Sabtu, 07 September 2013

Makalah Hubungan Bahasa dan Pikiran

MAKALAH

HUBUNGAN BAHASA DAN PIKIRAN


Disusun Oleh:

KETUA                         : JASON WALKER PANGGABEAN
PENYAJI                     : 1. JURI FRIDA HOTMAULI L.TOBING
                                        2. NURLIANA SIMBOLON
                                        3. SETIA HUTAGALUNG
                                        4. ANI MARITO
PRODI                          : BAHASA INDONESIA IV A
MATA KULIAH           : PSIKOLINGUISTIK
DOSEN                         : SRI MAHARANI, M.Pd



 






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
“STKIP TAPANULI SELATAN”
PADANGSIDIMPUAN
2013

KATA PENGANTAR
           
            Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Hubungan Bahasa dan Pikiran”.
            Makalah ini penulis buat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Psikolingkuistik, di samping sebagai salah satu keterlibatan penulis dalam pelajaran psikolinguistk yaitu menyediakan bahan perkuliahan. Makalah ini berisi tentang pengertian psikolinguistik, hakikat bahasa, hakikat pikiran, dan hubungan bahasa dan pikiran yang bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan atau pengetahuan.
            Dalam penulisan makalah ini, penulis tentu saja tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1)      Ibu Sri Maharani, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikolingistik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami;
2)      Para penulis yang bukunya kami jadikan sebagai referensi dalam penulisan makalah ini; dan
3)      Terakhir kepada rekan kelompok yang turut bekerja sama demi terselesainya makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.
            Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

                                                                        Padang Sidimpuan,    Mei 2013
                                                                        Penulis,


                                                                        Kelompok IVA Bahasa Indonesia






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah............................................................................................... 3
1.3 Batasan Masalah..................................................................................................... 3
1.4 Rumusan Masalah................................................................................................... 3
1.5 Tujuan..................................................................................................................... 3
1.6 Manfaat.................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Psikolinguistik...................................................................................... 4
2.2 Hakikat Bahasa....................................................................................................... 4
2.3 Hakikat Pikiran....................................................................................................... 6
2.4 Hubungan Bahasa dan Pikiran............................................................................... 8
2.4.1 Teori Sapir-Whorf...................................................................................... 8
2.4.2 Teori Wilhelm Von Humboldt................................................................... 11
2.4.3 Teori Jean Piaget........................................................................................ 12
2.4.4 Teori L.S Vygotsky.................................................................................... 12
2.4.5 Teori Noam Chomsky................................................................................ 13
2.4.6 Teori Eric Lenneberg.................................................................................. 13
2.4.7 Teori Bruner............................................................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 15
3.2 Saran....................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ iii


 
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya. Manusia berkedudukan sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa dan batas dunia manusia adalah bahasa mereka. Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Manusia berbeda dengan binatang  ataupun tumbuh-tumbuhan. Jika manusia itu bertindak, ia tahu bahwa ia bertindak dan apabila ia berpikir maka iapun tahu bahwa dirinya itu berpikir. Karena itulah maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berpikir atau homo-sapiens atau juga animal-rationale. Manusia mempunyai kesadaran dan kesanggupan berpikir, sehingga berpikir dapat dianggap sebagai sifat manusia yang terpenting. Selanjutnya kalau berpikir itu dianggap sebagai sifat manusia yang terpenting, maka filsafat harus dianggap sebagai perbuatan yang paling radikal dalam menggunakan kesanggupan berpikir itu. Karena berfilsafat berarti berpikir secara radikal yaitu suatu usaha mencapai radix atau akar kenyataan yang sebenarnya.
Semuanya itu sangat penting apabila diperhatikan, diselidiki dan dianalisis dengan tujuan supaya dapat diketahui mekanismenya dan dapat dikuasai. Untuk berpikir dengan baik, semuanya itu ditonjolkan untuk dipandang, diselidiki dan dirumuskan bentuk-bentuk dan hukum-hukumnya sehingga dapat dikuasai dan dipakai secara sadar dan kritis.
 Dalam kehidupan praktis sehari-hari, kita melakukan komunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, dengan bahasa kita mampu mengkomunikasikan ide-ide kita. Apakah bahasa merupakan satu-satunya instrumen untuk berkomunikasi? Tidak terasa kita memang menganut paham tersebut, yang setuju bahwa “bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi”. Dan memang itu benar adanya. Gadamer pernah mengatakan bahwa “Ada (sein) yang dapat dipahami adalah bahasa”. Hanya sejauh “terbahasakan” sesuatu dapat ditangkap. Ini berarti Gadamer berpendapat bahwa manusia hanya dapat memahami realitas sepanjang realitas itu terbahasakan.  Dengan kata lain, yang disebut dengan realitas adalah hal-hal yang dapat dibahasakan. Sayangnya, sampai saat ini, sangat sulit kita temukan pemikiran-pemikiran yang secara khusus membahas korelasi antara bahasa dan pikiran. Tesis Gadamer di atas tentu saja terbatas pada bahasa dan realitas, sedangkan bahasa (yang merealisir realitas) itu merupakan realisasi ide-ide. Ide terletak dalam pikiran. Bahkan tidak ada garis pembeda yang tegas, yang ‘mengantarakan’ ide dan pikiran.
Kita bisa melihat jelas seseorang yang pikirannya kacau mengakibatkan bahasanya kacau juga. Kadang juga jika seseorang sedang memikirkan sesuatu yang berat, yang bersangkutan tidak berselera untuk bicara. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa merupakan cerminan dari pikiran, apa yang dibicarakan adalah apa yang dipikirkan. Bahasa terbentuk dari pikiran, atau bentuk bahasa (secara individual dan spontan) meniru atau mengikuti bentuk pikiran atau ide. Akan tetapi jika kita mau lebih jeli melihat, sesungguhnya bahasa itu hanyalah “wujud” dari ide atau pikiran saja. Sehingga analisa bahasa dengan melepaskannya dari analisa ide adalah kesesatan. Artinya, tidak mungkin ada bahasa tanpa ada ide, begitu pula sebaliknya.
Bukankah pula seseorang yang gugup tidak mampu bicara benar, yang artinya ada juga hubungan antara emosi dengan bahasa. Inilah yang penting untuk dibahas. Hubungan bahasa dengan sosial (Sosiolinguistik), hubungan bahasa dengan emosi (Psikolinguistik). Namun hubungan bahasa dan ide (Ideolinguistik) tidak semudah mengatakan sebagaimana yang dikatakan di atas, bahwa yang nyata adalah yang terbahasakan, bahasa merupakan cermin ide.
Ide berasal dari kata Yunani Eidos yang berarti tangkapan. Istilah ini sudah sangat populer di zaman Homeros, Empedokles, Demokritos, terutama di zaman Plato. Ide atau Eidos ini dapat berarti “yang terlihat”, “yang nampak” atau lebih komplitnya “yang terinderai”. Sehingga secara sederhana, ide dapat diartikan sebagai apa yang menjadi tangkapan indera manusia.
Oleh karena itulah maka penulis melakukan mini research mengenai hubungan bahasa dengan pikiran manusia yang bertujuan mengetahui keterkaitan antara keduanya dalam realitas kehidupan manusia dalam peristiwa komunikasi.




Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:
Hakikat bahasa;
Hakikat berpikir;
Kajian sosiolinguistik;
Kajian psikolinguistik; dan
Hubungan bahasa dan pikiran.

Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak terlalu mengambang maka penulis membatasi pembahasannya. Adapun batasan masalah dalam makalah ini adalah membahas masalah hubungan bahasa dan pikiran.

Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas maka pembahasan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah pengertian psikolingistik?
Apakah hakikat bahasa?
Apakah hakikat pikiran?
Bagaimanakah hubungan bahasa dan pikiran?

Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Menguraikan pengertian psikolinguistik;
Mendeskripsikan mengenai hakikat bahasa;
Mendeskripsikan mengenai hakikat pikiran; dan
Mendeskripsikan mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran manusia.

Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Memberikan sajian materi mengenai bahasa dan pikiran manusia;
Sebagai sarana kreatif dan mendidik dalam penulisan karya ilmiah; dan
Sebagai salah satu syarat penyelesaian tugas mata kuliah psikolinguistik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikolinguistik
Psikologi berasal dari bahasa Inggris pscychology. Kata pscychology berasal  dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu.  Jadi, secara etimologi psikologi adalah ilmu jiwa.
Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya (Chaer, 2009:3).
Menurut Simanjuntak (dalam Leo dan Syamsul Sodiq, 2000:13) psikolingusitik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia.
Aitchison (dalam Dardjowidjojo, 2003:7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan mind. Sedangkan, Harley (Dardjowidjojo,2003: 7) berpendapat  bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa.
Menurut Slobin (dalam Chaer, 2009:5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2009:6)  berpendapat bahwa  psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.  Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran.

2.2 Hakikat Bahasa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahasa artinya system lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Menurut Chaer (2009:31) bahasa adalah alat interaksi atau alat komunikasi di dalam masyarakat.
 Bahasa juga diartikan sebagai rangkain bunyi yang mempunyai makna terrtentu. Rangkain bunyi yang kita kenal sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Kumpulan lambang bunyi, dalam pemikirannya, tidak terlepas dari yang satu dengan yang lainnya. Kata-kata itu dipergunakan dalam suatu sistem yang terpola. Walaupun bunyi-bunyi bahasa itu di gunakan sudah benar dan sesuai dengan konvensi (kesepakatan pengguna bahasa), tetapi bila hubungan antar kata-katanya itu tidak berpola, maka proses komunikasi tidak akan berjalan dengan baik.
Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan ke dalam simbol-simbol abstrak. Dengan adanya bahasa kita dapat memikirkan sesuatu meskipun objek yang kita pikirkan itu tidak berada di dekat kita. Dengan simbol-simbol bahasa yang abstrak, kita dapat memikirkan sesuatu secara terus-menerus dan kemudian mewariskan pengalamannya itu kepada generasi-generasi berikutnya. Kita dapat pula mengkomunikasikan sesuatu yang kita pikirkan dan dapat pula belajar sesuatu dari orang lain.
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu, memahami bahasa akan memungkinkan kita memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia.
Menurut E. Sapir (dalam Mulyadi, 2009:1) bahasa adalah “A purely human and non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desires, by means of a system of voluntarily produced symbols.” Dalam batasan tersebut ada lima butir terpenting yaitu bahwa bahasa itu:
a. Manusiawi
            Hanya manusialah yang memiliki sistem simbol untuk berkomunikasi. Betul bahwa hewan seperti binatang pun berkomunikasi, dan mempunyai sistem bunyi, tetapi sistem itu bukanlah kata-kata. Dengan demikian mereka tidak memiliki bahasa. Manusia telah berbahasa sejak dini sejarahnya, dan perkembangan bahasanya inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain; hingga membuat dirinya mampu berpikir.
b. Dipelajari
            Manusia ketika lahir tidak langsung lalu mampu berbicara. anak yang tidak mempunyai kontak dengan orang lain yang berbahasa seperti dirinya sendiri akan mengembangkan bahasanya sendiri untuk memenuhi hasrat komunikasinya. Namun bahasa tidaklah ada artinya bila hanya untuk diri sendiri. Paling tidak haruslah ada dua orang, supaya ada proses komunikasi. Betul bahwa seseorang bisa berkomunikasi pada dirinya, namun untuk komunikasi seperti ini tidak perlu kata-kata.
c. Sistem
            Bahasa memiliki seperangkat aturan yang dikenal para penuturnya. Perangkat inilah yang menentukan struktur apa yang diucapkannya. Struktur ini disebut grammar. Bagaimanapun primitifnya suatu masyarakat penutur bahasa, bahasanya itu sendiri bekerja menurut seperangkat aturan yang teratur. Kenyataan bahwa bahasa sebagai sistem adalah persoalan pemakaian (usage); bukan ditentukan oleh panitia atau lembaga perumus. Aturan ini dibuat dan diubah oleh cara orang-orang yang menggunakannya. Aturan ini ada karena para penuturnya menggunakan bahasa dalam cara tertentu dan tidak dalam cara lain. Dan karena ada kesepakatan umum tentang aturan ini maka orang menggunakan bahasa dalam cara tertentu yang memiliki arti. Dikarenakan ada kesepakatan inilah maka kita bisa mempelajari dan mangajarkan bahasa apa saja.
d. Arbitrer.
            Bahwa bahasa mempergunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dalam cara tertentu pula adalah secara kebetulan saja. Orang-orang melambangkan satu kata saja untuk melambangkan satu benda, misalnya kata kuda ditujukan hanyalah untuk binatang berkaki empat tertentu karena orang lain berbuat demikian. Demikian pula kalimat berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata kerja cenderung menempati posisi akhir, dalam bahasa Perancis kata sifat diletakkan setelah kata benda seperti halnya bahasa Indonesia. Ini adalah semua karena kebetulan saja.
e. Simbolik
            Bahasa terdiri atas rentetan simbol arbitrer yang memiliki arti. Kita bisa menggunakan simbol-simbol ini untuk berkomunikasi sesama manusia karena manusia sama-sama memiliki perasaan, gagasan, dan keinginan. Dengan demikian kita menerjemahkan orang lain atas acuan pada pengalaman diri sendiri. Kalau kita mengerti ujaran orang yang berkata, “Saya lapar”, ini karena kita pun biasa mengalami peristiwa lapar itu.
Sistem bahasa apapun memungkinkan kita membicarakan sesuatu walau tidak ada di lingkungan kita. Kita pun bisa membicarakan sesuatu peristiwa yang sudah terjadi atau yang akan terjadi. Ini dimungkinkan karena bahasa memiliki daya simbolik, untuk membicarakan konsep apapun juga. Ini pulalah yang memungkinkan manusia memiliki daya penalaran (reasoning).
Demikianlah lima butir hakikat bahasa manusia sebagai alat untuk berkomunikasi dan mencirikan dirinya serta membedakannya dari makhluk lain.

2.3 Hakikat Pikiran
Pikiran berasal dari kata dasar pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pikir  artinya akal budi ; ingatan; angan-angan; kata dalam hati; kira, kemudian mendapat sufiks –an menjadi kata pikiran. Berpikir adalah aktivitas mental manusia. Dalam proses berpikir kita merangkai-rangkaikan sebab akibat, menganalisinya dari hal-hal yang khusus atau atau kita menganalisisnya dari hal-hal yang khusus ke yang umum. Berpikir berarti merangkai konsep-konsep. Pikiran adalah proses pengolahan stimulus yang berlangsung dalam domain representasi utama. Proses tersebut dapat dikategorikan sebagai proses perhitungan (computational process).
Proses berpikir dilalui dengan tiga langkah yaitu: pembentukan pikiran, pembentukan pendapat,  penarikan kesimpulan dan pembentukan keputusan. Pertama, yaitu pada pembentukan pikiran. Pada pembentukan pikiran inilah manusia menganalisis ciri-ciri dari sejumlah objek. Objek tersebut kita perhatikan unsur-unsurnya satu demi satu. Misalnya mau membentuk pengertian manusia. Kita akan menganalisis ciri-ciri manusia.
Kedua, yakni pada pembentukan pendapat. Pada pembentukan pendapat ini seseorang meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih yang dinyatakan dalam bentuk bahasa yang disebut kalimat. Pembentukan pendapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu pendapat afirmatif atau pendapat positif yaitu pendapat yang mengiakan sesuatu hal, pendapat negatif yaitu pendapat yang tidak menyetujui, dan pendapat modalitas yaitu pendapat yang memungkinkan sesuatu.
Ketiga, pada penarikan kesimpulan. Pada penarikan kesimpulan ini melahirkan tiga macam kesimpulan, yaitu keputusan induktif, deduktif, dan analogis (perbandingan).
Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir dengan menghitung yang hakikatnya pemikirannya hanya berhenti pada aspek kuantitatif dari realitas, pada aspek utilistik instrumental dari realitas. Dalam terminologi sehari-hari dipakai istilah ratio yang berasal dari kata latin reor yang berarti ‘menghitung’. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dari realitas tidak mungkin terjangkau melalui berpikir dengan menghitung.
Berpikir yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan, membayangkan. Dalam berpikir dengan memvisualisasikan terkandung asumsi bahwa segala hal dapat dibuat visual (yang jelas tidak mungkin), terkandung persepsi dasar bahwa the real is the physical. Hal yang lebih dalam dari realitas jasmani dengan sendirinya tidak terjangkau.
Dalam gaya berpikir dangan memvisualisasikan, realitas adalah yang dapat ditangkap oleh pancaindera (Poespoprodjo, 1999:77). Yang lainnya adalah tidak ada. Copy theory of reality (Camera theory of reality) pada hakikatnya adalah pernyataan bahwa manusia adalah pasif; ‘objektif’ adalah pengingkaran kesertaan mutlak manusia subjek dalam kegiatan tahu. Minatnya tidak pada realitas, tetapi pada pematokan realitas, pada manipulasi ide-ide, pada kejelasan, tetapi sekedar kejelasan jasmani-inderawi. Berpikir dengan membayangkan tidak mungkin bicara tentang hakikat realitas. Pendek kata, lebih banyak lagi kebenaran yang tidak mungkin diungkap melalui berpikir dengan membayangkan.
Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir menjelaskan, karena de facto berpikir dengan menjelaskan sekadar gerak pikiran diantara batas-batas yang sudah ditetapkan.rasionalitas, logika validasi metode-metodenya sudah pasti. Seluruh usaha adalah sekedar menggiring pikiran ke jalur tersebut.
Berpikir dengan menghitung, berpikir dengan memvisualisasikan, dan berpikir dengan menjelaskan adalah bentuk-bentuk berpikir, tetapi sekedar tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir.
Dalam praktek terbatas tertentu, bentuk-bentuk tersebut tidak diragukan arti dan manfaatnya. Tetapi bilamana bentuk-bentuk tersebut disetarakan, tidak dilampui bahkan diidentikkan dengan berpikir yang benar-benar berpikir, maka distorsi kadar kebenaran yang lebih kaya dari realitas merupakan bencana yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan karena kadar kebenaran banyak hal tidak akan tampak dan tampil dengan gaya-gaya berpikir secara menghitung, secara memvisualisasikan, secara menjelaskan.
Arti realitas tidak mungkin dapat dipikirkan dengan semestinya. Realitas itu sendiri tidak dipikirkan. Ketiga gaya pemikiran tersebut tidak memungkinkan untuk memikirkan pertanyaan tentang hakikat realitas, hakikat manusia.
Jelas bahwa berpikir yang benar-benar berpikir bukan bergerak diantara batas-batas yang sebelumnya sudah dipastikan, tidak bertujuan untuk meregam, menguasai, memaksakan kekuasaan (teori-teori, metode-metode, sistem-sistem dan sebagainya) pada realitas
Realitas bukan hasil pikiran, dan bahasa bukan alat. Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa realitas. Berpikir adalah tanggapan, jawaban, bukan sikap objektivistik dan sikap mengambil jarak. Dan bahasa berkaitan erat dengan peristiwa penyampaian arti. Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.

2.4 Hubungan Bahasa dan Pikiran
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Berikut ini adalah beberapa ahli tersebut.
2.4.1 Teori Sapir-Whorf
Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran. Edward Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah linguis Amerika yang mengatakan bahwa manusia hidup di dunia di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupan bermasyarakat (Chaer, 2009:52).
Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini: Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting.
            Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.  Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran. Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi  pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik berupa   bahasa  lisan  maupun  bahasa  tulis.  Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang  ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis (Yeti Mulyati, 2009:23).
Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan  antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya (Pateda, 1990:13). Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika  berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi  bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang  disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean,  hubungan antara bahasa dan perilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode) (Yeti Mulyati, 2009:15), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa.
Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.
            Istilah cognitive berasal dari cognition yang padanannya knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan.
            Ranah ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Syah, 2004:22). Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini (Syah, 2004:22) mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi yang disajikan kepadanya.
Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004:52).

Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain itu (Chaer, 2009:52).
            Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian.Bagian pertama berupa bunyi-bunyi dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk.Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform)

Teori Jean Piaget
Teori ini mengungkapkan pendapat yang sebaliknya dengan teori Sapir-Whorf, dikemukakan oleh Piaget sarjana Perancis, yaitu bahwa justru pikiranlah yang membentuk bahasa, tanpa pikiran bahasa tidak akan ada (Chaer, 2009:54).
Jean Peaget juga mengemukakan teori perkembangan kognisi yang menyatakan jika seorang mampu menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan berbagai cara yang berlainan sebelum anak itu dapat menggolongkan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata (bahasa) yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Menurut Piaget (dalam Chaer, 2009:54) ada dua hal penting mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran), yaitu:
Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensorimotorik (2 tahun pertama perkembangan kognisi), yakni satu system skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda (sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakaian kembali.
Pembentukan pemikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada umumnya.

Teori L.S Vygotsky
Teori ini di lontarkan oleh L.S Vygotsky, dan ia mengatakan bahwa terdapat satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebalum adanya bahasa. Lalu, dua garis perkembangan ini saling bertemu maka pikiran berbahasa dan bahasa berpikir terjadi secara serentak. Maksudnya, pikiran dan bahasa pada mulanya berkembang secara terpisah, tidak saling mempengaruhi satu sama lain, dengan kata lain, mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa, begitu pula sebaliknya, bahasa pada mulanya berkembang tanpa pikiran, kemudian pada tahap selanjutnya, keduanya bertemu, bekerjasama, dan saling mempengaruhi (Chaer, 2009:55).. Begitulah, seseorang berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Teori Noam Chomsky
Mengenai hubungan bahasa dan pemikiran Noam Chomsky mengajukan teori klasik yang disebut hipotesis nurani. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa dalam yang bersifat universal (Chaer, 2009:57).. Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan belajar atau pembelajaran, misalnya dengan aksi atau perilaku seperti yang dikatakan Piaget, dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut kecerdasan. Jadi, bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang berasingan dan mempunyai otonomi masing-masing. Seorang anak yang dungu pun akan lancer berbahasa hampir pada jangka waktu yang sama dengan seorang kanak-kanak yang normal.
            Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom, dan karena itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi (pemikiran) pada umumnya termasuk kecerdasan.

Teori Eric Lenneberg
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Eric Lenneberg mengajukan teori yang disebut teori kemampuan bahasa khusus. Teori ini secara kebetulan ada kesamaannya dengan teori Chomsky dan juga dengan pandangan Piaget.
Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran (Chaer, 2009:58).. Kanak-kanak, menurut Lenneberg telah mempunyai biologi untuk berbahasa pada waktu mereka masih berada pada tingkat kemampuan berpikir yang rendah dan kemampuan bercakap dan memahami kalimat mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Penelitian yang dilakukan Lenneberg telah menunjukkan bahwa bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang sama pada kanak-kanak yang cacat mental dan kanak-kanak yang normal. Umpamanya kanak-kanak yang mempunyai IQ 50 ketika dia berusia 12 tahun dan lebih kurang 30 ketika berumur 20 tahun, juga mampu menguasai bahasa dengan cukup baik, kecuali dengan sesekali terjadi kesalahan ucapan dan kesalahan tatabahasa. Oleh karena itu, menurut Lenneberg adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan pula terjadi kerusakan bahasa. Sebaliknya, adanya kerusakan bahasa tidak berarti akan menimbulkan kemampuan kognitif yang rendah.


Teori Bruner
Berkenaan dengan masalah bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya teori instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir secara sistematis (Chaer, 2009:59). Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat serupa. Lalu, karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa maka keduanya bisa saling membantu. Selanjutnya, bahasa dan pikiran adalah alat untuk berlakunya aksi.


























BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan hubungan antara bahasa dan pikiran, yaitu sebagai berikut:
a.       Bahasa Memengaruhi Pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pikirannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat terkondisiikan oleh kata yang manusia gunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benjamin Whorf dan gurunya, Edward Sapir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam menjelaskan realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.

b.      Pikiran Memengaruhi Bahasa
Ada kemungkinan struktur bahasa dipengaruhi oleh pikiran. Sekitar 2.500 tahun yang lalu Aristoteles berargumen bahwa kategori pikiran menentukan kategori bahasa. Banyak alasan yang memperkuat argumen tersebut, walaupun Aristoteles sendiri tidak bisa memperlihatkan alasan-alasan tersebut. Adapun alasan yang dapat dikemukakan antara lain, kemampuan manusia berpikir muncul lebih awal ditinjau dari aspek evolusi dan berlangsung belakangan dari aspek perkembangannya dibandingkan kemampuan menggunakan bahasa.
Tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget menyatakan bahwa ada keterkaitan antara pikiran dan bahasa. Bahasa adalah representasi dari pikiran. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan memengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Sebelum anak-anak menggunakan bahasanya secara efektif, anak-anak memperlihatkan kemampuan kognitif yang cukup berarti dan beragam.
Menurut Pieget, ada dua pikiran, yaitu pikiran terarah (directed) atau intelligent dan pikiran tidak terarah atau autistik (autictic). Pikiran yang terarah adalah pikiran yang menghasilkan tindakan atau ujaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan kuat, sedangkan pikiran tidak terarah umumnya pikiran yang sering menimbulkan kekeliruan atau dampak yang tidak terduga. Mungkin itu sebabnya terjadi tergelincir lidah.



c.       Bahasa dan Pikiran Saling Memengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik kebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori. Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan saling bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.

3.2 Saran
            Sebagai individu yang merupakan makhluk sosial kita harus bisa menggunakan pikiran dalam berbahasa karena sesungguhnya ukuran seorang manusia dilihat dari kemampuannya dalam berpikir. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari aktivitas berbahasa. Oleh karena itu, dalam menggunakan bahasa marilah kita berpikir secara logis dan sistematis agar tercipta komunikasi yang tepat dan tidak salah interpretasi.
            Mari kita gunakan pemahaman mengenai konsep berpikir dan berbahasa dalam kehidupan kita sehari-hari agar dapat menjadi manusia yang berpikir, berbahasa, dan berbudaya.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Leo dan Syamsul Sodiq. 2000. Psikolingustik. Jakarta: Universitas Terbuka
Muhibin, Syah. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Grafika Persada
Mulyadi. 2009. Introduction to Linguistic. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press
Mulyati, Yeti. 2009. Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka
Pateda, Mansyur. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Ende Flores: Nusa Indah
Pusporodjo. 1999. Logika Scientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Grafika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar