Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
terselesaikannya makalah ini yang berjudul Bahasa Jurnalistik Dan Media Massa Dalam
Perkembangan Bahasa. Karena tanpa restu dan urapan tanganNya sudah
barang tentu penulis tak mampu menyelesaikan makalah ini dengan kekuatan
sendiri.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak yang terkait dalam
penyelesaian makalah ini, terutama kepada Bapak Drs. Yusni Khairul Amri, M.HUM selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan tema dan bimbingan terkait pengerjaan
makalah ini. Begitu juga kepada pihak yang saya jadikan sumber acuan pembuat
makalah ini seperti para penulis yang buku beliau-beliau saya gunakan dan juga
kepada rekan-rekan dunia maya yang telah saya kunjungi blognya melalui situs
jejaring sosial www.google.com. Bila ada
kekurangan saya yang bersifat plagiat, saya sebagai penulis meminta maaf yang
sebesar-besarnya.
Dalam makalah ini saya bahas mengenai bahasa, bahasa yang baik dan benar,
bahasa jurnalistik dan seluk-beluknya, dan peranan media massa dalam perkembangan bahasa. Yang dapat
berdaya guna untuk kepentingan berbahasa.
Saya sebagai penulis mengetahui betul masih banyak sekali kesalahan yang
terdapat dalam tulisan makalah ini karena saya masih seorang pelajar dan pemula
dalam tulis-menulis yang masih jauh dari baik dan banyak kekurangan. Penulis meminta
maaf dan mengharapkan betul kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
yang membaca guna kemajuan dan kebaikan makalah ini ke depannya. Terutama dari
dosen pembimbing saya Bapak Drs. Yusni Khairul Amri, M.HUM.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah guna menyelesaikan tugas
semester 1 STKIP TAPANULI SELATAN mata kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia yang
dibebankan oleh dosen mata kuliah tersebut di atas Bapak Drs. Yusni Khairul
Amri, M.HUM. Selain itu juga untuk memberikan pelajaran dan pengalaman baru
bagi saya dalam membuat tulisan. Tulisan ini dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan
demi pemahaman mengenai bahasa jurnalistik dan media massa dalam perkembangan bahasa.
Pinangsori, Januari 2012
Penulis,
Jason Walker
Panggabean
NPM. 11070124
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Informasi yang
diperoleh melalui berbagai media massa memegang peranan penting dalam membentuk
sikap mental masyarakat agar dapat berperan secara aktif dalam pelaksanaan
pembangunan. Peran media massa tidak dapat disangkal telah memberikan andil
bagi perkembangan bahasa Indonesia. Media massa merupakan salah satu mitra
kerja yang penting dalam pelancaran dan penyebaran informasi tentang bahasa
karena media massa akan berpengaruh pada perkembangan bahasa Indonesia.
Masyarakat yang
membaca media massa akan memperoleh wawasan mengenai banyak hal, salah satunya
adalah wawasan mengenai bahasa karena tidak ada media massa yang tidak menggunakan
bahasa baik lisan maupun tulisan. Dalam media massa informasi atau berita yang
dimuat berasal dari berbagai sumber terutama dari para jurnalis yang
berkecimpung di dunia pemberitaan dan bekerja dengan menggunakan bahasa.
Oleh karena itu,
maka dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana pengaruh media massa dalam
perkembangan bahasa terutama bahasa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
- Apakah bahasa itu?
- Apakah bahasa jurnalistik itu?
- Apakah media massa dan peranannya dalam perkembangan bahasa?
C. Manfaat dan Tujuan
- Memberikan pemaparan mengenai bahasa sehingga masyarakat pembaca akan mengetahui apa itu bahasa dan bagaimana bahasa yang baik dan benar.
- Memberikan pemaparan mengenai bahasa jurnalistik dan seluk-beluknya sehingga masyarakat pembaca dapat memahami dan menyaring bahasa jurnalistik yang bagaimana yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam dunia pendidikan.
- Memberikan pemaparan mengenai peran atau sumbangsih media massa bagi perkembangan bahasa sehingga masyarakat pembaca mengetahui peran tersebut agar dapat menghargai pihak-pihak yang terkait dalam mengindahkan perkembangan bahasa tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang
dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi di dalam kehidupannya.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi
bahasa menurut para ahli:
1. Bill Adams
Bahasa adalah sebuah sistem pengembangan
psikologi individu dalam sebuah konteks inter-subjektif.
2. Wittgenstein
Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat
dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang
logis.
3. Ferdinand De Saussure
Bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol
karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan
yang berbeda dari kelompok yang lain.
4. Plato
Bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran
seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata
(ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus ujaran lewat mulut.
5. Bloch & Trager
Bahasa adalah sebuah sistem simbol yang
bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama.
6. Carrol
Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural
mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan,
atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok
manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda,
peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.
7. Sudaryono
Bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif
walaupun tidak sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana
komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman.
8. Saussure
Bahasa adalah objek dari semiologi.
9. Mc. Carthy
Bahasa adalah praktik yang paling tepat untuk mengembangkan
kemampuan berpikir.
10. William A. Haviland
Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang jika
digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh
semua orang yang berbicara dalam bahasa itu.
B. Bahasa
Indonesia yang Baik dan Benar
Sebelum sampai pada pembahasan bahasa Indonesia
yang benar dan baik, terlebih dahulu kita perlu tahu bagaimana standar resmi
pembakuan Bahasa Indonesia. Jika bahasa sudah memiliki baku atau standar yang sudah disepakati dan
diresmikan oleh negara atau pemerintah, barulah dapat dibedakan antara
pemakaian bahasa yang benar dan tidak.
Seperti yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Depdiknas) tahun 1988, pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan
atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul.
Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi
antar sesama manusia tentunya bertujuan agar dapat dimengerti oleh manusia
lainnya. Meskipun berbicara dalam satu bahasa yang sama, dalam hal ini Bahasa
Indonesia, namun ragam bahasa yang dipakai tidaklah sama. Masing-masing
kelompok menggunakan ragam yang berbeda.
“Orang yang mahir menggunakan bahasanya
sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap
berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut
golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang
baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu
perlu beragam baku”
(Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988).
Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik
untuk mencapai sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik
belum tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika kita
melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak
boleh naik meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa
baku, “Adik
tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”
Untuk itu sebaiknya kita tetap harus selalu
berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, yang berarti “pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan
sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan
bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang
sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988).
Setelah membaca
kutipan-kutipan di atas tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi,
dalam masalah bahasa Indonesia “yang baik dan benar” kita harus tetap berbahasa
sesuai keadaan, situasi, tempat, dengan siapa kita berbicara, dan untuk tujuan
apa kita berbahasa. Dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar kita
akan lebih mudah menyampaikan suatu maksud kita kepada orang lain dan orang lain
akan lebih mudah mengerti maksud dan tujuan kita dalam berbahasa.
C. Aspek Bahasa
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol
vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbiter, yang dapat diperkuat dengan
gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu. Simbol
adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang
dapat diserap panca indra.
Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi vokal yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia, dan arti atau makan yaitu hubungan antara rangkaian
bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya itu. Bunyi itu
merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita (= yang dicerap panca
indra kita), sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang
menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain.
Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau
manasuka. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa
suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Makna
sebuah kata tergantung dari konvensi (kesepakatan) masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing,
dog, hund, chien, atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat
bahasa itu masing-masing.
Dalam sejarah bahasa pernah diperdebatkan apakah ada hubungan yang wajar
antara kata dengan barangnya. Satu kelompok mengatakan ada; untuk itu
diusahakan bermacam-macam keterangan mengenai timbulnya kata-kata dalam bahasa.
Etimologi merupakan hasil dari kelompok ini. Namun etimologi yang mula-mula
timbul untuk mendukung pendapat itu terlalu dibuat-buat sehingga sulit
diterima. Usaha lain yang mempertahankan pendapat itu adalah apa yang dikenal
dengan onomatope (kata peniru bunyi). Namun hal ini pun sangat terbatas.
Terakhir dikemukakan bahwa tiap bunyi sebenarnya mengandung nilai-nilai
tertentu, misalnya vokal a, u, o, menyatakan sesuatu yang tinggi, kecil dan
tajam. Demikian pula konsonan-konsonan melambangkan bunyi-bunyi tertentu. Dalam
beberapa hal barangkali dapat ditunjuk contoh-contoh yang mungkin menyakinkan.
Tetapi terlalu banyak hal yang akan menentang contoh-contoh tadi. Dengan demikian
pendapat lain lebih dapat diterima antara kata dan barang tidak terdapat suatu
hubungan. Hubungan itu bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi masyarakat
bahasa yang bersangkutan.
D. Fungsi Bahasa
Secara
singkat fungsi bahasa dapat diuraikan seperti berikut ini:
a. Untuk
menyatakan ekspresi diri
Sebagai alat untuk
menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang
tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan
kita.
b. Alat
komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri.
Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau
dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi kita dapat menyampaikan semua yang
kita rasakan, pikirkan, dan kita ketahui kepada orang-orang lain. Dengan
komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh
nenek-moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sejaman dengan
kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita,
melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan
sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan
dan mengarahkan masa depan kita. Ia juga memungkinkan manusia menganalisa masa
lampaunya untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan masa yang
akan datang.
c. Alat untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Bahasa, di samping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula
manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil
bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan
orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara
efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan
tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang
dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan
menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang
setinggi-tingginya. Ia memungkinkan untuk memperoleh (pembauran) yang sempurna
bagi tiap individu dengan masyarakatnya.
Melalui bahasa seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenal
segala adat istiadat, tingkah laku, dan tata karma masyarakatnya. Ia mencoba
menyesuaikan dirinya (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa. Seorang
pendatang baru dalam sebuah masyarakat pun harus melakukan hal yang sama. Bila
ingin hidup dengan tenteram dan harmonis dengan masyarakat ia harus
menyesuaikan dirinya dengan masyarakat itu; untuk itu ia memerlukan bahasa,
yaitu bahasa masyarakat tersebut. Bila ia dapat menyesuaikan dirinya maka ia
pun dengan mudah membaurkan dirinya (integrasi) dengan segala macam tata krama
masyarakat tersebut.
d. Alat untuk
mengadakan kontrol sosial
Yang dimaksud dengan
kontrol sosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk
orang-orang lain. Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt; yaitu tingkah
laku yang dapat diamati atau diobservasi), maupun yang bersifat tertutup
(covert; yaitu tingkah laku yang tak dapat diobservasi). Semua kegiatan sosial
akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa.
E. Perkembangan Bahasa dan Tujuannya
Setelah melihat fungsi-fungsi bahasa secara singkat seperti di atas,
terutama fungsi sebagai alat komunikasi dan kontrol sosial, maka makalah ini
berusaha memberikan dasar-dasar guna memperoleh kemahiran berbahasa, baik dalam
penggunaan bahasa secara lisan maupun secara tertulis, agar mereka yang
mendengar, melihat ataupun membaca hal-hal berbahasa, mereka akan lebih mudah
dapat memahami apa yang dimaksudkan terutama dalam media massa.
Perkembangan bahasa adalah perubahan bahasa dan penggunaannya dalam
masyarakat baik itu ke arah yang lebih baik atau pun ke arah yang kurang baik.
Perkembangan bahasa dapat memberikan pengaruh positif kepada masyarakat jika
perkembangan bahasa itu berkembang sesuai dengan konsep dasar sebelumya dalam
artian tidak menyimpang atau meninggalkan peraturan kebahasaan yang baik dan
benar sebelumnya. Begitu juga sebaliknya perkembangan bahasa akan berdampak
negatif jika menyimpang ataupun meninggalkan peraturan kabahasaan sebelumnya.
Oleh karena itu, tujuan perkembangan bahasa yang sesungguhnya diharapkan
adalah perkembangan bahasa yang tetap mencerminkan wibawa bahasa, tetap mengacu
pada bahasa yang baik dan benar, dan memberikan kontribusi yang positif untuk
masyarakat terutama dunia pendidikan.
F. Media Massa
Media massa
adalah alat yang digunakan dalam proses penyampaian informasi baik cetak maupun
elektronik, baik dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Contoh media massa bentuk cetak yaitu koran, majalah, surat kabar, buletin, selebaran, brosur, dll.
Contoh media massa
elektronik yaitu radio, televisi, dll.
Media massa
memuat informasi atau berita yang setiap orang berhak untuk mebacanya. Oleh
karena itu, dalam media massa
tak terpungkiri adanya bahasa. Dari masa ke masa bahasa selalu mengalami
perubahan atau dengan kata lain mengalami perkembangan. Perkembangan bahasa
turut didasari oleh media massa
dan hal-hal yang terkait di dalamnya, seperti jurnalis (wartawan), jurnalisme,
jurnalistik, dll yang akan dibahas berikutnya.
G. Bahasa
Indonesia dalam Media Massa
Media massa merupakan sarana
penyampaian informasi kepada masyarakat. Dalam penyampaian informasi dalam media
massa, hendaknya para wartawan atau penulis berusaha agar bahasa yang digunakan
bisa menarik perhatian pembaca, sehingga mereka bisa memahami maksud informasi
yang ada di media massa tersebut. Wartawan dalam media massa harus menghindari
adanya penulisan kata atau istilah yang sering rancu (salah kaprah). Hendaknya
penulisan istilah atau kata tersebut berdasarkan standardisasi Bahasa Indonesia
yang baik dan benar, menurut pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Bahasa yang digunakan media massa cetak terutama surat kabar sangat
berpengaruh terhadap masyarakat pembaca. Beberapa kekeliruan pemakaian bahasa
yang di dalam masyarakat seperti penggunaan kata di mana yang tidak pada
tempatnya. Setelah media massa cetak berusaha tidak memakainya, pengguna di dalam
masyarakat berangsur-angsur mereda. Demikian pula halnya dengan tata kalimat.
Cukup banyak media massa cetak yang telah berupaya untuk bercermat dalam
menyusun kalimat yang baik, benar, dan menarik. Itu semua merupakan usaha
penerbit untuk menyuguhkan bacaan yang komunikatif kepada para pembaca. Hal
seperti itu merupakan sumbangan penerbit media massa dalam melakukan pembinaan
bahasa. Walaupun demikian, kita tida boleh menutup mata bahwa masih banyak
penerbit media massa cetak yang belum tertarik terhadap masalah tersebut. Bahasa
Indonesia yang digunakan dalam dunia jurnalistik lebih mendekati bahasa
sehari-hari, sedangkan bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan buku
sangat dijaga agar sesuai benar dengan kaidah dan keresmian bahasa baku.
Menurut Sudaryanto (1995) bahasa jurnalistik atau
biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif
bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam
bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer
(sastra). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri
yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Menurut Anwar (1991) bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan
oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa. Bahasa jurnalistik
juga merupakan bahasa komunikasi massa
sebagaimana tampak dalam koran (harian) dan majalah (mingguan). Dengan
demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa
dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Bukan karya-karya
opini (artikel dan esai). Oleh karena itu jika ada wartawan yang juga ingin
menulis cerpen, esai, kritik, dan opini, maka karya-karya tersebut tidak dapat
digolongkan sebagai karya jurnalistik, karena karya-karya itu memiliki varian
tersendiri.
Di dalam bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang
berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa
jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih
cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan
features. Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki
kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian
(McGoldrick dan Lynch, 2000).
Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama ada yang
menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang
digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang
dapat mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan
masalah, angle tulisan,pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan).
Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang
dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia
baku dalam hal
pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Namun demikian,
karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa
jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar,
jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik
mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa
jurnalistik mengingat surat
kabar dibaca oleh semua lapisn masyarakat yang tidak sama tingkat
pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran
intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup
waktu untuk membaca surat
kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk
menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan
mengutamakan daya komunikasinya. Namun, dengan perkembangan jumlah pers yang
begitu pesat pasca pemerintahan Soeharto sudah ada 800 pelaku pers baru bahasa
pers juga menyesuaikan pasar. Artinya, pers sudah menjual wacana
tertentu, pada golongan tertentu, dengan isu-isu yang khas.
I. Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahasa jurnalistik merupakan
bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam
harian-harian surat
kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik itu
harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut
JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sIfat-sifat khas yaitu singkat,
padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus
dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat
yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa ciri yang
harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya:
- Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
- Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
- Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
- Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
- Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
- Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/penegertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul berita: Tim Ferari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya
diperlukan latihan berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan
yang tidak pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan,
barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam
bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera pembacanya.
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua
jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972) sebagai fungsi
ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang
menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi
bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya.
Persoalan ini oleh Leech (1993) disebut retorika tekstual yaitu kekhasan
pemakai bahasa sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain
prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik. Terdapat empat prinsip
retorika tekstual yang dikemukkan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip
kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
- Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain. Penyususunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apapun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting
- Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
- Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang,wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintakstik yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacna jurnalistik
- Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-spek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
J. Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Bagi para penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa
adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa
memengaruhi pikiran, suasana hati, dan gejolak perasaan pembaca, pendengar,
atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan baik dan benar.
Itulah
sebabnya, para penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas
kosa kata, pilihan kata, kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik.
Bahasa jurnalistik harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti tampil menarik, variatif, segar, berkarakter. Selain itu, ia juga harus senantiasa tampil ringkas dan lugas, logis, dinamis, demokratis, dan populis.
Bahasa jurnalistik harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti tampil menarik, variatif, segar, berkarakter. Selain itu, ia juga harus senantiasa tampil ringkas dan lugas, logis, dinamis, demokratis, dan populis.
Dalam bahasa jurnalistik, setiap kata harus bermakna,
bahkan harus bertenaga, dan bercita rasa. Kata bertenaga dengan cepat dapat
membangkitkan daya motivasi, persuasi, fantasi, dan daya imajinasi pada benak
khalayak.
Pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua
persoalan pokok. Pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah
gagasan, hal, atau barang yang akan diamanatkan. Ketepatan pilihan kata
mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang
tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau
dirasakan oleh penulis atau pembicara.Ketepatan memilih kata dapat dicapai
apabila kita sebagai penulis atau jurnalis menguasai dengan baik masalah
etimologi, semantik, tata bahasa, ejaan, frasa, klausa, istilah, ungkapan,
idiom, jargon, singkatan, akronim, peribahasa, kamus, dan ensiklopedia. Kedua,
kesesuaian atau kecocokan dalam menggunakan kata tadi. Hal ini lebih banyak
dipengaruhi faktor teknis tata bahasa, faktor psikologis narasumber dan
jurnalis, konteks situasi dan maksud pesan yang disampaikan, serta aspek-aspek
etis, etnis, dan sosiologis khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa.
Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran,
ideologi, dan media massa cetak di Indonesia.
Anderson (1966, 1984) meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta
Jawa dalam perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa
Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang feodalis. Naina (1982)
tentang perilaku pers Indonesia
terhadap kebijakan pemerintah seperti yang termanifestssikan dalam Tajuk
Rencana. Hooker (1990) meneliti model wacana zaman orde lama dan orde baru.
Penelitian terbaru Eryanto (2001) tentang analisis teks di media massa. Dari puluhan
penelitian yang berkait dengan pers, tenyata belum terdapat penelitian yang
secara khusus memformulasikan karakteristik (ideal) bahasa jurnalistik
berdasarkan induksi karakteristik bahasa pers yang termanifestasikan
dalam kata, kalimat, dan wacana.
Di awal tahun 1980-an terbesit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku.
Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang
dan Yogyakarta pada aspek gramatikal
(tatabahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dn ortografis (ejaan). Berdasarkan
aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada
aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis
berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi
kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan
bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan
kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian
bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum baik. Sedangkan faktor
di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam
menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama kerja,
banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa dalam
surat kabar.
Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik praktis
karya Rosihan Anwar (1991), Asegaf (1982), Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar,
dll, masih perlu dimunculkan petunjuk akademik maupun teknis pemakaian bahasa
jurnalistik. Dengan mengetahui karakteristik bahasa pers Indonesia termasuk sejauh mana
mengetahui penyimpangan yang terjadi, kesalahan dan kelemahannya, maka akan
dapat diformat bahasa jurnalistik yang komunikatif.
Menurut Widminarko ada
beberapa pedoman penggunaan bahasa ragam jurnalistik yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam merumuskan standardisasi Bahasa Indonesia di media massa,
yaitu:
- Batasi penulisan akronim, kecuali yang sudah populer dimasyarakat. Akronim yang belum populer harus dijelaskan kepanjangannya dalam tanda kurung pada kesempatan pertama.
- Jangan menghilangkan imbuhan kecuali dalam judul. Memenggal awalan dapat dilakukan dalam penulisan judul, jika karena keterbatasan ruangan (kolom) atau judul lebih atraktif (lebih hidup), sebagai contohnya boleh ditulis ”Spanyol Tundukkan Jerman 2-1 ” namun dalam berita atau artikel ditulis menundukkan.
- Tulis kalimat-kalimat dalam berita secara pendek-pendek, namun jelas mana unsur S,P,O,K. Jadikan pedoman atau gagasan dalam satu kalimat.
- Jauhkan dari penulisan ungkapan klise yang sering digunakan dalam transisi berita atau dalam penggantian alinea. Contoh : Sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui.
- Hindari penulisan kata mubadzir atau pleonatis.
- Hindari kata asing dari istilah yang terlalu teknis-ilmiah dalam kalimat berita, kalau terpaksa kata itu harus disertai penjelas.
- Pemilihan dan penggunaan kata atau istilah harus disesuaikan dengan logika.
Contoh: -Kapan digunakan kata
atau istilah demikian ujarnya atau ungkapnya.
-Kapan digunakan kata-kata demikian kilahnya.
- Penulisan kata-kata dalam kalimat langsung dapat disesuaikan dengan kata-kata lisan yang diucapkan narasumber. Namun, jika dalam kata-kata narasumber itu ada yang salah dari kaidah bahasa yang benar, penyunting berhak memperbaikinya.
K. Kesalahan Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik atau bahasa pers, memang merupakan salah satu ragam
bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik
(ilmiah), ragam bahasa bisnis, ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer
(sastra).
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan dalam
menulis karya-karyanya di media massa.
Tulisan itu pun memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenisnya.
Bahasa yang digunakan untuk menuliskan laporan investigasi tentu lebih
cermat bila dibandingkan dengan yang digunakan dalam penulisan features. Ada pula gaya
yang yang khas pada penulisan jurnalisme perdamaian. Yang digunakan untuk menulis
berita utama (ada yang menyebut laporan utama, forum utama) juga akan berbeda
dengan bahasa untuk menulis tajuk dan features.
Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu), bahasa
jurnalistik memiliki sifat yang khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar,
jelas, lugas, dan menarik. Kosa kata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik
mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Surat kabar dibaca oleh semua lapisan
masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Maka bahasa jurnalistik
harus dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Juga tidak setiap orang
memiliki cukup waktu untuk membaca surat
kabar, maka bahasa jurnalistik mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua
informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan daya komunikasinya.
Muncul keluhan bahwa bahasa Indonesia
di media massa menyimpang dari kaidah baku. Banyak ditemukan
kemubaziran bahasa wartawan pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal
(pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan
tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan
terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga
memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada
berita kriminal.
Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena
minimnya penguasaan kosa kata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang
bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan
pendidikan yang belum baik. Faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan
melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan
waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak
tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.
Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahasa
jurnalistik sebagai perusak terbesar bahasa Indonesia. Mereka menganggap bahasa
jurnalistik sebagai bahasa lain yang tidak pantas dilirik. Anggapan itu ada
benarnya, karena wartawan memang kadang-kadang menggunakan bahasa atau
kata-kata pasaran yang melenceng dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Media
massa jugalah yang “memasarkan” kata-kata yang agak –maaf- kasar atau jorok
kepada masyarakat, sehingga masyarakat yang dulu terbiasa dengan bahasa yang
agak halus dan sopan (eufemisme), kini menjadi akrab dengan kata-kata kasar dan
blak-blakan, seperti sikat, bakar, bunuh, darah, bantai, rusuh, rusak,
provokatif, perkosa, penjara, pecat, jarah, serta obok-obok dan esek-esek.
Selain itu, media massa
juga kerap mengutip kata-kata yang salah, seperti bentuk kembar
sekedar-sekadar, cidera-cedera, film-filem, teve-tivi-TV. Ada media yang memakai risiko, ada yang
resiko. Ada
yang memakai sekedar, ada yang sekadar. Ada pula
media massa
yang dengan tanpa dosa menuliskan kata ganti kita, padahal yang seharusnya
adalah kata kami.
Penghilangan imbuhan dalam judul berita juga kerap salah,
misalnya Amerika Bom Irak, padahal semestinya Amerika Mengebom Irak, atau
Tentara Israel Tembak Anak Palestina, yang seharusnya Tentara Israel Menembak
Anak Palestina.
Bagi para penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa adalah
senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi
pikiran, suasana hati, dan gejolak perasaan pembaca, pendengar, atau
pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan baik dan benar. Itulah
sebabnya, para penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas
kosakata, pilihan kata, kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik. Seorang
jurnalis tidak boleh menggunakan senjata untuk membunuh orang, tetapi harus
menggunakan senjata itu untuk mencerdaskan dan memuliakan masyarakat, serta
membela dan menjunjung tinggi kehormatan negara dan bangsa (Dad Murniah, Harian
Sinar Harapan, 2007)
Mari kita lihat kesalahan-kesalahan atau penyimpangan bahasa jurnalistik tersebut dibandingkan
dengan kaidah bahasa Indonesia
baku:
- Peyimpangan morfologis.
Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul
berita surat kabar yang memakai kalimat aktif,
yaitu pemakaian kata kerja tidak baku
dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefik atau awalan
dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati
Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
- Kesalahan sintaksis.
Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur
kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini
disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak
Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil
Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering
dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
- Kesalahan kosakata.
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan
(eufemisme) atau meminimalisir dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan
Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata
Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konfliks Dayak- Madura, jelas bahwa
yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua
etnis ecara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang
diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, suibversif, aktor
intelektual, esktrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustasi, golongan anti
pembangunan, dll. Bahkan di era kebebsan pers seperti sekarang ini, kecenderungan
pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
- Kesalahan ejaan.
Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo
yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan.
Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis
Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis
singkron, dll.
- Kesalahan pemenggalan.
Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom
kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa
Indonesia masih menggunakan program komputer berbagasa Inggris. Hal ini sudah
bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
L. Upaya Mengatasi Penyimpangan Bahasa
Jurnalistik
Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah
melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan
kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin
dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf
yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Pragraf
yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan
dalam isinya. Paragraf menjadi rusak karena penyisipan-penyisipan yang
tidak bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke
dalamnya.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan
(a) memperhatikan kata ganti; (2) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat
sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka
penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam
kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus.
Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang
berbeda menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang
panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek,
predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan
kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai
jurnalis yang pernah bersentuan dengan majalah Tempo.
Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya
kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan
antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang
sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa
mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih
kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan
makanan, semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki
selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan
jurnalistik yang enak dibaca dan perlu (Slogan Tempo).
Goenawan Mohamad paa 1974 telah melakukan “revolusi putih” (Istilah
Daniel Dhakidae) yaitu melakukan kegiatan pemangkasan sekaligus pemadatan makna
dan substansi suatu berita. Berita-berita yang sebelumnya cenderug bombastis
bernada heroik–karena pengaruh revolusi dipangkas habis menjadi jurnalisme
sastra yang enak dibaca. Jurnalisme semacam ini setidaknya menjadi acuan atau
model koran atau majalah yang redaksturnya pernah mempraktikkan model
jurnalisme ini. Banyak orang fanatik membaca koran atau majalah karena gaya jurnalistiknya,
spesialisasinya, dan spesifikasinya. Ada
koran yang secara khusus menjual rubrik opini, ada pula koran yang
mengkhususkan diri dalam peliputan berita. Ada pula koran yang secara khusus
mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika dicermati, sesungguhnya, tidak ada
koran yang betul-betul berbeda, karena biasanya mereka berburu berita pada
sumber yang sama. Jurnalis yang bagus, tentu akan menyiasati selera dan pasar
pembacanya.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat
beberapa prinsip yang dilakukan, yaitu:
(1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data
tulisan,
(2) visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas
data-data aktual;
(3) logika cerita yang mereferensi pada kecocokan;
(4) akurasi data,
(5) kelengkapan data, setidaknya prisnip 5wh, dan
(6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatsan
halaman.
M. Peran Media Massa Dalam Perkembangan Bahasa
Peranan media massa khususnya
media tertulis perlu ditingkatkan. kesadaran dan taggung jawab para wartawan
terhadap bahasa Indonesia dan berbahasa Indonesia harus ditingkatkan. Seperti
diketahui, hasil karya seorang wartawan menjadi anutan pemakai bahasa sehingga
dengan demikian, dakwaan Rosihan Anwar (1991) yang mengatakan. ”Sebenarnya
wartawan tampil sebagai perusak bahasa” dapat dihindari.
Peran serta media massa tidak
dapat disangkal bahwa media massa memberikan andil bagi perkembangan bahasa
Indonesia. Kata dan istilah baru, baik bersumber dari bahasa daerah maupun dari
bahasa asing, pada umumnya lebih awal dipakai oleh media massa. Media massa
memang memiliki kelebihan. Disamping memiliki jumlah pembaca yang banyak, media
memiliki pengaruh besar dikalangan masyarakat. Oleh karena itu, media massa
merupakan salah satu mitra kerja yang penting dalam pelancaran dan penyebaran
informasi tentang bahasa. Seiring dengan itu, pembinaan Bahasa Indonesia
dikalangan media massa mutlak dipergunakan untuk menangkal informasi yang
menggunakan kata dan istilah yang menyalahi kaidah kebahasaan. Kalangan media
massa harus diyakinkan bahwa mereka juga pembinaan bahasa seperti kita.
Keberadaan media massa merupakan
peluang yang perlu dimanfaatkan sebaik-bainya. Terkait dengan itu, Harmoko
(1988) ketika menjadi Menteri Penerangan, menyarankan bahwa pers sebaiknya
memuat ulasan atau menyediakan ruang pembinaan Bahasa Indonesia sebagai upaya
penyebaran pembakuan yang telah disepakati bersama. Disamping itu pers
diharapkan mampu mensosialisasikan hasil-hasil pembinaan dan pangembangan
bahasa. Dan mampu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dalam hal pemakaian
bahasa indonesia yang baik dan benar. Harapan ini sangat munkin bisa
direalisasika karena pers telah memiliki Pedoman Penulisan Bahasa dalam Pers.
Melihat perkembangan pers saat ini banyak hal yang memprihatinkan, khususnya
dalam etika berbahasa. Hampir setiap hari berbagai hujatan dan ejekan keras
terus diarahkan kepada para pejabat dengan berbagai masalah yang menimpa mereka
saat berkuasa. Dengan berpijak pada istilah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), pers dengan leluasa memberikan opini dengan pernyataan-pernyataan yang
bernada menghakimi oknum yang bersangkutan. Bahasa yang terkesan kasar ini jika
terus menerus mewarnai pers, tentu akan berpengaruh negatif pada perkembangan, pembinaan
dan pengembangan Bahasa Indonesia, karena masyarakat luas akan dengan mudah
menirukannya.
Peran media massa dalam
hubungannya dengan perkembangan bahasa Indonesia dapat terlihat dalam
penggalian dan penyebarluasan bahasa dari bahasa daerah. Sehingga penggalian
bahasa daerah kedalam bahasa indonesia itu akan memperkaya kosa kata bahasa
asing selama pengungkapan bahasa daerah tersebut belum terdapat dalam kosa kata
Bahas Indonesia. Pengambilan kosa kata bahasa daerah tersebut aka memperkaya
Bahasa Indonesia. Misalnya : Kata ngaben , kahanan, gambut, mandau, pura,dan
galungan. Dengan kata lain media massa memiliki peran penting dalam pengayaan
kosa kota Bahasa Indonesia. Sekaligus menyebarluaskan kemasyarakat Indonesia
luar wilayah.
Media massa menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai sarana untuk menyampaikan berita, informasi, iklan, opini dan
artikel kemasyarakat pembaca. Secara tidak langsung, media massa merupakan
media pendidikan bagi warga masyarakat dalam Berbahasa Indonesia . Misalnya :
Kata ”anda” yang digunakan untuk memperkaya kata ganti orang kedua. Dalam
pembinaan, media massa menjadi guru bagi masyarakat pembacanya terutama dalam
pembiasaan diri menggunakan Bahasa Indonesia.
Media memainkan peran dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia khususnya dalam kegiatan berkomunikasi
menggunakan Bahasa Indonesia. Media massa menyajikan berita dalam Bahasa
Indonesia secara tidak langsung mengharuskan masyarakat untuk belajar Bahasa
Indonesia. Mengingat peranan yang sangat strategis tersebut media massa
diharapkan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan tetap
melihat pada standardisasi dalam penulisan di media massa. Informasi yang
diperoleh melalui berbagai media massa memegang peranan sangat penting dalam
membentuk sikap mental masyarakat agar dapat berperan secara aktif dalam
pelaksanaan pembangunan umumnya dan terhadap kesadaran untuk aktif menjaga
kelestarian Bahasa Indonesia.
Perlu diketahui dan dipahami bahwa media massa bukan sekadar dunia informasi,
melaihkan juga dunia bahasa. Ketika seseorang berniat menerjuni profesi
jurnalis atau wartawan, maka sesungguhnya ia juga berniat menjadi seorang
pejuang bahasa.
Seorang jurnalis atau
wartawan, setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat. Mereka juga dituntut
berkreasi dalam mengolah kata agar tulisannya tidak membuat jenuh pembaca. Tak
heran kalau kemudian sering dijumpai “kata-kata baru” di media cetak dan media
elektronik.
Kata heboh, Anda, gengsi, dan santai, adalah sebagian kata
yang disumbangkan media massa dalam perkembangan
bahasa Indonesia.
Kata heboh pertama kali diperkenalkan dalam kosakata bahasa Indonesia dalam
harian Abadi pada tahun 1953, oleh wartawan Mohammad Sjaaf. Kata Anda
diperkenalkan oleh Sabirin, seorang perwira TNI AU dan pertama kali dimuat pada
harian Pedoman, tanggal 28 Februari 1957. Kata gengsi diperkenalkan oleh
Rosihan Anwar pada tahun 1949.
Kata ulang pemuda-pemudi dan saudara-saudari juga merupakan
hasil kreativitas para wartawan atau jurnalis. Kongres Bahasa pertama pada
tahun 1938 di Solo, Jawa tengah, juga merupakan hasil gagasan dan perjuangan
dua wartawan muda ketika itu, yakni Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo.
N. Menilik Sedikit Peranan Filsafat
dalam Perkembangan Bahasa
Umur kajian
tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman
modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara
signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan
definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan
lainnya. Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang
kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof
yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun
dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini
disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu
bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangan Bahasa
Indonesia, media massa mempunyai beberapa peranan antara lain:
1. Memperkaya kosakata Bahasa
Indonesia penggunaan kosakata daerah.
2. Sebagai media pendidikan
bagi warga masyarakat dalam berbahasa Indonesia.
3. Sebagai
media pembelajaran bagi warga masyarakat dalam berkomunkasi melalui Bahasa Indonesia.
Penulisan Bahasa Indonesia
dalam media massa antara lain:
1.Membatasi penulisan akronim.
2.Jangan menghilangkan imbuhan
kecuali dalam judul.
3.Menuliskan kalimat-kalimat
dalam berita cecara terpadu.
4.Menggunakan kalimat efektif.
5.Memilih kata atau istilah
secara tepat.
B. Saran
1. Sebagai masyarakat pembaca kita harus
mampu memilah mana perkembangan bahasa yang baik untuk kita gunakan dalam
kehidupan kita demi kemajuan bahasa kita sendiri. Tidak lain dan tidak bukan
caranya adalah dengan banyak belajar terutama membaca.
- Sebagai mahasiswa kita harus mampu menjadi contoh tauladan dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar bagi masyarakat sekitar terutama keluarga.
- Sebagai seorang jurnalis mari kita lebih mendalami profesi kita agar profesi tersebut tidak memberikan dampak negatif terhadap aspek-aspek yang bisa terpengaruh seperti bahasa.
- Mari kita sama-sama turut ambil peran dalam menciptakan penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Daftar Pustaka
Muslich, Masnur dan Suparno.1988.Bahasa
Indonesia : Pembinaan dan Pengembangannya, Malang.
Samsuri.1991. Analisis Kesalahan Berbahasa. Penerbit
Erlangga: Jakarta.
Anwar, H. Rosihan.2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia
dan Komposisi. Media Abadi.
Artikel Iqbal Nurul Azhar dan Ananda Surya
Negara. Peranan Filsafat Dalam
Mengembangkan Linguistik.
Mengembangkan Linguistik.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Website: www.google.com
dan
situs jejaring sosial lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar