Media massa jugalah yang “memasarkan” kata-kata yang agak –maaf- kasar atau jorok kepada masyarakat, sehingga masyarakat yang dulu terbiasa dengan bahasa yang agak halus dan sopan (eufemisme), kini menjadi akrab dengan kata-kata kasar dan blak-blakan, seperti sikat, bakar, bunuh, darah, bantai, rusuh, rusak, provokatif, perkosa, penjara, pecat, jarah, serta obok-obok dan esek-esek.
Selain itu, media massa juga kerap mengutip kata-kata yang salah, seperti bentuk kembar sekedar-sekadar, cidera-cedera, film-filem, teve-tivi-TV. Ada media yang memakai risiko, ada yang resiko. Ada yang memakai sekedar, ada yang sekadar. Ada pula media massa yang dengan tanpa dosa menuliskan kata ganti kita, padahal yang seharusnya adalah kata kami.
Penghilangan imbuhan dalam judul berita juga kerap salah, misalnya Amerika Bom Irak, padahal semestinya Amerika Mengebom Irak, atau Tentara Israel Tembak Anak Palestina, yang seharusnya Tentara Israel Menembak Anak Palestina.
Bagi para penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi pikiran, suasana hati, dan gejolak perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan baik dan benar. Itulah sebabnya, para penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas kosakata, pilihan kata, kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik. Seorang jurnalis tidak boleh menggunakan senjata untuk membunuh orang, tetapi harus menggunakan senjata itu untuk mencerdaskan dan memuliakan masyarakat, serta membela dan menjunjung tinggi kehormatan negara dan bangsa (Dad Murniah, Harian Sinar Harapan, 2007)
Mari kita lihat kesalahan-kesalahan atau  penyimpangan bahasa jurnalistik tersebut dibandingkan dengan kaidah bahasa Indo­nesia baku:

  1. Peyimpangan morfologis.
Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefik atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.

  1. Kesalahan sintaksis.
Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.

  1. Kesalahan kosakata.
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalisir dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konfliks Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis ecara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, suibversif, aktor intelektual, esktrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebsan pers seperti sekarang ini, kecen­derungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.

  1. Kesalahan ejaan.
Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.

  1. Kesalahan pemenggalan.
Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbagasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.

L. Upaya Mengatasi Penyimpangan Bahasa Jurnalistik

Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah melakukan kegiatan pe­nyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Pragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi rusak  karena penyisipan-penyisipan yang tidak bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti; (2) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda  menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai jurnalis yang pernah ber­sentuan dengan majalah Tempo.
Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mense­jajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan makanan, semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu (Slogan Tempo).
Goenawan Mohamad paa 1974 telah melakukan “revolusi putih” (Istilah Daniel Dhakidae) yaitu melakukan kegiatan pemangkasan sekaligus pemadatan makna dan substansi suatu berita. Berita-berita yang sebelumnya cenderug bombastis bernada heroik–karena pengaruh revolusi dipangkas habis menjadi jurnalisme sastra yang enak dibaca. Jurnalisme semacam ini setidaknya menjadi acuan atau model koran atau majalah yang redaksturnya pernah mempraktikkan model jurnalisme ini. Banyak orang fanatik membaca koran atau majalah  karena gaya jurnalistiknya, spesialisasinya, dan spesifikasinya. Ada koran yang secara khusus menjual rubrik opini, ada pula koran yang mengkhususkan diri dalam peliputan berita. Ada pula koran yang secara khusus mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika dicermati, sesungguhnya, tidak ada koran yang betul-betul berbeda, karena biasanya mereka berburu berita pada sumber yang sama. Jurnalis yang bagus, tentu akan menyiasati selera dan pasar pembacanya.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan, yaitu:
(1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan,
(2) visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual;
(3) logika cerita yang mereferensi pada kecocokan;
(4) akurasi data,
(5) kelengkapan data, setidaknya prisnip 5wh, dan
(6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatsan halaman.

M. Peran Media Massa Dalam Perkembangan Bahasa
Peranan media massa khususnya media tertulis perlu ditingkatkan. kesadaran dan taggung jawab para wartawan terhadap bahasa Indonesia dan berbahasa Indonesia harus ditingkatkan. Seperti diketahui, hasil karya seorang wartawan menjadi anutan pemakai bahasa sehingga dengan demikian, dakwaan Rosihan Anwar (1991) yang mengatakan. ”Sebenarnya wartawan tampil sebagai perusak bahasa” dapat dihindari.
Peran serta media massa tidak dapat disangkal bahwa media massa memberikan andil bagi perkembangan bahasa Indonesia. Kata dan istilah baru, baik bersumber dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, pada umumnya lebih awal dipakai oleh media massa. Media massa memang memiliki kelebihan. Disamping memiliki jumlah pembaca yang banyak, media memiliki pengaruh besar dikalangan masyarakat. Oleh karena itu, media massa merupakan salah satu mitra kerja yang penting dalam pelancaran dan penyebaran informasi tentang bahasa. Seiring dengan itu, pembinaan Bahasa Indonesia dikalangan media massa mutlak dipergunakan untuk menangkal informasi yang menggunakan kata dan istilah yang menyalahi kaidah kebahasaan. Kalangan media massa harus diyakinkan bahwa mereka juga pembinaan bahasa seperti kita.
Keberadaan media massa merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan sebaik-bainya. Terkait dengan itu, Harmoko (1988) ketika menjadi Menteri Penerangan, menyarankan bahwa pers sebaiknya memuat ulasan atau menyediakan ruang pembinaan Bahasa Indonesia sebagai upaya penyebaran pembakuan yang telah disepakati bersama. Disamping itu pers diharapkan mampu mensosialisasikan hasil-hasil pembinaan dan pangembangan bahasa. Dan mampu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dalam hal pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar. Harapan ini sangat munkin bisa direalisasika karena pers telah memiliki Pedoman Penulisan Bahasa dalam Pers. Melihat perkembangan pers saat ini banyak hal yang memprihatinkan, khususnya dalam etika berbahasa. Hampir setiap hari berbagai hujatan dan ejekan keras terus diarahkan kepada para pejabat dengan berbagai masalah yang menimpa mereka saat berkuasa. Dengan berpijak pada istilah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pers dengan leluasa memberikan opini dengan pernyataan-pernyataan yang bernada menghakimi oknum yang bersangkutan. Bahasa yang terkesan kasar ini jika terus menerus mewarnai pers, tentu akan berpengaruh negatif pada perkembangan, pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia, karena masyarakat luas akan dengan mudah menirukannya.
Peran media massa dalam hubungannya dengan perkembangan bahasa Indonesia dapat terlihat dalam penggalian dan penyebarluasan bahasa dari bahasa daerah. Sehingga penggalian bahasa daerah kedalam bahasa indonesia itu akan memperkaya kosa kata bahasa asing selama pengungkapan bahasa daerah tersebut belum terdapat dalam kosa kata Bahas Indonesia. Pengambilan kosa kata bahasa daerah tersebut aka memperkaya Bahasa Indonesia. Misalnya : Kata ngaben , kahanan, gambut, mandau, pura,dan galungan. Dengan kata lain media massa memiliki peran penting dalam pengayaan kosa kota Bahasa Indonesia. Sekaligus menyebarluaskan kemasyarakat Indonesia luar wilayah.
Media massa menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana untuk menyampaikan berita, informasi, iklan, opini dan artikel kemasyarakat pembaca. Secara tidak langsung, media massa merupakan media pendidikan bagi warga masyarakat dalam Berbahasa Indonesia . Misalnya : Kata ”anda” yang digunakan untuk memperkaya kata ganti orang kedua. Dalam pembinaan, media massa menjadi guru bagi masyarakat pembacanya terutama dalam pembiasaan diri menggunakan Bahasa Indonesia.
Media memainkan peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia khususnya dalam kegiatan berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Media massa menyajikan berita dalam Bahasa Indonesia secara tidak langsung mengharuskan masyarakat untuk belajar Bahasa Indonesia. Mengingat peranan yang sangat strategis tersebut media massa diharapkan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan tetap melihat pada standardisasi dalam penulisan di media massa. Informasi yang diperoleh melalui berbagai media massa memegang peranan sangat penting dalam membentuk sikap mental masyarakat agar dapat berperan secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan umumnya dan terhadap kesadaran untuk aktif menjaga kelestarian Bahasa Indonesia.
Perlu diketahui dan dipahami bahwa media massa bukan sekadar dunia informasi, melaihkan juga dunia bahasa. Ketika seseorang berniat menerjuni profesi jurnalis atau wartawan, maka sesungguhnya ia juga berniat menjadi seorang pejuang bahasa.
 Seorang jurnalis atau wartawan, setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat. Mereka juga dituntut berkreasi dalam mengolah kata agar tulisannya tidak membuat jenuh pembaca. Tak heran kalau kemudian sering dijumpai “kata-kata baru” di media cetak dan media elektronik.
Kata heboh, Anda, gengsi, dan santai, adalah sebagian kata yang disumbangkan media massa dalam perkembangan bahasa Indonesia. Kata heboh pertama kali diperkenalkan dalam kosakata bahasa Indonesia dalam harian Abadi pada tahun 1953, oleh wartawan Mohammad Sjaaf. Kata Anda diperkenalkan oleh Sabirin, seorang perwira TNI AU dan pertama kali dimuat pada harian Pedoman, tanggal 28 Februari 1957. Kata gengsi diperkenalkan oleh Rosihan Anwar pada tahun 1949.
Kata ulang pemuda-pemudi dan saudara-saudari juga merupakan hasil kreativitas para wartawan atau jurnalis. Kongres Bahasa pertama pada tahun 1938 di Solo, Jawa tengah, juga merupakan hasil gagasan dan perjuangan dua wartawan muda ketika itu, yakni Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo.
N. Menilik Sedikit Peranan Filsafat dalam Perkembangan Bahasa
Umur kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangan Bahasa Indonesia, media massa mempunyai beberapa peranan antara lain:
1. Memperkaya kosakata Bahasa Indonesia penggunaan kosakata daerah.
2. Sebagai media pendidikan bagi warga masyarakat dalam berbahasa Indonesia.
3. Sebagai media pembelajaran bagi warga masyarakat dalam berkomunkasi melalui Bahasa Indonesia.

Penulisan Bahasa Indonesia dalam media massa antara lain:
1.Membatasi penulisan akronim.
2.Jangan menghilangkan imbuhan kecuali dalam judul.
3.Menuliskan kalimat-kalimat dalam berita cecara terpadu.
4.Menggunakan kalimat efektif.
5.Memilih kata atau istilah secara tepat.

B. Saran
1.      Sebagai masyarakat pembaca kita harus mampu memilah mana perkembangan bahasa yang baik untuk kita gunakan dalam kehidupan kita demi kemajuan bahasa kita sendiri. Tidak lain dan tidak bukan caranya adalah dengan banyak belajar terutama membaca.
  1. Sebagai mahasiswa kita harus mampu menjadi contoh tauladan dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar bagi masyarakat sekitar terutama keluarga.
  2. Sebagai seorang jurnalis mari kita lebih mendalami profesi kita agar profesi tersebut tidak memberikan dampak negatif terhadap aspek-aspek yang bisa terpengaruh seperti bahasa.
  3. Mari kita sama-sama turut ambil peran dalam menciptakan penggunaan bahasa yang baik dan benar.



Daftar Pustaka
Muslich, Masnur dan Suparno.1988.Bahasa Indonesia : Pembinaan dan Pengembangannya, Malang.
Samsuri.1991. Analisis Kesalahan Berbahasa. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Anwar, H. Rosihan.2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi. Media Abadi.
Artikel Iqbal Nurul Azhar dan Ananda Surya Negara. Peranan Filsafat Dalam
Mengembangkan Linguistik.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Website: www.google.com
               www.wikipedia.com
               www.kamusbahasaindonesia.com
               dan situs jejaring sosial lainnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar