KU TAK SEMPAT BAHAGIAKANMU
Karya Jason Walker Panggabean
Jurusan Bahasa Indonesia V A
STKIP Tapanuli Selatan Padangsidempuan
Karya Jason Walker Panggabean
Jurusan Bahasa Indonesia V A
STKIP Tapanuli Selatan Padangsidempuan
Aku dibingungkan dan diajak berangan-angan oleh segelintir
tema yang akan kuangkat menjadi cerpen sebuah tugas mata kuliahku. Sudah dua
jam aku duduk di teras rumah dengan block
note dan pena di pangkuanku tetapi belum juga ada tema yang cocok
menurutku.
“Huft…”
aku menghela nafas dan kembali berangan-angan. Sampai suatu ketika, tiba-tiba
aku dikejutkan dengan suara ambulans yang berhenti tepat di depan rumah
tetangga sebelah rumahku.
“Wira
meninggal!” seru mama kepadaku. Kemudian kami melihat Wira ditandu dengan
keranda jenazah ke dalam rumahnya di dampingi keluarga dan Lena pacarnya. Aku
bergegas ke rumah Wira dan melihat keluarga menangis sejadi-jadinya, begitu
juga Lena yang ternyata setelah aku dengar cerita bahwa sebelumnya ia tidak
tahu Wira mengidap kanker otak. Mereka pacaran sudah hampir setahun tetapi Wira
tidak pernah menceritakan hal itu. Spontan air mataku menetes tak
henti-hentinya mendengar cerita tersebut. Kenangan pahit yang telah hampir bisa
kulupakan dari benakku kini tiba-tiba terasa sangat sakit menyayat hati dan
perasaanku. Tak kuasa aku menahan diri kemudian aku lari ke rumah, langsung
menuju kamarku, mengambil tisu dan membanting pintu untuk menutup. Ku benamkan
wajahku ke bantal mengingat Lena dan Fahry mantan kekasihku waktu SMA.
Aku keluar ke teras mengambil block note dan pena ku yang tertinggal tadi dan kembali ke kamarku.
Ku tuliskan kisahku dulu yang pada awalnya aku tak ingin mengenangnya lagi. Aku
coretkan judul “Ku Tak Sempat Bahagiakanmu”
Aku sedang
duduk-duduk di kursi depan kelasku. “Liv ntar
sore jangan lupa ya hadir ke rapat OSIS, kita harus segera kelarin agenda tahunan karena sudah banyak tuh program yang
tertunda.” Miranti mengingatkanku sembari melangkah menuju kantin.
Aku adalah ketua OSIS di sekolahku. Semenjak terpilih
sebagai ketua OSIS selain sibuk sekolah, aku juga disibukkan dengan tanggung
jawab sebagai pengurus diorganisasi yang aku pimpin. Banyak program yang sudah kami
rencanakan, salah satunya yaitu kegiatan PMR (Palang Merah Remaja) yang
membahas mengenai KB, Narkoba, dan HIV/AIDS. Sebagai ketua OSIS aku wajib
menghadiri rapat itu.
Hari itu kepalaku terasa amat pusing, ntah karena memang
cuaca yang panas atau aku yang kurang mood
mengikuti pelajaran hari ini. Akhirnya sepulang sekolah aku pergi ke taman
untuk dengarin musik dan sedikit
menenangkan kepalaku yang sedang nyut-nyutan. Keasikan di taman aku jadi lupa
kalau sore ini ada rapat. Aku lihat jam tanganku. “Aduh. Aku udah telat 30 menit nih.” Aku bergegas
memacu skuterku ke aula sekolah tempat rapat diselenggarakan. Setibanya di sana
aku melihat orang-orang sudah ramai dan Miranti segera melambaikan tangan
kepadaku dan memberi isyarat agar aku segera membuka rapat dan memberikan kata
sambutan.
“Selamat sore
rekan-rekan sekalian. Terima kasih atas kesudiannya hadir di aula kita ini.
Kita akan memulai rapat kita hari ini, tapi sebelumnya saya atas nama ketua
panitia meminta maaf kepada rekan-rekan sekalian karena keterlambatan rapat
hari ini” sapaku kepada peserta rapat. Singkat cerita rapatpun selesai dan
waktunya untuk pulang.
Hari berganti hari, pelaksanaan keputusan rapatpun sudah
semakin dekat, persiapan juga semakin matang.
“Liv,
bagaimana narasumbernya? Sudah kamu hubungi belum?” Tanya Miranti kepadaku.
“Kemarin
aku sudah ke cabang PMI yang dekat rumahku, aku disuruh bertemu langsung dengan
Fahry, dia yang akan menjadi narasumbernya” jawabku.
“Trus
kamu kapan ketemu sama dia? Hari H-nya sudah hampir tiba” kata Miranti.
“Ya
sudah, aku telpon dia sekarang” aku mengambil HP di tas dan segera menelpon Fahry.
Kita
janji bertemu di sebuah taman di dekat sekolahku.
Aku
kaget setengah tak yakin melihat sosok wajah itu dan dalam hati aku berkata “Dia
kan cowok yang selama ini aku idamin, kok bisa ada di sini juga?”
Fahry
menghampiriku dan bertanya “Kamu Livyana ya?”
Dengan
nada gugup aku menjawab “Ia”
“Aku
Fahry, ketua PMI cabang II”.
Fahry membuka percakapan kami. Ia terlihat sangat berwibawa
dan memesona di depan mataku, sampai-sampai kadang-kadang ia harus mengulangi
pertanyaan karena aku asyik melamun. Lama kami mengobrol diiringi guyonan dan
canda tawa hingga kami memperoleh kata sepakat. Setelah itu, akupun pulang
segera karena masih ada urusan yang perlu ku selesaikan secepatnya begitu juga
Fahry. Di perjalanan di atas sepeda motor yang ku kendarai aku masih saja
melamun. Seandainya aku tidak harus menyelesaiakan urusan lain, ingin rasanya
aku berlama-lama bersama Fahry.
“Kapan
lagi coba punya waktu berduaan sama Fahry? Kalaupun ntar dia hadir di acara seminar OSIS pasti suasananya nggak sama kayak di taman tadi. Apa dia
juga rasakan hal yang sama ya seperti yang ku rasakan? Dia sudah punya pacar
apa belum ya? Bagaimana ya kepribadiannya?” aku mengerutu dalam hati.
“Pritttttttt…..”
Aku
terkejut dan tiba-tiba mobil patroli polisi lalu ointas berhenti di depanku.
Seorang polisi mendekatiku.
“Selamat
pagi Nona” polisi itu menyapaku dan memberi hormat.
“Selamat
pagi Pak” jawabku sambil membuka helm.
“Anda
tahu kesalahan Anda” tanyanya kembali.
“Hmmm…”
aku mencoba berpikir apa kesalahan yang telah ku lakukan.
“Kenapa
diam? Anda sedang berada di kota mana?” Pak polisi mengagetkanku.
“Bogor
Pak” jawabku singkat.
“Lalu
mengapa Anda berjalan di lajur kanan?” tanya Pak polisi.
“Aduh”
seruku dalam hati. Ternyata dari tadi aku berjalan di lajur kanan.
“Lampu
merah tandanya apa?” tanya Pak polisi lagi.
“Berhenti
Pak” jawabku.
“Kenapa
Anda menerobos lampu merah?” cegat Pak polisi kembali.
“Maaf
Pak.” Seruku seraya terdiam menundukkan kepala.
“Tolong
tunjukkan kartu SIM dan STNK kendaraan Anda.” minta Pak polisi.
Kemudian
aku mengambilnya di dompetku dan memberikannya pada Pak polisi. Lalu ia
memintaku menghadap ke kantor polisi selambat-lambatnya sore ini dan ia menahan
SIM dan STNK-ku.
“Ahhh…”
ku hempaskan nafasku. Ini semua karena aku selalu saja melamunkan Fahry.
Gara-gara dia aku jadi kena tilang, tetapi memang dia tidak bersalah. Aku saja
yang telalu berobsesi padanya.
“Aku
ini kan perempuan. Kenapa aku khayalin cowok sih?” pikirku dalam hati seakan
memarahi diriku sendiri.
Sore
itu setelah menyelesaikan urusanku aku menghadap ke kantor polisi dan hasilnya
aku kena double tilang.
“Tak
apalah demi Fahry, hihihihi…” celetukku dalam hati.
Hari pelaksanaan seminarpun tiba.
Aku sudah berada di aula sejak 1 jam yang lalu. Aku sibuk mencari-cari Fahry,
tapi sampai waktunya untukku membuka seminar Fahry belum juga menampakkan
batang hidungnya.
“Dimana
sih dia?” gerutuku dalam hati.
Dan
akupun naik ke atas anggung setelah dipersilahkan MC untuk menyampaikan kata
sambutan dan membuka acara sebagai ketua panitia pelaksana dan ketua OSIS
sekolahku. Setelah kata sambutan yang ku sampaikan hamper rampung, tiba-tiba
mataku tertuju pada pintu masuk aula. Aku terperanjat dan terdiam melihat sosok
pria pujaanku telah tiba. Aku tak melepaskan pandanganku sedikit pun darinya
hingga ia duduk di kursi yang telah disediakan. Dia begitu menarik dengan
kemeja kota yang ia kenakan. Hatiku dag dig dug serasa ingin aku menghampirinya
saat itu juga.
“Liv…Liv…Liv…”
Miranti
memanggilku dari bawah panggung, berusaha menyadarkanku, dan member isyarat
agar aku melanjutkan pidatoku yang sempat tertunda. Aku tersadar dan menjadi
malu dan langsung menutup kata-kata sambutan yang pagi itu aku sampaikan
dihadapan para guru dan teman-temanku.
”Sekali
lagi saya ucapkan selamat datang dan selamat mengikuti acara selanjutnya,
terima kasih dan selamat pagi”. Sebutku menutup pembicaraan.
Aku
langsung turun dari panggung, permisi kepada panitia untuk ke toilet.
Sesampainya di dalam toilet aku menutup pintu dan menghadap ke cermin besar yang
terpasang di dinding toilet.
“Aduh…
Aku ini kenapa sih? Gara-gara ngeliatin
Fahry aku jadi terdiam. Apa aku jatuh cinta beneran
sama Fahry. Tuhan tolong aku… Sadarkan lah otakku yang sudah mulai tak normal
ini.”
Setelah
menenangkan diri aku kembali memasuki aula.
Setibanya di sana, aku mendengar MC mempersilahkan
narasumber yaitu Fahry untuk memberikan penjelasan mengenai topik yang sedang
kami perbincangkan. Aku pun dengan seksama dan penuh perhatian mendengarkan Fahry
berbicara di atas panggung. Panjang-lebar pembicaraan Fahry dan dia pun menutup
penjelasannya dengan menyampaikan kata-kata mutiara. Itu semakin membuat aku
terperanjat dan mengaguminya. Terjadi interaksi yang sangat baik antara Fahry
dan teman-teman. Sementara aku tak sempat mengajukan pertanyaan karena aku asik
memperhatikannya dengan mata dan hatiku yang berbunga-bunga. Jam dinding pun
terus berputar, tak terasa waktu sudah siang. Sampai acara selesai mataku tak
bias jauh dari Fahry, sampai kadang-kadang ia harus melontarkan senyum kepadaku
dan menyadarkanku.
Setelah acara bubar, sebagai ketua panitia aku mendekati
Fahry dan mengucapkan terimakasih atas waktu dan kesempatannya dan ia jawab
dengan senyum yang hampir mengoyak hatiku.
“Fahry,
terimakasih ya” ucapku.
“Ya,
sama-sama. Lagian nggak usah kali
bilang terima kasih, tih aku juga dapat bayaran kan, hahaha…” jawab Fahry
sambil tertawa.
“Kamu
mau langsung pulang Liv? Kalau mau biar aku antar.” Sambung Fahry.
“Ah,
nggak usah, nanti malah merepotkan
lagi.” tolakku, pada hal aku ingin sekali jalan bareng Fahry dan aku berseru dalam hati “Ayo paksa aku, hehehe…”
“Ayolah
aku nggak merasa direpotin kok” jawab
Fahry.
“Oke
deh kalau kamu memaksa.” Jawabku dengan senang hati.
Fahry
kemudian mengantarku pulang dan sejak saat itu kami menjadi akrab, sering
SMS-an ataupun telponan dan sering juga jalan-jalan di hari libur. Tak terasa
setelah beberapa minggu kami dekat. Fahry mengutarakan perasaannya padaku di
taman sekolah. Betapa senangnya hatiku saat itu. Singkat cerita kami menjalin
hubungan sebagai pacar.
“Liv,
aku benar-benar tulus mencintai dan menyayangimu dari hatiku yang paling dalam.
Aku ingin membahagiakanmu. Aku juga ingin kamu bahagiakan. Kebahagiaanku saat
melihatmu tegar dan tersenyum, bukan melihatmu dengan tetesan air mata. Tidak
ada yang abadi di dunia ini dan aku sangat senang bisa mengenalmu. Kamu mau
janjikan kan Liv buat aku bahagia?” Fahry menatapku dengan begitu dalam. Aku
pun berjanji membuat Fahry bahagia dengan senyum dan ketegaranku. Kami pun
menjalani hari-hari selayaknya orang pacaran. Aku Fahry perkenalkan pada
keluarganya dan Fahry aku perkenalkan pada keluargaku.
Suatu hari tepat pada hari jadi kami yang ke-2 tahun. Aku
dihubungi oleh orang tua Fahry yang akrab ku sapa dengan Tante Mia. Tante Mia
memberitahukan kalau Fahry masuk rumah sakit. Aku langsung permisi ke piket
sekolah untuk pulang lebih awal. Setibanya di rumah sakit aku berlari ke
ruangan tempat Fahry dirawat. Aku terhenti di depan pintu ruangan karena
mendengar isak tangis keluarga Fahry. Saat aku membuka pintu, aku melihat tubuh
Fahry yang terbujur kaku dan tak bergerak sama sekali. Tante Mia langsung
mendekatiku dan memelukku dengan erat dan berkata “Selama ini Fahry
menyembunyikan penyakit yang ia derita termasuk sama Livya dan Tante. Fahry
mengidap kanker otak stadium akhir Liv dan itu merenggut nyawanya.”
Aku pun terdiam, aku mendekati tubuh Fahry, aku tidak tahu
apa yang harus ku lakukan dan apa yang harus aku pikirkan. Yang ku tahu aku sangat
mencintainya. Kemudian Tante Mia memberikan secarik kertas berwarna biru
kepadaku dan berkata “Liv, init ante temukan di kamar Fahry, mungkin ini
untukmu. Aku menerima kertas itu dan membacanya “Hal terindah dalam hidupku
adalah saat duduk berdua denganmu di kursi taman tempat kita pertama kali
bertemu. Aku tak ingin memikirkan hal lain dalam hidupku kecuali mengingatmu di
setiap hembus nafaku yang tersisa. Mengenalmu adalah harta terbesar dan hal
terindah yang pernah aku miliki. Aku sayang kamu Liv. Kecup sayang, Fahry”.
Sepenggal
kalimat itu membuatku sangat sedih dan tak sanggup lagi membendung air mataku.
Aku ingin sekali melihat senyumnya sekali lagi, memegang tangannya, dan
merangkul tubuhnya. Tuhan aku sangat mencintainya. Aku teringat ucapannya “Tidak
ada yang abadi di dunia ini dan aku sangat senang bisa mengenalmu” Aku baru
tersadar mengapa ia mengatakan hal itu, ia tahu bahwa ia tak lama lagi untuk
hidup di dunia ini. Tapi ya sudahlah. Aku harus segera mengakhiri kesedihanku
karena aku sudah bejanji membahagiakan Fahry dengan ketegaran dan senyumanku.
Aku tak bisa buat ia bahagia di dunia ini dan aku berharap Fahry tersenyum di
sana saat melihat aku tersenyum. Fahry aku mencintaimu. Selamat jalan sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar