Sabtu, 07 September 2013

Makalah Filsafat Idealisme

KATA PENGANTAR
         
            Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Filsafat Idealisme”.
            Makalah ini penulis buat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu, di samping sebagai salah satu keterlibatan penulis dalam pelajaran filsafat yaitu menyediakan bahan perkuliahan. Makalah ini berisi tentang pengertian filsafat idealisme, aliran dalam filsafat idealisme, tokoh-tokoh filsafat idealisme, dan filsafat idealisme dalam pendidikan yang bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan atau pengetahuan.
            Dalam penulisan makalah ini, penulis tentu saja tidaka dapat menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1)      Bapak Drs. Dunia Siagian, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami;
2)      Para penulis yang bukunya kami jadikan sebagai referensi dalam penulisan makalah ini;
3)      Para sahabat bloger yang telah kami kunjungi blognya sebagai rujukan; dan
4)      Terakhir kepada rekan kelompok yang turut bekerjasama demi terselesainya makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna Karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.
            Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

                                                                        Padang Sidimpuan,    November 2012
                                                                        Penulis,

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
            Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophos”, philo berarti cinta dan sophos berarti kebijaksanaan. Jadi, filsafat adalah cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup. Filsafat merupakan induk atau sumber dari segala ilmu karena filsafat mencakup segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
            Sesuai dengan pengertian di atas maka kita selaku masyarakat ilmiah harus berfilsafat. Berfilsafat tidak sama dengan berpikir. Orang yang berpikir belum tentu berfilsafat, tetapi orang yang berfilsafat sudah pasti berpikir. Berfilsafat merupakan kegiatan berpikir yang disertai dengan analisis menggunakan rasio dalam menemukan sebuah kebenaran sedangkan berpikir hanya merupakan kegiatan memikirkan hal-hal tertentu yang belum tentu berakhir dengan penemuan sebuah kebenaran.
            Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat perbedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat. Ajaran filsafat yang berbeda-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat. Aliran-aliran tersebut antara lain adalah aliran materialisme, yang mengajarkan bahwa hakikat realitas kesemestaan termasuk makhluk hidup dan manusia ialah materi. Aliran idealisme/ spritualisme, yang mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia. Dan aliran realisme yang menggambarkan bahwa ajaran materialis dan idealisme yang bertentangn itu, tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) semata-mata. Realitas adalah perpaduan benda materi dan jasmaniah dengan yang nonmateri (spiritual, jiwa, dan rohani).

            Perbedaan dari berbagai aliran tersebut jangan dijadikan sebagai objek pertikaian atas kesalahpahaman tetapi dapat kita jadikan sebagai pilihan dalam menyikapi berbagai permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan. Kebijaksanaan kitalah yang kembali mengambil tindakan dalam memanfaatkan aliran-aliran tersebut sesuai dengan fungsi dan tujannya masing-masing. Oleh karena perbedaan tersebutlah maka penulis membuat makalah ini yang membahas uraian mengenai salah satu aliran filsafat, yaitu filsafat idealisme.
1.2 Identifikasi Masalah
            Dari latar belakang di atas maka dapat dituliskan beberapa masalah yang diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:
a.       Apakah pengertian filsafat?
b.      Apakah pengertian filsafat materialisme?
c.       Apakah pengertian filsafat realisme?
d.      Apakah pengertian filsafat idealisme?
e.       Apakah pengertian filsafat eksistensialisme?
f.       Bagaimana hubungan antara aliran-aliran filsafat tersebut?
g.      Apa manfaat dari mempelajari filsafat?
h.      dan lain-lain.
1.3 Batasan Masalah
            Penulis membatasi pembahasan dalam makalah ini yaitu pada filsafat idealisme. Tujuan pembatasan ini adalah agar pembahasan tidak terlalu mengambang dan pembahasan materi lain yang bersangkutan tidak terlalu mendalam.
1.4 Rumusan Masalah
            Dari identifikasi dan batasan masalah di atas maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Apakah pengertian filsafat idealisme?
b.      Adakah pembagian aliran dalam filsafat idealisme?
c.       Siapa sajakah tokoh filsafat idealisme dan bagaimana pandangan mereka?
d.      Dan apakah filsafat idealisme dalam pendidikan?
1.5 Tujuan
            Tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas pada mata kuliah filsafat ilmu adalah memberikan kajian teori mengenai filsafat idealisme agar pembaca mendapatkan tambahan wawasan.
1.6 Manfaat
            Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Sebagai bahan perkuliahan pada mata kuliah filsafat ilmu;
b.      Sebagai bahan berupa materi yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai fisafat idealisme; dan
c.       Dapat digunakan sebagai referensi dalam penulisan makalah lain yang relevan.



















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat Idealisme
            Ide adalah rancangan yang tersusun dalam pikiran; gagasan; cita (Ali 2006:127). Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa mind (akal) dan nilai spiritual adalah hal yang fundamental yang ada di dunia ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari dunia itu sendiri. Idealisme memandang ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder. Ide itu timbul atau ada lebih dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada ini timbul sebagai hasil yang diciptakan oleh ide atau pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul lebih dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada. Ada juga yang mengatakan bahwa idealisme adalah pemahaman yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Idealisme merupakan kebalikan dari materialisme yang berpendapat bahwa materilah yang lebih utama dan lebih dulu ada dibandingkan dengan ide.
            Sebelum lebih jauh membahas mengenai idealisme dan materialisme, terlebih dahulu kita harus mengetahuai dan memahami bahwa idealisme dan materialisme dalam filsafat memiliki perbedaan makna dengan idealisme dan materialisme dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita merujuk seseorang sebagai "idealis", kita biasanya berpikir tentang seseorang yang memiliki ideal-ideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat. Seorang materialis, sebaliknya, dipandang sebagai seorang yang tidak punya prinsip, seorang pengeruk uang, seorang individualis yang hanya memikirkan diri sendiri, dengan nafsu serakah untuk makanan dan benda-benda duniawi lain - pendeknya, seorang yang sama sekali tidak menyenangkan dan mengutamakan materi di atas segalanya. Dalam filsafat, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa dunia ini hanyalah cerminan dari ide, pikiran, roh atau lebih tepatnya ide, yang hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda material kasar yang kita kenal melalui indera kita menurut aliran ini hanyalah salinan yang kurang sempurna dari ide yang sempurna itu.
            Aliran idealisme merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak zaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa. Realitas muncul dari apa yang ada dalam cara berfikir, yang berkaitan dengan isi dan struktur pikiran. Istilah ini berasal dari ide daripada yang ideal dan lebih terkait dengan metafisika dari etika, kontras dengan realisme dan juga dengan materialisme.
            Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurut Plato, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah ide. Ide sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan ide.
Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia ide, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, ide digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masing-masing dalam masyarakat secara keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia ide adalah pekerjaan rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif. Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang mati demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila kita menganalisa berbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran. Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos).
Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
            Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah sebagai berikut:
1)      Metafisika-idealisme.
Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan;
2)      Humanologi-idealisme.
Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih;
3)      Epistemologi-idealisme.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat;  dan
4)      Aksiologi-idealisme.
Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.
2.2 Jenis Aliran Idealisme
Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu idealisme subjektif dan idealism objektif.          
a.    Idealisme Subjektif
            Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/ fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal, jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda material; objek pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan pepohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
            Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita itu bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang materiil misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan perasaan/ konsepsi tertentu yaitu perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dan sebagainya. Dengan demikian Berkeley dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif, dan hanya mengakui adanya materi atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja.
            Kesimpulan yang dapat ditarik dari filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat egoistis “Aku-isme” yang hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya “Aku”, segala sesuatu yang ada diluar selain “Aku” itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi dari “Aku”. Untuk berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan “Aku-isme/solipisme” Berkeley menyatakan hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi.
            Filsafat Berkeley dan Hume ini adalah filsafat besar Inggris pada abad ke-18, yang merupakan kekuatan reaksioner menentang materialisme klasik Perancis, sebagai manifestasi dari kekuatiran atas revolusi di Inggris pada waktu itu
Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal dengan nama “Positivisme”, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857 M), menurutnya hanya “pengalaman”-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya , selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau “cash-value”(nilai kontan)-lah yang dapat diterima oleh akal si “Aku” tsb. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah filsafat yang mewakili kaum borjuasi besar di negeri yang katanya “the biggest of all”. Sebab dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”.
            Pandangan-pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini:
1)      “Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung pada orang yang menerimanya, ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan buruk bagi mereka yang menganggapnya buruk.”
2)      “kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk dipemerintahan tidak jujur, kalau mereka diganti dengan orang-orang yang jujur maka keadaan akan menjadi baik.”
3)      “aku bisa, kau harus bisa juga,” dsb.
b.   Idealisme Objektif
Idealisme objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.  
Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya.
         Filsuf idealis yang pertama kali dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian. Pertama, dunia persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang abadi. Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu di Eropa yaitu kelas pemilik budak. Dan ini jelas nampak dalam ajarannya tentang masyarakat “ideal”. Pada jaman feodal, filsafat idealisme obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal dengan nama Skolastisisme, system filsafat ini memadukan unsur idealisme Aristoteles (384-322 S.M), yaitu bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan hirarki dari seluruh system hirarki dunia semesta, begitupun yang hirarki yang berada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini maupun dalam alam semesta merupakan “penjelmaan” dari titah Tuhan atau perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai “wakil” Tuhan didunia ini. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena (833 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M), Duns Scotus (1270-1308 M), dan sebagainya.
            Kemudian pada jaman modern sekitar abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat idealisme obyektif yang baru, yaitu system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel (1770-1831 M). Menurut Hegel hakekat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut dan “obyektif” didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “Ide absolut” ini, dalam prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat, dan gejala fikiran. Filsafat Hegel ini mewakili kelas borjuis Jerman yang pada waktu itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan kelasnya menghendaki suatu perubahan social, menghendaki dihapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa sesuatu itu senantiasa berkembang dan berubah, tidak ada yang abadi atau mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi karena kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu membuat mereka tidak berani terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa ketika itu.
            Pikiran filsafat idealisme obyektif ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam bentuk. Perwujudan paling umum antara lain adalah formalisme dan doktriner-isme. Kaum doktriner dan formalis secara membuta mempercayai dalil-dalil atau teori sebagai kekuatan yang maha kuasa , sebagai obat manjur buat segala macam penyakit, sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan praktis mereka tidak bisa berfikir atau bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat yang kongkrit.
2.3 Tokoh-tokoh Aliran Idealisme
a.  J.G. Fichte (1762-1814 M)
           Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut Fichte, dasar kepribadian adalah kemauan; bukan kemauan irasional seperti pada Schopenhauer, melainkan kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan diperoleh hanya dengan melalui kepatuhan pada peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan usaha. Manusia dihadapkan kepada rintangan-rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa wajib bahwa ia berutang pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu memilih yang baik. Idealisme etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia aktual hanya dapat dipahami sebagai bahan dari tugas-tugas kita. Oleh karena itu, filsafat bagi Fichte adalah filsafat hidup yang terletak pada pemilihan antara moral idealisme dan moral materialisme. Substansi materialisme menurut Fichte ialah naluri, kenikmatan tak bertanggung jawab, bergantung pada keadaan, sedangkan idealisme ialah kehidupan yang bergantung pada diri sendiri.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak perbuatan sang Aku.
b. F.W.J. Shelling (1775-1854 M)
           Friedrich Wilhelm Joseph Schelling sudah mencapai kematangan sebagai filosof pada waktu ia masih amat muda. Pada tahun 1789, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang.
Seperti Fichte, Scelling mula-mula berusaha menggambarkan jalan dilalui intelek dalam proses mengetahui, semacam epistemology. Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral. Schelling membahas realitas lebih objektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolute Hegel. Dalam pandangan Schelling, realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasinya berupa suatu ekspresi kebenaran terakhir. Kita dapat mengetahui dunia secara sempurna dengan cara melacak proses logis perubahan sifat dan sejarah masa lalu. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna. Schelling menyebut proses ini identitas absolute, Hegel menyebutnya ideal.
           Idealisme Schelling agak lebih objektif, karena menurut dia bukan-aku (objek) ini sungguh-sungguh ada. Objek ini bukan hanya pertentangan belaka, melainkan mempunyai nilai yang positif. Bagi Schelling, yang menjadi dasar kesungguhan dan berpikir itu ialah aku. Dunia ini muncul daripada aku: dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak lain daripada produksi dan reproduksi dari ciptaan aku.
Kemudian diakuinya kesungguhan alam, malahan dinyatakan bahwa subjek yang berpikir (aku) itu muncul daripada alam. Tetapi ini jangan dianggap sama sekali bertentangan dengan pendapatnya semula, sebab aku yang muncul dari alam itu ialah aku yang telah sadar. Alam itu merupakan proses evolusi, yang mengeluarkan budi yang sadar serta lambat laun sadar akan dirinya (aku) dalam alam yang tak sadar.
Begitulah ia meningkat lagi dalam pandangannya terhadap alam: budi dan dunia sama derajatnya hanya berhadapan sebagai subjek dan objek. Sebetulnya samalah keduanya, bertemu pada asal semula ialah Tuhan, identitas yang mutlak, juga disebutnya indiferensi yang mutlak. Ia tidak cenderung ke sana, maupun ke sini. Dari situ muncullah alam dalam bentuknya yang makin tinggi derajatnya: bahan, gerak, hidup, susunan-dunia, manusia. Dalam pada itu budipun sadar akan dirinya menjelmakan ilmu,moral, seni, sejarah, dan Negara.
c.    G.W.F Hegel (1798-1857 M)
           Hegel  lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis, suatu filsafat yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).
Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena ia seorang idealis. Yang dimaksud olehnya bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subjek. Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi: “ Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan perasaan.
                 Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist (roh,spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkret, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah manusia.
                 Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini, mula-mula roh itu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya roh mutlak.
     Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan: antropologi, fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenallah roh itu akan dirinya dalam penjelmaan pada alam. Dalam fenomenologi, kenallah ia akan dirinya dalam perbedaannya dengan alam. Adapun pada psikologi, roh mengenal dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula teoritis, kemudian praktis dan akhirnya merdekalah roh itu.
                 Maka meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma pada bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak dan hukum kesusilaan dan kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada hukum-hukum umum. Di samping itu adalah kesusilaan yang merupakan kebatinan. Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan.
                 Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak itu ialah idea yang mengenal dirinya dengan sempurna itu merupakan sintesis dari roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan antara subjek dan objek antara berpikir dan ada. Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak juga, maka ia menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis), agama (antitesis) dan kemudian filsafat (sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan indera terhadap dunia, objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi mempunyai subjek di luar objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian dan gambaran agama itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari seni dan agama,merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu, yaitu tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides (tesis), Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).
                 Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Yang dimaksud oleh Hegel dengan dialektika adalah mendamaikan, mengompromikan hal-hal yang berlawanan. Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis menghilang. Dapat juga tidak menghilang, ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan seterusnya.
                 Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan, lalu antitesis adalah pengungkapan gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras. Berikut ini contoh tesis, antitesis, dan sintesis.
1.      Yang “ada” (being) merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not being) sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai sintesis.
2.      Dalam keluarga,suami-istri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis. Anak dapat merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3. Mengenai bentuk Negara. Tesis: Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan diatur dengan  baik, tetapi para   warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga. Antitesis: Negara anarki. Dalam Negara anarki para warganya mempunyai kebebasan    tanpa batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau. Sintesis: Negara konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan diktator dengan anarki menjadi demokrasi.
2.4 Filsafat Idealisme Dalam Pendidikan
            Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.
            Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan.
            Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual.
            Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
            Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
            Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
            Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dari uraian di atas kita dapat memetik kesimpulan sebagai berikut:
a.       Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa mind (akal) dan nilai spiritual adalah hal yang fundamental yang ada di dunia ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari dunia itu sendiri. Idealisme memandang ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder. Ide itu timbul atau ada lebih dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada ini timbul sebagai hasil yang diciptakan oleh ide atau pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul lebih dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada.
b.      Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu idealisme subjektif yaitu filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri dan idealisme objektif yaitu idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia.
c.       Tokoh-tokoh aliran idealism antara lain J.G. Fichte (1762-1814 M), F.W.J. Shelling (1775-1854 M), G.W.F Hegel (1798-1857 M), dan lain-lain.
d.      Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat pada idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
3.2 Saran
            Setelah kita memiliki pemahaman mengenai filsafat idealisme dan juga filsafat lain yang berkaitan dengan aktivitas berfilsafat atau aktivitas dalam menemukan kebenaran, maka kita harus bisa menggunakan atau memanfaatkan filsafat tersebut dalam kehidupan kita agar kita bisa menjadi individu yang berpengetahuan dan dapat menemukan suatu kebenaran sesuai kenyataan, bukan kebenaran dari mulut ke mulut yang masih diragukan kepastiannya. Perbedaan aliran-aliran filsafat tersebut jangan kita jadikan sebagai bahan pertikaian yang memicu perselisihan dan saling merendahkan yang akan menimbulkan perpecahan. Sebagai individu berpendidikan mari kita gunakan perbedaan sebagai jalan persatuan dan saling menghargai karena tanpa perbedaan hidup ini tidak berwarna.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Isep dan Zainal Arifin. 2002. Filsafat Umum. Bandung: Gema Media Pusakatama.
Abidin, Zainal. 2001. Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ali, Muhammad. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Website:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar