KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Filsafat Idealisme”.
Makalah ini penulis buat
guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu, di samping
sebagai salah satu keterlibatan penulis dalam pelajaran filsafat yaitu
menyediakan bahan perkuliahan. Makalah ini berisi tentang pengertian filsafat
idealisme, aliran dalam filsafat idealisme, tokoh-tokoh filsafat idealisme, dan
filsafat idealisme dalam pendidikan yang bermanfaat bagi para pembaca untuk
menambah wawasan atau pengetahuan.
Dalam penulisan makalah
ini, penulis tentu saja tidaka dapat menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan
dari pihak lain. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1) Bapak Drs. Dunia Siagian, M.Pd selaku
dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan arahan dan
bimbingan kepada kami;
2) Para penulis yang bukunya kami jadikan
sebagai referensi dalam penulisan makalah ini;
3) Para sahabat bloger yang telah kami
kunjungi blognya sebagai rujukan; dan
4) Terakhir kepada rekan kelompok yang turut
bekerjasama demi terselesainya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna Karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan mengharapkan kritik
serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.
Akhir kata penulis mengucapkan
selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya.
Padang
Sidimpuan, November 2012
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Filsafat
berasal dari bahasa Yunani “philosophos”, philo berarti cinta dan sophos
berarti kebijaksanaan. Jadi, filsafat adalah cinta kebijaksanaan atau
kebenaran. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta
kebijaksanaan. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup. Filsafat
merupakan induk atau sumber dari segala ilmu karena filsafat mencakup segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini.
Sesuai
dengan pengertian di atas maka kita selaku masyarakat ilmiah harus berfilsafat.
Berfilsafat tidak sama dengan berpikir. Orang yang berpikir belum tentu
berfilsafat, tetapi orang yang berfilsafat sudah pasti berpikir. Berfilsafat
merupakan kegiatan berpikir yang disertai dengan analisis menggunakan rasio
dalam menemukan sebuah kebenaran sedangkan berpikir hanya merupakan kegiatan
memikirkan hal-hal tertentu yang belum tentu berakhir dengan penemuan sebuah
kebenaran.
Ajaran
filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang
sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat perbedaan
di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan
yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat
disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para
ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu
tempat.
Ajaran filsafat
yang berbeda-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika
dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah
kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat. Aliran-aliran tersebut antara
lain adalah aliran materialisme, yang mengajarkan bahwa hakikat realitas
kesemestaan termasuk makhluk hidup dan manusia ialah materi. Aliran idealisme/ spritualisme,
yang mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan
pengertian manusia. Dan aliran realisme yang menggambarkan bahwa ajaran
materialis dan idealisme yang bertentangn itu, tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya,
realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) semata-mata.
Realitas adalah perpaduan benda materi dan jasmaniah dengan yang nonmateri
(spiritual, jiwa, dan rohani).
Perbedaan
dari berbagai aliran tersebut jangan dijadikan sebagai objek pertikaian atas
kesalahpahaman tetapi dapat kita jadikan sebagai pilihan dalam menyikapi
berbagai permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan. Kebijaksanaan kitalah
yang kembali mengambil tindakan dalam memanfaatkan aliran-aliran tersebut
sesuai dengan fungsi dan tujannya masing-masing. Oleh karena perbedaan
tersebutlah maka penulis membuat makalah ini yang membahas uraian mengenai
salah satu aliran filsafat, yaitu filsafat idealisme.
1.2
Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas maka
dapat dituliskan beberapa masalah yang diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:
a.
Apakah pengertian filsafat?
b.
Apakah pengertian filsafat materialisme?
c.
Apakah pengertian filsafat realisme?
d.
Apakah pengertian filsafat idealisme?
e.
Apakah pengertian filsafat eksistensialisme?
f.
Bagaimana hubungan antara aliran-aliran filsafat
tersebut?
g.
Apa manfaat dari mempelajari filsafat?
h.
dan lain-lain.
1.3 Batasan Masalah
Penulis membatasi pembahasan dalam makalah
ini yaitu pada filsafat idealisme. Tujuan pembatasan ini adalah agar pembahasan
tidak terlalu mengambang dan pembahasan materi lain yang bersangkutan tidak
terlalu mendalam.
1.4 Rumusan Masalah
Dari identifikasi dan
batasan masalah di atas maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Apakah pengertian filsafat idealisme?
b. Adakah pembagian aliran dalam filsafat
idealisme?
c. Siapa sajakah tokoh filsafat idealisme dan
bagaimana pandangan mereka?
d. Dan apakah filsafat idealisme dalam
pendidikan?
1.5 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini selain
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah filsafat ilmu adalah memberikan kajian
teori mengenai filsafat idealisme agar pembaca mendapatkan tambahan wawasan.
1.6 Manfaat
Manfaat dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Sebagai bahan perkuliahan pada mata kuliah
filsafat ilmu;
b. Sebagai bahan berupa materi yang
bermanfaat untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai fisafat idealisme; dan
c. Dapat digunakan sebagai referensi dalam
penulisan makalah lain yang relevan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat
Idealisme
Ide adalah
rancangan yang tersusun dalam pikiran; gagasan; cita (Ali 2006:127). Idealisme adalah aliran filsafat
yang memandang bahwa mind (akal) dan nilai spiritual adalah hal yang fundamental
yang ada di dunia ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari dunia itu sendiri.
Idealisme memandang ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder. Ide
itu timbul atau ada lebih dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada
ini timbul sebagai hasil yang diciptakan oleh ide atau pikiran, karena ide atau
pikiran itu timbul lebih dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada. Ada juga yang
mengatakan bahwa idealisme adalah pemahaman yang berpendapat bahwa
pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan
kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Idealisme merupakan
kebalikan dari materialisme yang berpendapat bahwa materilah yang lebih utama
dan lebih dulu ada dibandingkan dengan ide.
Sebelum
lebih jauh membahas mengenai idealisme dan materialisme, terlebih dahulu kita
harus mengetahuai dan memahami bahwa idealisme dan materialisme dalam filsafat memiliki
perbedaan makna dengan idealisme dan materialisme dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita merujuk seseorang
sebagai "idealis", kita biasanya berpikir tentang seseorang yang
memiliki ideal-ideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat. Seorang
materialis, sebaliknya, dipandang sebagai seorang yang tidak punya prinsip,
seorang pengeruk uang, seorang individualis yang hanya memikirkan diri sendiri,
dengan nafsu serakah untuk makanan dan benda-benda duniawi lain - pendeknya,
seorang yang sama sekali tidak menyenangkan dan mengutamakan materi di atas
segalanya. Dalam filsafat, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa dunia
ini hanyalah cerminan dari ide, pikiran, roh atau lebih tepatnya ide, yang
hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda material kasar yang kita
kenal melalui indera kita menurut aliran ini hanyalah salinan yang kurang
sempurna dari ide yang sempurna itu.
Aliran
idealisme merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah
pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran
yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam cita itu adalah yang
merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat
kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga
(entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari
benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham
idealisme hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya
pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Selain
itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme
yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat
yang mendalam. Puncak zaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika
periode Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa. Realitas muncul dari apa yang ada
dalam cara berfikir, yang berkaitan dengan isi dan struktur pikiran. Istilah
ini berasal dari ide daripada yang ideal dan lebih terkait dengan metafisika
dari etika, kontras dengan realisme dan juga dengan materialisme.
Aliran
idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurut
Plato, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa
terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap
oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan
yaitu dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah ide. Ide sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta
penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan ide.
Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud
lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam
dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia ide, sebab posisinya tidak
menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah hakikat murni dan asli.
Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa
dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, ide digambarkan dengan dunia yang
tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang
dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran
idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat
menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan
setiap kelas menurut kapasitas masing-masing dalam masyarakat secara
keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat
menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari
atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada
pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah
bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan
sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan
cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan
doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini
tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja
yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia ide adalah pekerjaan rohani
yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan
lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan
sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi
dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang
tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif. Aliran idealisme
kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua
macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku
makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang
hidup dan ada yang mati demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati,
yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang
utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan
dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea
merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari
semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan
lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak
dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling
akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan
yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit
pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini
adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi
dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya
dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut
sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan
secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa
gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat
yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi
individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang
akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila kita menganalisa
berbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk
mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan
terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasan hanya bisa dicapai dan
dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut
dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai
sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas
yang tertinggi adalah alam pikiran. Sehingga, rohani dan sukma merupakan
tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak
bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme
mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya
adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata
sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada
dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme
dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini
dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin
dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip
pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini
adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia
nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan
dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos).
Plato dalam mencari jalan melalui teori
aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata
seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum
tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar
membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato.
Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang
hakikat sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan
hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu
bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah
pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat
bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Konsep
filsafat menurut aliran idealisme adalah sebagai berikut:
1) Metafisika-idealisme.
Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah,
sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan
rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan;
2) Humanologi-idealisme.
Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan
memilih;
3) Epistemologi-idealisme.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali
melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang
yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai
pada tingkat berpendapat; dan
4) Aksiologi-idealisme.
Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan
dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.
2.2 Jenis Aliran Idealisme
Idealisme
mempunyai dua aliran, yaitu idealisme subjektif dan idealism objektif.
a. Idealisme
Subjektif
Idealisme
subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide
manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia.
Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil
atau karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam
dan masyarakat hanyalah sebuah ide/ fikiran dari dirinya sendiri atau ide
manusia. Seorang idealis subjektif akan
mengatakan bahwa akal, jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan
segala yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda material; objek pengalaman
adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan pepohonan itu
ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
Salah satu tokoh terkenal dari
aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753
M), menurut Berkeley segala sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita
itu bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang materiil
misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan
perasaan/ konsepsi tertentu yaitu perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat,
bau, bentuk dan sebagainya. Dengan demikian Berkeley dan Hume menyangkal adanya
materi yang ada secara obyektif, dan hanya mengakui adanya materi atau dunia
yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat egoistis “Aku-isme” yang
hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya “Aku”, segala
sesuatu yang ada diluar selain “Aku” itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi
dari “Aku”. Untuk berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan
“Aku-isme/solipisme” Berkeley menyatakan hanya Tuhan yang berada tanpa
tergantung pada sensasi.
Filsafat Berkeley dan Hume ini
adalah filsafat besar Inggris pada abad ke-18, yang merupakan kekuatan
reaksioner menentang materialisme klasik Perancis, sebagai manifestasi dari
kekuatiran atas revolusi di Inggris pada waktu itu
Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal dengan nama “Positivisme”, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857 M), menurutnya hanya “pengalaman”-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya , selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau “cash-value”(nilai kontan)-lah yang dapat diterima oleh akal si “Aku” tsb. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah filsafat yang mewakili kaum borjuasi besar di negeri yang katanya “the biggest of all”. Sebab dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”.
Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal dengan nama “Positivisme”, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857 M), menurutnya hanya “pengalaman”-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya , selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau “cash-value”(nilai kontan)-lah yang dapat diterima oleh akal si “Aku” tsb. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah filsafat yang mewakili kaum borjuasi besar di negeri yang katanya “the biggest of all”. Sebab dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”.
Pandangan-pandangan idealisme
subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tidak jarang
kita temui perkataan-perkataan seperti ini:
1)
“Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung
pada orang yang menerimanya, ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan
buruk bagi mereka yang menganggapnya buruk.”
2)
“kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk
dipemerintahan tidak jujur, kalau mereka diganti dengan orang-orang yang jujur
maka keadaan akan menjadi baik.”
3)
“aku bisa, kau harus bisa juga,” dsb.
b. Idealisme
Objektif
Idealisme objektif adalah
idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif
ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.
Menurut idealisme objektif segala
sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide
universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang
bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi
itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran
dan perasaannya.
Filsuf
idealis yang pertama kali dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua
bagian. Pertama, dunia persepsi,
dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang
sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam di atas alam benda,
yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang abadi. Pandangan dunia Plato ini mewakili
kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu di Eropa yaitu kelas pemilik
budak. Dan ini jelas nampak dalam ajarannya tentang masyarakat “ideal”. Pada
jaman feodal, filsafat idealisme obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal
dengan nama Skolastisisme, system filsafat ini memadukan unsur idealisme
Aristoteles (384-322 S.M), yaitu bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan
hirarki dari seluruh system hirarki dunia semesta, begitupun yang hirarki yang
berada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari dunia ke-Tuhanan. Segala
sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini maupun dalam alam semesta merupakan
“penjelmaan” dari titah Tuhan atau perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini
membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada waktu itu merupakan tuan
tanah besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai “wakil” Tuhan didunia ini.
Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena
(833 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M), Duns Scotus (1270-1308 M), dan sebagainya.
Kemudian pada jaman modern sekitar
abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat idealisme obyektif yang baru, yaitu
system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel (1770-1831 M). Menurut Hegel
hakekat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut dan
“obyektif” didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “Ide
absolut” ini, dalam prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam,
gejala masyarakat, dan gejala fikiran. Filsafat Hegel ini mewakili kelas
borjuis Jerman yang pada waktu itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan kelasnya
menghendaki suatu perubahan social, menghendaki dihapusnya hak-hak istimewa
kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang
beranggapan bahwa sesuatu itu senantiasa berkembang dan berubah, tidak ada yang
abadi atau mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi karena
kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu membuat mereka tidak berani
terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa
ketika itu.
Pikiran filsafat idealisme obyektif
ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam bentuk.
Perwujudan paling umum antara lain adalah formalisme dan doktriner-isme. Kaum
doktriner dan formalis secara membuta mempercayai dalil-dalil atau teori
sebagai kekuatan yang maha kuasa , sebagai obat manjur buat segala macam
penyakit, sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan
persoalan-persoalan praktis mereka tidak bisa berfikir atau bertindak secara
hidup berdasarkan situasi dan syarat yang kongkrit.
2.3 Tokoh-tokoh Aliran Idealisme
a. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan
Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun
1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini
sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh
kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori,
melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan diatur.
Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut Fichte, dasar kepribadian
adalah kemauan; bukan kemauan irasional seperti pada Schopenhauer, melainkan
kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan diperoleh hanya dengan
melalui kepatuhan pada peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan usaha.
Manusia dihadapkan kepada rintangan-rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa
wajib bahwa ia berutang pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu
memilih yang baik. Idealisme etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia
aktual hanya dapat dipahami sebagai bahan dari tugas-tugas kita. Oleh karena
itu, filsafat bagi Fichte adalah filsafat hidup yang terletak pada pemilihan
antara moral idealisme dan moral materialisme. Substansi materialisme menurut
Fichte ialah naluri, kenikmatan tak bertanggung jawab, bergantung pada keadaan,
sedangkan idealisme ialah kehidupan yang bergantung pada diri sendiri.
Menurut pendapatnya subjek
“menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”,
subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti
tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan
objek yang dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada
berasal dari tindak perbuatan sang Aku.
b. F.W.J. Shelling (1775-1854 M)
Friedrich
Wilhelm Joseph Schelling sudah mencapai kematangan sebagai filosof pada waktu
ia masih amat muda. Pada tahun 1789, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah
menjadi guru besar di Universitas Jena. Sampai akhir hidupnya pemikirannya
selalu berkembang.
Seperti Fichte, Scelling mula-mula
berusaha menggambarkan jalan dilalui intelek dalam proses mengetahui, semacam
epistemology. Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan
sebagai basis kebebasan moral. Schelling membahas realitas lebih objektif dan
menyiapkan jalan bagi idealisme absolute Hegel. Dalam pandangan Schelling,
realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasinya berupa suatu
ekspresi kebenaran terakhir. Kita dapat mengetahui dunia secara sempurna dengan
cara melacak proses logis perubahan sifat dan sejarah masa lalu. Tujuan proses
itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna. Schelling menyebut
proses ini identitas absolute, Hegel
menyebutnya ideal.
Idealisme
Schelling agak lebih objektif, karena menurut dia bukan-aku (objek) ini sungguh-sungguh ada. Objek ini bukan hanya
pertentangan belaka, melainkan mempunyai nilai yang positif. Bagi Schelling,
yang menjadi dasar kesungguhan dan berpikir itu ialah aku. Dunia ini muncul daripada aku:
dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak lain daripada produksi dan
reproduksi dari ciptaan aku.
Kemudian diakuinya kesungguhan
alam, malahan dinyatakan bahwa subjek yang berpikir (aku) itu muncul daripada alam. Tetapi ini jangan dianggap sama
sekali bertentangan dengan pendapatnya semula, sebab aku yang muncul dari alam itu ialah aku yang telah sadar. Alam itu merupakan proses evolusi, yang
mengeluarkan budi yang sadar serta lambat laun sadar akan dirinya (aku) dalam alam yang tak sadar.
Begitulah ia meningkat lagi dalam
pandangannya terhadap alam: budi dan dunia sama derajatnya hanya berhadapan
sebagai subjek dan objek. Sebetulnya samalah keduanya, bertemu pada asal semula
ialah Tuhan, identitas yang mutlak, juga disebutnya indiferensi yang mutlak. Ia
tidak cenderung ke sana, maupun ke sini. Dari situ muncullah alam dalam
bentuknya yang makin tinggi derajatnya: bahan, gerak, hidup, susunan-dunia,
manusia. Dalam pada itu budipun sadar akan dirinya menjelmakan ilmu,moral,
seni, sejarah, dan Negara.
c.
G.W.F
Hegel (1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17
Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel
dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun
ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen.
Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di
Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain
menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia
diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga
ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh karena itu, semua
pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan dari sistemnya,
proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir kefilsafatannya. Oleh
karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis, suatu filsafat yang
menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).
Hegel sangat mementingkan rasio,
tentu saja karena ia seorang idealis. Yang dimaksud olehnya bukan saja rasio
pada manusia perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa
realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subjek. Dalil Hegel yang
kemudian terkenal berbunyi: “ Semua yang real bersifat rasional dan semua yang
rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas.
Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang
memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan lain, realitas seluruhnya
adalah Roh yang lambat laun menjadi
sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap
kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan
perasaan.
Pusat
fisafat Hegel ialah konsep Geist (roh,spirit),
suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh
dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkret, kekuatan yang
objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek
khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan juga
esensi sejarah manusia.
Demi
alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini, mula-mula
roh itu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya roh
mutlak.
Sebagai
roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan:
antropologi, fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenallah roh itu
akan dirinya dalam penjelmaan pada alam. Dalam fenomenologi, kenallah ia akan
dirinya dalam perbedaannya dengan alam. Adapun pada psikologi, roh mengenal
dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula teoritis, kemudian praktis
dan akhirnya merdekalah roh itu.
Maka
meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma
pada bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak dan hukum kesusilaan dan
kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada
hukum-hukum umum. Di samping itu adalah kesusilaan yang merupakan kebatinan.
Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan.
Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh
mutlak itu ialah idea yang mengenal dirinya dengan sempurna itu merupakan
sintesis dari roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan antara
subjek dan objek antara berpikir dan ada.
Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak juga, maka ia menunjukkan
perkembangan juga: seni (tesis), agama (antitesis) dan kemudian filsafat
(sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan indera terhadap dunia,
objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi mempunyai subjek di luar
objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian dan gambaran agama itu
dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari seni dan
agama,merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya
dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu, yaitu
tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides (tesis),
Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel
menggunakan dialektika sebagai metode. Yang dimaksud oleh Hegel dengan
dialektika adalah mendamaikan, mengompromikan hal-hal yang berlawanan. Proses
dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi
antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis). Dalam
sintesis itu, tesis dan antitesis menghilang. Dapat juga tidak menghilang, ia
masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini
berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis
baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan seterusnya.
Tesis
adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan, lalu
antitesis adalah pengungkapan gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis
adalah paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan
kesatuan yang selaras.
Berikut ini contoh tesis, antitesis,
dan sintesis.
1. Yang “ada”
(being) merupakan tesis kemudian
berkontraksi dengan “tak ada” (not being)
sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai sintesis.
2. Dalam keluarga,suami-istri
adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis. Anak dapat
merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3. Mengenai bentuk Negara. Tesis: Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan diatur dengan baik, tetapi para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun
juga. Antitesis: Negara anarki. Dalam Negara anarki para warganya mempunyai
kebebasan tanpa batas, tetapi hidup
kemasyarakatan menjadi kacau. Sintesis:
Negara konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan diktator
dengan anarki menjadi demokrasi.
2.4 Filsafat Idealisme Dalam Pendidikan
Aliran
filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah
pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik
pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme yang
sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika
kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan
Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang
mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New
York.
Belakangan,
muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam
pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E.
Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang
logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunya yang
mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy
of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori
pendidikan.
Idealisme sangat concern tentang keberadaan
sekolah. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses
pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan
alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus
mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi
realitas spiritual.
Bagi
aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai
makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa
memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari
keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk
spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan
mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut
paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu
kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya
spiritual.
Pola
pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran
tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan
masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut
paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk
masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan
idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi
kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis
dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada
akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan
tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan
sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan
seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya,
namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan
kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan
tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual
dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang
berkaitan dengan Tuhan.
Guru
dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1)
guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang
spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai
teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik,
sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya;
(6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk
belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib
beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para
siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus
mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya;
(11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa
belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru
haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu
belajar, bagaimana pun keadaannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas kita
dapat memetik kesimpulan sebagai berikut:
a.
Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa
mind (akal) dan nilai spiritual adalah hal yang fundamental yang ada di dunia
ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari dunia itu sendiri. Idealisme memandang
ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder. Ide itu timbul atau ada
lebih dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada ini timbul sebagai
hasil yang diciptakan oleh ide atau pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul
lebih dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada.
b. Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu idealisme
subjektif yaitu filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide
manusia atau ide sendiri dan idealisme objektif yaitu idealisme yang bertitik
tolak pada ide di luar ide manusia.
c.
Tokoh-tokoh
aliran idealism antara lain J.G. Fichte (1762-1814 M), F.W.J. Shelling (1775-1854 M), G.W.F Hegel (1798-1857 M), dan lain-lain.
d.
Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme
berpusat pada idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau
materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme.
Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan
untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
3.2 Saran
Setelah kita memiliki
pemahaman mengenai filsafat idealisme dan juga filsafat lain yang berkaitan
dengan aktivitas berfilsafat atau aktivitas dalam menemukan kebenaran, maka
kita harus bisa menggunakan atau memanfaatkan filsafat tersebut dalam kehidupan
kita agar kita bisa menjadi individu yang berpengetahuan dan dapat menemukan
suatu kebenaran sesuai kenyataan, bukan kebenaran dari mulut ke mulut yang
masih diragukan kepastiannya. Perbedaan aliran-aliran filsafat tersebut jangan
kita jadikan sebagai bahan pertikaian yang memicu perselisihan dan saling
merendahkan yang akan menimbulkan perpecahan. Sebagai individu berpendidikan
mari kita gunakan perbedaan sebagai jalan persatuan dan saling menghargai
karena tanpa perbedaan hidup ini tidak berwarna.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Isep dan Zainal Arifin. 2002. Filsafat Umum. Bandung: Gema Media Pusakatama.
Abidin,
Zainal. 2001. Filsafat Manusia. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Ali,
Muhammad. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Mudyahardjo,
R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu
Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Website:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar