Sabtu, 07 September 2013

Cerpen-Ku Tak Sempat Bahagiakanmu (Dimuat di koran SIB tgl 1 September 2013)

KU TAK SEMPAT BAHAGIAKANMU 
Karya Jason Walker Panggabean 
Jurusan Bahasa Indonesia V A
STKIP Tapanuli Selatan Padangsidempuan

Aku dibingungkan dan diajak berangan-angan oleh segelintir tema yang akan kuangkat menjadi cerpen sebuah tugas mata kuliahku. Sudah dua jam aku duduk di teras rumah dengan block note dan pena di pangkuanku tetapi belum juga ada tema yang cocok menurutku.
“Huft…” aku menghela nafas dan kembali berangan-angan. Sampai suatu ketika, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ambulans yang berhenti tepat di depan rumah tetangga sebelah rumahku.
“Wira meninggal!” seru mama kepadaku. Kemudian kami melihat Wira ditandu dengan keranda jenazah ke dalam rumahnya di dampingi keluarga dan Lena pacarnya. Aku bergegas ke rumah Wira dan melihat keluarga menangis sejadi-jadinya, begitu juga Lena yang ternyata setelah aku dengar cerita bahwa sebelumnya ia tidak tahu Wira mengidap kanker otak. Mereka pacaran sudah hampir setahun tetapi Wira tidak pernah menceritakan hal itu. Spontan air mataku menetes tak henti-hentinya mendengar cerita tersebut. Kenangan pahit yang telah hampir bisa kulupakan dari benakku kini tiba-tiba terasa sangat sakit menyayat hati dan perasaanku. Tak kuasa aku menahan diri kemudian aku lari ke rumah, langsung menuju kamarku, mengambil tisu dan membanting pintu untuk menutup. Ku benamkan wajahku ke bantal mengingat Lena dan Fahry mantan kekasihku waktu SMA.
Aku keluar ke teras mengambil block note dan pena ku yang tertinggal tadi dan kembali ke kamarku. Ku tuliskan kisahku dulu yang pada awalnya aku tak ingin mengenangnya lagi. Aku coretkan judul “Ku Tak Sempat Bahagiakanmu”
 Aku sedang duduk-duduk di kursi depan kelasku. “Liv ntar sore jangan lupa ya hadir ke rapat OSIS, kita harus segera kelarin agenda tahunan karena sudah banyak tuh program yang tertunda.” Miranti mengingatkanku sembari melangkah menuju kantin.
Aku adalah ketua OSIS di sekolahku. Semenjak terpilih sebagai ketua OSIS selain sibuk sekolah, aku juga disibukkan dengan tanggung jawab sebagai pengurus diorganisasi yang aku pimpin. Banyak program yang sudah kami rencanakan, salah satunya yaitu kegiatan PMR (Palang Merah Remaja) yang membahas mengenai KB, Narkoba, dan HIV/AIDS. Sebagai ketua OSIS aku wajib menghadiri rapat itu.
Hari itu kepalaku terasa amat pusing, ntah karena memang cuaca yang panas atau aku yang kurang mood mengikuti pelajaran hari ini. Akhirnya sepulang sekolah aku pergi ke taman untuk dengarin musik dan sedikit menenangkan kepalaku yang sedang nyut-nyutan. Keasikan di taman aku jadi lupa kalau sore ini ada rapat. Aku lihat jam tanganku. “Aduh. Aku udah telat 30 menit nih.” Aku bergegas memacu skuterku ke aula sekolah tempat rapat diselenggarakan. Setibanya di sana aku melihat orang-orang sudah ramai dan Miranti segera melambaikan tangan kepadaku dan memberi isyarat agar aku segera membuka rapat dan memberikan kata sambutan.
 “Selamat sore rekan-rekan sekalian. Terima kasih atas kesudiannya hadir di aula kita ini. Kita akan memulai rapat kita hari ini, tapi sebelumnya saya atas nama ketua panitia meminta maaf kepada rekan-rekan sekalian karena keterlambatan rapat hari ini” sapaku kepada peserta rapat. Singkat cerita rapatpun selesai dan waktunya untuk pulang.
Hari berganti hari, pelaksanaan keputusan rapatpun sudah semakin dekat, persiapan juga semakin matang.
“Liv, bagaimana narasumbernya? Sudah kamu hubungi belum?” Tanya Miranti kepadaku.
“Kemarin aku sudah ke cabang PMI yang dekat rumahku, aku disuruh bertemu langsung dengan Fahry, dia yang akan menjadi narasumbernya” jawabku.
“Trus kamu kapan ketemu sama dia? Hari H-nya sudah hampir tiba” kata Miranti.
“Ya sudah, aku telpon dia sekarang” aku mengambil HP di tas dan segera menelpon Fahry.
Kita janji bertemu di sebuah taman di dekat sekolahku.
Aku kaget setengah tak yakin melihat sosok wajah itu dan dalam hati aku berkata “Dia kan cowok yang selama ini aku idamin, kok bisa ada di sini juga?”
Fahry menghampiriku dan bertanya “Kamu Livyana ya?” 
Dengan nada gugup aku menjawab “Ia”
“Aku Fahry, ketua PMI cabang II”.
Fahry membuka percakapan kami. Ia terlihat sangat berwibawa dan memesona di depan mataku, sampai-sampai kadang-kadang ia harus mengulangi pertanyaan karena aku asyik melamun. Lama kami mengobrol diiringi guyonan dan canda tawa hingga kami memperoleh kata sepakat. Setelah itu, akupun pulang segera karena masih ada urusan yang perlu ku selesaikan secepatnya begitu juga Fahry. Di perjalanan di atas sepeda motor yang ku kendarai aku masih saja melamun. Seandainya aku tidak harus menyelesaiakan urusan lain, ingin rasanya aku berlama-lama bersama Fahry.
“Kapan lagi coba punya waktu berduaan sama Fahry? Kalaupun ntar dia hadir di acara seminar OSIS pasti suasananya nggak sama kayak di taman tadi. Apa dia juga rasakan hal yang sama ya seperti yang ku rasakan? Dia sudah punya pacar apa belum ya? Bagaimana ya kepribadiannya?” aku mengerutu dalam hati.
“Pritttttttt…..”
Aku terkejut dan tiba-tiba mobil patroli polisi lalu ointas berhenti di depanku. Seorang polisi mendekatiku.
“Selamat pagi Nona” polisi itu menyapaku dan memberi hormat.
“Selamat pagi Pak” jawabku sambil membuka helm.
“Anda tahu kesalahan Anda” tanyanya kembali.
“Hmmm…” aku mencoba berpikir apa kesalahan yang telah ku lakukan.
“Kenapa diam? Anda sedang berada di kota mana?” Pak polisi mengagetkanku.
“Bogor Pak” jawabku singkat.
“Lalu mengapa Anda berjalan di lajur kanan?” tanya Pak polisi.
“Aduh” seruku dalam hati. Ternyata dari tadi aku berjalan di lajur kanan.
“Lampu merah tandanya apa?” tanya Pak polisi lagi.
“Berhenti Pak” jawabku.
“Kenapa Anda menerobos lampu merah?” cegat Pak polisi kembali.
“Maaf Pak.” Seruku seraya terdiam menundukkan kepala.
“Tolong tunjukkan kartu SIM dan STNK kendaraan Anda.” minta Pak polisi.
Kemudian aku mengambilnya di dompetku dan memberikannya pada Pak polisi. Lalu ia memintaku menghadap ke kantor polisi selambat-lambatnya sore ini dan ia menahan SIM dan STNK-ku.
“Ahhh…” ku hempaskan nafasku. Ini semua karena aku selalu saja melamunkan Fahry. Gara-gara dia aku jadi kena tilang, tetapi memang dia tidak bersalah. Aku saja yang telalu berobsesi padanya.
“Aku ini kan perempuan. Kenapa aku khayalin cowok sih?” pikirku dalam hati seakan memarahi diriku sendiri.
Sore itu setelah menyelesaikan urusanku aku menghadap ke kantor polisi dan hasilnya aku kena double tilang.
“Tak apalah demi Fahry, hihihihi…” celetukku dalam hati.
            Hari pelaksanaan seminarpun tiba. Aku sudah berada di aula sejak 1 jam yang lalu. Aku sibuk mencari-cari Fahry, tapi sampai waktunya untukku membuka seminar Fahry belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Dimana sih dia?” gerutuku dalam hati.
Dan akupun naik ke atas anggung setelah dipersilahkan MC untuk menyampaikan kata sambutan dan membuka acara sebagai ketua panitia pelaksana dan ketua OSIS sekolahku. Setelah kata sambutan yang ku sampaikan hamper rampung, tiba-tiba mataku tertuju pada pintu masuk aula. Aku terperanjat dan terdiam melihat sosok pria pujaanku telah tiba. Aku tak melepaskan pandanganku sedikit pun darinya hingga ia duduk di kursi yang telah disediakan. Dia begitu menarik dengan kemeja kota yang ia kenakan. Hatiku dag dig dug serasa ingin aku menghampirinya saat itu juga.
“Liv…Liv…Liv…”
Miranti memanggilku dari bawah panggung, berusaha menyadarkanku, dan member isyarat agar aku melanjutkan pidatoku yang sempat tertunda. Aku tersadar dan menjadi malu dan langsung menutup kata-kata sambutan yang pagi itu aku sampaikan dihadapan para guru dan teman-temanku.
”Sekali lagi saya ucapkan selamat datang dan selamat mengikuti acara selanjutnya, terima kasih dan selamat pagi”. Sebutku menutup pembicaraan.
Aku langsung turun dari panggung, permisi kepada panitia untuk ke toilet. Sesampainya di dalam toilet aku menutup pintu dan menghadap ke cermin besar yang terpasang di dinding toilet.
“Aduh… Aku ini kenapa sih? Gara-gara ngeliatin Fahry aku jadi terdiam. Apa aku jatuh cinta beneran sama Fahry. Tuhan tolong aku… Sadarkan lah otakku yang sudah mulai tak normal ini.”
Setelah menenangkan diri aku kembali memasuki aula.
Setibanya di sana, aku mendengar MC mempersilahkan narasumber yaitu Fahry untuk memberikan penjelasan mengenai topik yang sedang kami perbincangkan. Aku pun dengan seksama dan penuh perhatian mendengarkan Fahry berbicara di atas panggung. Panjang-lebar pembicaraan Fahry dan dia pun menutup penjelasannya dengan menyampaikan kata-kata mutiara. Itu semakin membuat aku terperanjat dan mengaguminya. Terjadi interaksi yang sangat baik antara Fahry dan teman-teman. Sementara aku tak sempat mengajukan pertanyaan karena aku asik memperhatikannya dengan mata dan hatiku yang berbunga-bunga. Jam dinding pun terus berputar, tak terasa waktu sudah siang. Sampai acara selesai mataku tak bias jauh dari Fahry, sampai kadang-kadang ia harus melontarkan senyum kepadaku dan menyadarkanku.
Setelah acara bubar, sebagai ketua panitia aku mendekati Fahry dan mengucapkan terimakasih atas waktu dan kesempatannya dan ia jawab dengan senyum yang hampir mengoyak hatiku.
“Fahry, terimakasih ya” ucapku.
“Ya, sama-sama. Lagian nggak usah kali bilang terima kasih, tih aku juga dapat bayaran kan, hahaha…” jawab Fahry sambil tertawa.
“Kamu mau langsung pulang Liv? Kalau mau biar aku antar.” Sambung Fahry.
“Ah, nggak usah, nanti malah merepotkan lagi.” tolakku, pada hal aku ingin sekali jalan bareng Fahry dan aku berseru dalam hati “Ayo paksa aku, hehehe…”
“Ayolah aku nggak merasa direpotin kok” jawab Fahry.
“Oke deh kalau kamu memaksa.” Jawabku dengan senang hati.
Fahry kemudian mengantarku pulang dan sejak saat itu kami menjadi akrab, sering SMS-an ataupun telponan dan sering juga jalan-jalan di hari libur. Tak terasa setelah beberapa minggu kami dekat. Fahry mengutarakan perasaannya padaku di taman sekolah. Betapa senangnya hatiku saat itu. Singkat cerita kami menjalin hubungan sebagai pacar.
“Liv, aku benar-benar tulus mencintai dan menyayangimu dari hatiku yang paling dalam. Aku ingin membahagiakanmu. Aku juga ingin kamu bahagiakan. Kebahagiaanku saat melihatmu tegar dan tersenyum, bukan melihatmu dengan tetesan air mata. Tidak ada yang abadi di dunia ini dan aku sangat senang bisa mengenalmu. Kamu mau janjikan kan Liv buat aku bahagia?” Fahry menatapku dengan begitu dalam. Aku pun berjanji membuat Fahry bahagia dengan senyum dan ketegaranku. Kami pun menjalani hari-hari selayaknya orang pacaran. Aku Fahry perkenalkan pada keluarganya dan Fahry aku perkenalkan pada keluargaku.
Suatu hari tepat pada hari jadi kami yang ke-2 tahun. Aku dihubungi oleh orang tua Fahry yang akrab ku sapa dengan Tante Mia. Tante Mia memberitahukan kalau Fahry masuk rumah sakit. Aku langsung permisi ke piket sekolah untuk pulang lebih awal. Setibanya di rumah sakit aku berlari ke ruangan tempat Fahry dirawat. Aku terhenti di depan pintu ruangan karena mendengar isak tangis keluarga Fahry. Saat aku membuka pintu, aku melihat tubuh Fahry yang terbujur kaku dan tak bergerak sama sekali. Tante Mia langsung mendekatiku dan memelukku dengan erat dan berkata “Selama ini Fahry menyembunyikan penyakit yang ia derita termasuk sama Livya dan Tante. Fahry mengidap kanker otak stadium akhir Liv dan itu merenggut nyawanya.”
Aku pun terdiam, aku mendekati tubuh Fahry, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan dan apa yang harus aku pikirkan. Yang ku tahu aku sangat mencintainya. Kemudian Tante Mia memberikan secarik kertas berwarna biru kepadaku dan berkata “Liv, init ante temukan di kamar Fahry, mungkin ini untukmu. Aku menerima kertas itu dan membacanya “Hal terindah dalam hidupku adalah saat duduk berdua denganmu di kursi taman tempat kita pertama kali bertemu. Aku tak ingin memikirkan hal lain dalam hidupku kecuali mengingatmu di setiap hembus nafaku yang tersisa. Mengenalmu adalah harta terbesar dan hal terindah yang pernah aku miliki. Aku sayang kamu Liv. Kecup sayang, Fahry”.
            Sepenggal kalimat itu membuatku sangat sedih dan tak sanggup lagi membendung air mataku. Aku ingin sekali melihat senyumnya sekali lagi, memegang tangannya, dan merangkul tubuhnya. Tuhan aku sangat mencintainya. Aku teringat ucapannya “Tidak ada yang abadi di dunia ini dan aku sangat senang bisa mengenalmu” Aku baru tersadar mengapa ia mengatakan hal itu, ia tahu bahwa ia tak lama lagi untuk hidup di dunia ini. Tapi ya sudahlah. Aku harus segera mengakhiri kesedihanku karena aku sudah bejanji membahagiakan Fahry dengan ketegaran dan senyumanku. Aku tak bisa buat ia bahagia di dunia ini dan aku berharap Fahry tersenyum di sana saat melihat aku tersenyum. Fahry aku mencintaimu. Selamat jalan sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar